Oleh
: Tgk. Nazaruddin Zakaria
Salah satu pilar utama keimanan dalam
Islam adalah meyakini adanya sifat wajib, mustahil dan jaiz pada diri seorang
Rasul. Dalam ranah i’tiqady, hukum ‘wajib’,
‘mustahil’ dan ‘jaiz’ (harus) mempunyai pengertian tersendiri
yang lain dari lain. Karena ketiga hukum di atas adalah lebih bersifat untuk
meyakinkan para mukallaf, maka yang bisa mendesak agar para mukallaf tidak bisa
menghindari dari meyakini tentang yang wajib, mustahil dan harus pada Rasul
adalah ‘akal’ mereka sendiri. Sementara ‘akal’ menghukum hanya dalam dua kata: ‘boleh’
atau ‘tidak’ (boleh). ‘Boleh’ (ada atau tidak) disebut ‘jaiz’
(harus):
الجائز هوما يصح في العقل
وجوده وعدمه
Artinya: ‘perkara-perkara yang
secara akal boleh ada dan boleh tidak’.
Sedangkan ‘tidak’ (boleh tidak ada)
dinamakan dengan ‘wajib’:
الواجب هو : ما لا يتصور في العقل عدمه
Artinya:
‘Wajib adalah perkara-perkara yang secara akal tidak mungkin tidak ada’.
Dan,
‘tidak’ (boleh ada) diistilahkan dengan ‘mustahil’:
المستحيل هوما لا يتصور في العقل وجوده
Artinya: ‘Mustahil adalah
perkara-perkara yang secara akal tidak mungkin ada’.
Tidak
ada hukum keempat yang dapat diproduksi oleh akal manusia,
karena itu berarti keluar dari rumus: ‘boleh atau tidak’. Sedangkan akal
hanya berkisar antara keduanya.
Rasul dalam kontek keimanan, didefinisikan dengan:
هو
انسان ذكر حر بعثه الله تعالي للخلق ليبلغهم ما اوحي اليه
Artinya:
Rasul adalah seorang laki-laki merdeka yang diutus oleh Allah swt kepada
makhluk untuk menyampaikan wahyuNya kepada mereka.
Rasul
sebagai manusia pilihan Allah swt sudah barang tentu memiliki kelayakan untuk
menempati posisi sangat terhormat tersebut. Dan, yang mengirimkannyapun tidak
akan sembarang memilih dan main comot tanpa perhitungan, agar tujuan dia diutus
bisa mencapai sasaran yang diharapkan. Suatu keharusan bagi sipengutus
menetapkan criteria tertentu yang membuat pilihannya benar-benar tepat. Semua
criteria yang dimaksud telah tercakup dalam definisi di atas. Pertama,
persyaratan seorang rasul adalah berjenis manusia (orang), yang dengan ini maka
tidak pernah Allah swt mengirim utusanNya dari golongan Jin atau Malaikat untuk
menyampaikan wahyuNya kepada makhluk. Dan, kekhususan ini merupakan suatu
kehormatan dan kemuliaan bagi golongan manusia.
Kedua, seorang laki-laki. Jenis makhluk
yang satu ini mendapat kepercayaan dari Allah swt untuk mengemban ‘risalah’,
karena, baik fisik maupun mental, mempunyai keunggulan dibandingkan dengan
jenis-jenis yang lain. Karena, seperti dimaklumi, tugas seorang Rasul begitu
berat sekali dan mendapat tantangan paling dahsyat dan teror dari
manusia-manusia bejat pada zamannya. Menghadapi semua ini sangat dibutuhkan
mental baja dan ketahanan fisik yang prima, yang umumnya hanya di dapat pada
diri seorang laki-laki sejati.
Ketiga, merdeka dari perbudakan. Seorang
budak, disamping membelenggu kebebasan menjalankan tugas-tugas kerasulan karena
lebih terikat secara horizontal kepada yang memperbudakkannya daripada terikat
kepada Allah swt secara vertical, juga perbudakan merupakan kasta manusia yang
paling rendah yang tidak layak ada pada seorang duta Allah swt, sebagaimana
yang akan kita bentangkan lebih luas lagi pada pembahasan sifat jaiz pada Rasul
ke depan nantinya, insyaallah.
Keempat, menyampaikan wahyu kepada makhluk.
Poin ini secara lahiriyyah bukanlah suatu keharusan secara mutlak mesti
terpenuhi, tetapi lebih kepada untuk membedakan antara Rasul dan Nabi. Karena
Nabi memang tidak diperintahkan meneruskan wahyu kepada makhluk, seperti juga
Rasul tidak selamanya setiap wahyu wajib didistribusikan kepada makhluk. Tetapi
secara tersirat kalimat: ‘menyampaikan wahyu kepada makhluk’
mengharuskan beberapa sifat lain yang menjadi landasan tercapainya maksud
tersebut. Yaitu, seorang Rasul Allah swt wajib diyakini punya sifat Shidiq (benar),
Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan) dan Fathanah
(cerdas).
- PENGERTIAN SHIDIQ
الصدق هو
مطابقة الخبر للواقع
Artinya: Benar adalah kesesuaian
berita dengan hakikat kejadiannya.
Bersikap benar dalam hal ini lebih
dititikberatkan kepada pengakuannya sebagai utusan dari sang Pemilik alam raya
ini dan penisbatan perkataannya sebagai wahyu Tuhan. Karena konteknya lebih
mengarah kepada dua hal tersebut itu. Ketika dia mengatakan, bahwa saya ini
utusan dari ‘rabbul ‘alamin, itu memang benar-benar berasal dari suatu
kenyataan yang sesungguhnya, yaitu informasi dari Allah swt. Demikian juga saat
dia menyifatkan kalamnya adalah wahyu, itu pula memang berangkat dari kalam
kiriman yang Maha Kuasa. Keakuratan berita yang disampaikannya dengan kenyataan
sebenarnya merupakan suatu kewajiban bagi seorang Rasul dan kewajiban meyakini
adanya kebenaran tersebut bagi kita selaku umatnya. Artinya, kewajiban di pihak
Rasul dengan makna ‘tidak ada satu logika sehatpun yang sanggup menafikan akan
adanya sikap kebenaran pada diri seorang Rasul’ dan kewajiban di pihak kita
dengan pengertian ‘berdosa kita kalau tidak
mengakui dan meyakini kebenaran sang Rasulullah saw’. Ini adalah salah satu
dari konsekwensi masuknya kita dalam Islam.
Konsekwensi ini, yaitu wajib meyakini
kebenaran Rasul, bukan karena Islam memaksakan kehendaknya kepada kita sebagai
umatnya, tetapi karena didukung dan didesak oleh akal sehat kita sendiri.
Dimana kalau kita berpikir dari sudut pandangan Zat Yang Mengutus, kita akan
menemukan hakikat kebenaran, bahwa tidak mungkin seseorang dalam kapasitasnya
sebagai pengirim seorang utusan mengirim sembarang orang untuk mewakilinya
dalam suatu acara tertentu, apalagi orangnya sangat jauh dari sikap objektif
dalam penyampaian wahyu Tuhan. Kepastian Tuhan memilih seseorang Rasul yang
jiwanya ‘bermalkah’ dengan kebenaran adalah persoalan yang tidak perlu
diragukan sedikitpun dan sangat-sangat mustahil terjadi kebalikannya. Dimana
saja di setiap jengkal sudut bumi ini, tidak akan ditemukan seseorangpun yang
berlogika rusak seperti berikut ini: ‘ingin mewakilkan untuk menangani suatu
programnya kepada orang yang sangat berpotensi tidak akan menyukseskannya’.
Disamping dengan logika di atas, Rasul
juga membawa sesuatu yang sangat istimewa untuk menopang kebenaran pengakuan
kerasulannya, yaitu mukjizat. Mukjizat yang secara harfiyyah berarti
‘melemahkan’ pihak-pihak lain, yang secara istilah bermakna:
امر
خارق للعادة مقرون بالتحدي مع عدم المعارضة
Artinya:
‘Muncul suatu perkara yang merobek (menyalahi) adat-istiadat pada saat
menyatakan dirinya sebagai Rasul dan tidak ada yang sanggup melawannya’.
Sebagai bagian dari komunitas manusia,
seorang Rasul mustahil memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia
lainnya kecuali karena ada kekuatan Yang Maha Kuasa meng’support’ di
belakangnya. Kekuatan luar biasa ini diberikan Allah swt kepadanya untuk membenarkan
pengakuan sang Rasul, bahwa dia benar-benar utusan Allah swt. Seandainya dalam
perbendaharaan ilmuNya terdeteksi kebohongan pengakuan kerasulan dari
seseorang, lalu dikirim pembenaran dengan suatu mukjizat, itu juga adalah
kebohongan yang nyata. Karena membenarkan kebohongan adalah kebohongan. Menuduh
Allah swt berbohong itu merupakan kemusyrikan. Karena , disamping Allah swt
tidak mendapat keuntungan dari kebohongannya, juga berarti menyifatkanNya
dengan sifat kekurangan. Padahal pada zat yang telah ‘tsabit’ ketuhanan
dengan ‘haqqul yaqin’ mustahil diiringi dengan kekurangan-kekurangan.
Sebuah mukjizat yang diturunkan Allah
swt kepada seorang Rasul, apalagi mukjizat bersifat abadi sepanjang masa
semisal kitab suci Al-Quran, menempati posisi sebagai firmanNya yang berikut
ini:
صدق عبدي في كل ما يبلغ عني
Artinya: ‘Benarlah hambaKu tentang
seluruh apa yang disampaikannya dariKu’.
Karena mukjizat yang datang seolah
memberi sebuah pernyataan dan pengakuan, bahwa orang ini benar sebagai Rasul.
Karena, yang disebut dengan nama mukjizat, ia mesti berasal dari Yang Maha
Perkasa. Mustahil seorang insan secara pribadi punya kesanggupan membangun
sebuah peristiwa dahsyat sebesar mukjizat, apalagi ditambah dengan
ketidakberdayaan manusia di hadapan mukjizat. Semuanya ini menyampaikan suatu
pesan dalam batin kita, sesungguhnya para Rasul adalah benar dalam setiap
penyampaian mereka. Disinilah letak perbedaannya dengan sihir, dimana sihir
walau mempunyai sifat mencabik-cabik tradsi manusia, tetapi ada kekuatan super
power lain yang bisa menunduk dan mengalahkannya.
Pernah Musailamah Al-Kadzdzab mencoba
mencari keberuntungan lewat pengakuan dan memproklamir mengangkat dirinya
sebagai Rasul pada saat dan sesudah wafat Rasulullah saw. Tetapi, akhirnya,
‘mimpinya’ itu mentah dan jadi bahan olokan saja oleh setiap orang pada zamannya.
Itu dikarenakan ikrar kerasulannya tidak ditopang oleh suatu peristiwa luar
biasa yang berasal dari sang Maha Pencipta. Pada suatu saat dia juga pernah
berusaha menipu orang-orang awam pengikutnya dengan ‘merakit’ apa yang
disebutnya sebagai firman yang mirip dan untuk menandingi Surah Al-Kautsar yang
belum lama diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Inipun bernasib sama seperti
pengakuan kerasulannya, hambar dan hilang ditelan tertawa olok-olokan khas
padang pasir. Hal ini semakin menguatkan dan meyakinkan, bahwa Al- Quran dalam
kapasitasnya sebagai mukjizat untuk membenarkan Muhammad, memang tidak bisa
ditandingi oleh siapapun, karena dia bukan produk manusia, tetapi firman Allah
swt yang datang sebagai bukti bisu kerasulan Muhammad swt.
- PENGERTIAN
AMANAH
Secara literal ‘amanah’ berarti ‘dapat
dipercaya’. Dalam kontek sifat Rasul, amanah bermakna ‘menjaga dirinya dari
terjerembab dalam lembah hitam perbuatan
makruh dan haram, baik yang berakibat kepada dosa besar ataupun kecil’.
Sebaliknya, mustahil seorang Rasul mengkhianati Allah swt dengan berkecimpung
dalam dosa-dosa dan pekerjaan makruh. Logikanya, Allah swt menyuruh kita
mengikuti jejak-jejak para Rasul dalam seluruh sisi kehidupan mereka, berbentuk
qauliy atau bukan. Kalau mereka menjalani kehidupan jauh dari tuntunan Allah
swt, secara otomatis kitapun mengekor persis di belakang mereka sebagai
konsekwensi dari perintah Allah swt pula. Saat itu terjadi, maka seluruh
hakikat jadi amburadul, haram dan makruh menjadi wajib dan wajib serta sunat
bertukar menjadi haram. Peristiwa pembelokan hakikat seperti ini mustahil tidak
diketahui oleh Allah swt sebagai pemilik hakikat itu sendiri. Ketika akibat
dari suatu peristiwa sudah terhukum mustahil, maka peristiwa itupun menjadi
tidak logis pula. Dan, akhirnya, ditetapkanlah amanah dalam diri seorang Rasul
merupakan kewajiban secara rasio yang sehat. Allah swt berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.(QS;Ali Imram:31)
Dalam ayat lain
Allah swt juga berfirman:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ
الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ
(yaitu)
orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, (QS;Al-A’raf:157).
Dua
ayat di atas secara sharih menganjurkan mengikuti Rasul dengan berbagai imbalan
yang dijanjikan Allah swt. Para sahabat Nabi saw, orang yang paling dekat dan
lebih tahu tentang seuntai wahyu, mengikuti beliau dalam segala hal tanpa
mencoba mempersoalkan dan menggugat darimana sumbernya, valid atau tidak.
Sampai-sampai ketika Nabi saw menanggalkan sandal, mereka ramai-ramai ikut
melepaskannya pula. Ketika beliau membuka cincinnya, mereka ikut-ikutan
melakukan hal sama juga. Pernah Abu Bakar ra, Umar ra dan Utsman ra menyingkap
kain sebatas lutut hingga terlihat betis sesampainya mereka dan duduk di atas sumur
yang bernama ‘Aris’ dekat kota Medinah, hanya karena Nabi saw pernah
melakukannya. Kita saksikan perkataan Umar ra yang menggambarkan bagaimana
meneladani Rasul saw tentang Hajar Aswad tanpa mengkritisinya sedikitpun:
إني أعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولولا أني رأيت رسول
الله صلى الله عليه و سلم قبلك ما قبلتك ثم قبله
Artinya: ‘Aku
tahu, sesungguhnya kamu (Hajar Aswad) hanya sebongkah batu yang tidak sanggup
memberi mudharat dan manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw mengecupmu,
maka akupun tidak melakukannya juga’. Kemudian beliau mengecupnya.
Kepercayaan yang
begitu besar diberikan para sahabat kepada Nabi saw adalah indikasi sangat kuat
mengarah kepada kewajiban mempercayai beliau dalam segala hal. Mereka adalah
orang-orang yang menyaksikan langsung prosesi wahyu dibawakan dari langit
diserahkan kepada Rasul. Kalau saja ada sesuatu yang mencurigakan berlangsung
dihadapan mereka, penipuan dari Nabi saw misalnya atau telah terjadi
ketidakberesan, mereka tidak segan-segan menggugat dan mengkritik. Tetapi,
ternyata mereka tidak melakukannya, itu berarti membuktikan tidak ada gejala
dusta apapun. Seumpama Abu Hurairah ra yang selalu mendapat sanjungan dari Nabi
saw: ‘aku sudah menduga kamu akan menanyakan ini’, kata-kata ini
menunjukkan beliau seorang yang haus akan ilmu sekaligus menaruh kepercayaan
sangat tinggi kepada Rasul saw dalam setiap persoalan, apalagi dalam hal-hal
ghaib. Ini semua membuktikan akan satu hal: Rasul wajib dan layak mendapat
kepercayaan lebih dari siapapun juga.
PENGERTIAN
TABLIGH
Secara bahasa
(etimology) ‘tabligh’ bermakna ‘meneruskan’ atau ‘menyampaikan’.
Sedangkan secara terminology (istilah):
التبليغ هو تبليغ ما امروا بتبليغه
للخلق
Artinya: ‘Tabligh
adalah meneruskan apapun yang diperintahkan menyampaikan kepada makhluk (umat)’.
Wahyu yang
dikirim oleh Allah kadang-kadang bersifat personality (pribadi), hanya untuk
konsumsi sang pribadi Rasul. Terkadang, ini paling banyak, wahyu bersifat umum
untuk konsumsi public sebagai syariat untuk umat manusia. Pada bagian ini, informasi yang telah diterima
mustahi bagi Rasul untuk tidak mentransferkannya kepada umat. Karena, kecuali
para Rasul tidak menganjurkan kepada kita (umat) untuk bersikap menyembunyikan
ilmu (informasi) dari Allah swt, juga ‘peukateun’ mereka mustahil tidak
terdeteksi dalam luasnya lautan ilmu Allah swt. Pengaruh dari kalau Rasul
mengkhianati Allah swt, kalau memang ini ada, adalah Rasul selalu lebih
mengutamakan berkhianat daripada menyampaikan ilmu kepada orang lain. Namun,
ternyata sepanjang usia Islam tidak didapati nash yang memerintahkan berkhianat
dan menyembunyikan ilmu. Malah sebaliknya, ditemukan nash mengecam dan
mengancam pelaku-pelaku penyembunyi ilmu Allah swt:
مَنْ كَتَمَ عِلْماً ، أَلْجَمَهُ الله تَعَالَى يَوْمَ
القِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
Artinya: ‘Barang
siapa menyembunyikan suatu ilmu, maka Allah swt akan merantai dia dengan rantai
dari api neraka pada hari kiamat kelak’.HR. Ibnu Majah.
Logikanya, kalau
sudah keluar sebuah ancaman bagi penyembunyi ilmu Allah swt dari mulut
seseorang mustahil dia berkelakuan yang masuk dalam kategori ancaman itu
sendiri. Lagi pula, kalau seorang Rasul mengambil sikap menutup berbagai berita
dari Allah swt, tentu saja kita tidak menemukan aneka macam bentuk syariat yang
kita laksanakan pada hari ini. Tetapi, ternyata hari ini kita saksikan
bersama-sama kehidupan kita yang selalu diwarnai oleh syariat dalam seluruh
sisi kehidupan kita. Kenyataan seperti ini mustahil bisa kita dapatkan
seandainya Rasul tidak meneruskan kepada kita apa yang diambilnya dari ‘Shahibusy
Syariah’. Dan, kenyataan ini pula mengantarkan dan meyakinkan kita, bahwa para
Rasul telah benar-benar bersikap objektif-realistis.
Banyak kita
dapatkan dalam ‘furu’-furu’ syariat berbagai kewajiban, yang secara
naluriahnya manusia sangat memberatkan sekali, semisal jihad fi sabilillah,
menunaikan zakat, mengunjungi Baitullah dan berbagai aturan lain yang sangat
memberatkan jiwa manusia, termasuk jiwa Rasul di dalamnya. Nah, semua itu
seharusnya ditutup-tutupi oleh Rasul, agar tidak membebani jiwanya juga.
Tetapi, ketika beliau meneruskannya dan terlibat langsung dalamnya, itu hanya
mengarah kepada satu hal: beliau harus menyampaikan apa yang seharusnya
disampaikan. Kalau bukan karena iman sangat tidak mungkin semua hal yang
memberatkan jiwa kita niscaya tidak akan terlaksana dengan sempurna.
Disamping
argument-argumen di atas, kita juga mesti meneliti dan mengoreksi aspek
keuntungan di balik kemungkinan tidak diteruskannya furu’-furu’ syariat kepada
umat. Secara klasik, materilah andalan yang sanggup merubah manusia menjadi
jahat dan membuat manusia berkelakuan jelek seperti berbohong dan
menyembunyikan apa tidak menguntungkan dirinya dalam hal material. Kenyataan sejarah
tidak mendukung asumsi ini, malah sebaliknya. Kehidupan para Rasul umumnya
tidak jauh dari yang namanya kemiskinan, berkutat dengan penderitaan
ketidakberkecukupan dalam kehidupan mereka. Seperti Nabi Muhammad saw, beliau
tidak pernah bisa mengenyangkan perutnya selama tiga hari berturut-turut selama
kehidupan beliau di Madinah, karena tidak tersedia makanan di rumahtangga
beliau.
Mungkin argument
ini bisa dipatahkan dengan mengatakan: realitas beliau memang miskin, karena
tidak terpenuhinya misi yang beliau canangkan, yaitu tidak berjalan sesuai
target beliau. Padahal beliau telah menargetkan keuntungan material yang banyak
sekali. ‘Buruk sangka’ ini masih bisa dibenarkan, mengingat misi tidak
selamanya menjadi realitas yang diharapkan. Tetapi bila ini kita benarkan, kita
telah melupakan sabda beliau berikut ini:
إن الصدقة لا تحل لمحمد ولا لآل محمد، إنما هي أوساخ
الناس
Artinya: ‘sesungguhnya
sedekah tidak halal bagi Muhammad dan keluarganya. Sesungguhnya sedekah itu
hanya kotoran (daki) manusia. HR.Muslem.
Pemasukan
material yang mengagumkan dalam furu’ syariat adalah melalui sedekah, wajib dan
sunat. Tetapi ketetapan telah dikeluarkan, bahwa Muhammad dan keluarga besarnya
haram menerima sedekah dalam bentuk apapun juga. Mari kita berandai-andai. Seandainya
beliau memang menyembunyikan titah Allah swt, semestinya sector sedekah yang lebih
menjanjikan material untuk tidak disampaikan kepada umat, agar beliau tidak
terhalang untuk menerimanya. Hidup dalam kemiskinan dan haram mengambil sedekah
adalah dua hal yang kontraproduktif. Di satu sisi sangat membutuhkan, di sisi
yang lain menghempang datangnya rezeki. Analisis ini dengan sangat meyakin
kita, bahwa kita memang wajib mengimani para Rasul telah menyampaikan seluruh
wahyu yang diperintah-sampaikan kepada makhluk.
PENGERTIAN
FATHANAH
Harfiyyah
fathanah bermakna ‘cerdik’ atau ‘pemikiran brilian’. Adapun dalam wilayah
keyakinan berkenaan dengan sifat Rasul yang wajib diimani oleh setiap mukallaf
berarti:
اي الذكاء و الحذق بحيث يكون فيهم قدرة
علي الزام الخصوم محاججتهم وابطال دواعيهم
Artinya: ‘kecerdikan dan kejeniusan, yang mana mereka
mampu memaksakan dan mengokohkan hujjah-hujjah serta sanggup mematahkan alasan
lawan-lawan mereka’.
Umumnya kehadiran seorang Rasul mendapat tantangan yang
dahsyat dari komunitas masyarakat yang ingin diperbaiki akhlaknya. Tantangan
yang dimaksud boleh jadi berbentuk teror fisik ataupun mental. Semua kisah Rasul selalu diawali dan diwarnai dengan
penolakan umat bersangkutan, walaupun akhirnya terkadang ditutup dengan
keberhasilan. Teror fisik berupa penganiayaan terhadap diri dan keluarga Rasul.
Sementara teror mental adalah berbentuk ancaman terhadap keselamatan jiwa
mereka. Ada juga berbentuk perdebatan terhadap keabsahan apa yang dibawanya.
Biasanya model ini datang dari para intelektual umat mereka. Menggugat dengan
hujjah-hujjah tandingan hendak membabat dan, kalau mungkin, membatal sama
sekali misi sang Rasul. Hal ini banyak dipraktekkan oleh Yahudi dan Nasrani
untuk menghambat laju Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Mereka
mengunjungi Nabi saw dengan mengutip ayat-ayat Taurat dan Injil. Sangkaan
mereka, Muhammad saw akan terkalahkan, karena mereka tahu beliau seorang ‘ummiy’
(buta aksara) yang tidak pernah melihat, apalagi membaca, dua kitab tersebut.
Allah swt Maha Tahu Segalanya,
kemana Muhammad akan diutus, siapa saja umat yang akan dihadapi beliau. Karena
itu, mustahil Allah swt tidak membekali para RasulNya dengan ‘malkah’
kecerdikan. Karena, kecuali untuk mematahkan hujjah-hujjah lawan dan meneguhkan
‘burhan-burhan’ sendiri, juga dibutuhkan kebijakan dalam penyampaian
wahyu Allah swt. Kondisional dan situasional juga berperan menyukseskan sebuah
misi. Ilmu seperti ini hanya mungkin ada pada akal-pikiran yang brilian. Contoh
yang paling santer kita dengar, kejeniusan Muhammad saw terkait peletakan
kembali Hajar Aswad pada tempatnya setelah disapu air bah. Nyaris darah
memerahkan lembah Makkah kala itu kalau kebijakan beliau tidak segara
memecahkan masalah. Hanya dengan selembar kain yang diletakkan Hajar Aswad di
atasnya lalu diboyong bersama-sama, telah terhindari menetesnya darah manusia.
Hanya kebijakan kecil untuk menghindari persoalan yang besar. Sulit
membayangkan buah pikiran jenius ini terbit dari orang yang idiot atau bodoh.
Kejeniusan para Rasul juga terilustrasikan
dari ucapan-ucapan mereka yang tidak hanya mengakomodir persoalan pada masanya,
tetapi juga menjangkau jauh ke masa depan. Kita sering mendapatkan sabda mereka
bernada: ‘akan datang suatu masa kepada umatku’ atau ‘akan terjadi
begini’ atau ‘akan tertimpa kepada umatku’. Nada sabda begini,
menunjukkan hanya satu hal: kecerdikan memprediksi persoalan. Karena
semua prediksi ini akhirnya menjadi kenyataan. Adakah kejeniusan di atas kejeniusan ini? Dalam alam modern sekarang ini, manusia mencoba mengetahui perkara-perkara
akan datang. Tetapi tidak seorangpun mengatakannya dengan kata pasti.
Paling-paling hanya mengungkap ‘ramalan cuaca’ atau ‘menurut prakiraan cuaca’
dan lain-lain yang senada. Semua ini secara tersirat manusia ingin mengatakan:
‘kami tidak tahu’. Karena kelemahan manusia, selain Rasul tentunya, pada membaca dan menerjemahkan tanda-tanda alam. Beda
dengan Rasul, kecerdasan mereka merupakan suatu kewajiban dan kewajiban pula
bagi kita untuk meyakininya. Karena akal kita sendiri yang mendorong dan memang
tidak jalan lain selain terdesak meyakininya.
Mengabaikan desakan hati sendiri berarti memungkiri kenyataan yang paling
hakiki. Dan, itu abnormal sekali.
PENGERTIAN JAIZ (HARUS)
Jaiz pada lughawiy berarti ‘boleh’.
Dalam istilah Mutakallimin, seperti tersebut di atas pada awal pembahasan,
didefinisikan dengan:
ما يصح في العقل
وجوده وعدمه
Artinya: ‘perkara-perkara yang
secara akal boleh ada dan boleh tidak’.
Dalam kaitannya dengan Rasul, sifat
jaiz bukanlah patokan sah-tidaknya seseorang menjadi Rasul, sehingga ia menjadi
sifat wajib atau mustahil bagi mereka. Tetapi lebih kepada pertimbangan mereka
sebagai ‘manusia’ dan ‘utusan Allah swt’. Dalam kapasitasnya sebagai manusia,
mereka layak memiliki sifat-sifat yang biasa disandang manusia lainnya. Dan dalam predikat mereka sebagai utusan Allah swt, mereka
hanya boleh menyifati sifat-sifat yang tidak menghambat dan membabat arti perutusan
mereka. Dua sudut pandang ini, manusia dan utusan Allah swt,
saling
mengkompromi dan akhirnya terkonsentrasi pada kalimat berikut:
يجوز في حقهم
الأعراض
البشرية التي لا تؤدي إلى نقص في مراتبهم العلية
Artinya: ‘Dalam
kapasitasnya sebagai Rasul, mereka boleh mempunyai sifat-sifat kemanusiaan yang
tidak mengakibatkan runtuhnya ketinggian mertabat mereka’.
Sudut
‘kemanusiaan’ mereka, menuntut layak adanya berbagai kebiasaan manusia
melengket pada diri mereka, seperti makan, minum, kawin, bersenda-gurau,
tertawa, menangis, miskin, kaya, sakit, sehat dan lain-lain sebagainya.
Sedangkan sisi ‘utusan Allah swt’, meminta tidak semua sifat-sifat manusia
layak disifati mereka, seperti buta, tuli, gila, epilepsy, lepra dan lain-lain
seumpamanya. Karena, kalau salah satu dari sifat-sifat ini ada pada mereka,
dapat dipastikan fungsi kerasulan mereka akan tidak berarti sama sekali. Antara
gila, misalnya, dengan kerasulan adalah dua hal yang saling bermusuhan dan
tidak mungkin berkumpul pada satu tubuh seperti kegelapan dan cahaya. Pada saat
gila merajalela, dia akan mengusir sifat kerasulannya. Demikian sebaliknya,
kalau prediket kerasulan berkuasa dia juga akan menghambat masuk sifat
kegilaan. Artinya, seluruh sifat kemanusiaan layak disandang oleh para Rasul,
tetapi kemudian sifat ‘kerasulan’ yang dianugrahi Allah swt kepada mereka
membatasinya, hanya sifat-sifat kemanusiaan yang cocok dan tidak berpotensi
merusak dengan kerasulan mereka saja.
Tersebut dalam
beberapa buku tentang kisah Nabi Ayyub as yang dijauhi dan dihindari oleh
umatnya, karena beliau menderita suatu penyakit. Katakanlah cerita ini benar
adanya, lalu mungkinkah dalam keadaan berpenyakit yang membuat umatnya lari seperti itu beliau menjalankan fungsinya
sebagai Rasul? Bukankah beliau diutus untuk memperbaiki akhlak mereka? Bagaimana
mungkin mendakwahkan mereka kepada jalan yang benar sementara mereka lari
tunggang-langgang? Harus diakui, bahwa setiap Rasul memang dimusuhi dan
dijauhi. Tetapi aib pemicunya bukan di pihak beliau, namun lebih karena ‘ke’inadan’
dan keingkaran di pihak umatnya.
Sosok Rasul memang unik, ‘manusia’ sekaligus ‘utusan Allah
swt’. Dua sifat yang melekat pada diri mereka ini tidak saling menafikan,
apalagi hendak dikatakan mustahil terjadi. Kedua-duanya wajib diseimbangkan
ketika mencoba memahami sosok mereka. Manusia yang utusan Allah swt atau utusan
Allah swt yang berjenis manusia. Berpadunya dua sifat tersebut, menjadikan
mereka sebagai figure yang istimewa di kalangan makhluk. Manusia yang mempunyai
mertabat lebih tinggi dari makhluk yang lainnya, tetapi ‘keistimewaan’ dan
‘kelebihan’ yang mereka miliki tidak lantas meninggalkan sifat-sifat ‘kemanusiaan’
mereka sehingga derajat mereka meroket tinggi setara dengan Allah swt. Dan, tidak
juga dengan sifat ‘kemanusiaannya’ mereka meluncur bebas sehingga berada pada serendah-rendah
kasta mertabat manusia. Mereka menempati posisi ‘tawassuth’ (perantara)
antara manusia dan Allah swt. Dengan sifat kemanusiaannya menghadapi dan
membenahi manusia. Dan, dengan sifat keagungan akhlaknya berhubungan dengan
Allah swt. Jadi, mereka bukan seperti manusia kebanyakan, seperti dakwaan
Yahudi kepada Rasul mereka. Bukan juga terbang ke level sangat tinggi setara
dengan Allah swt, seperti tuduhan Nasrani kepada Nabi Isa, subhanallah.
Adapun benar-tidaknya para Rasul telah bertabiat seperti
tabiat manusia lainnya, itu telah dibuktikan dan disaksikan oleh para sahabat
secara langsung. Hasilnya penyaksian mereka telah dipindahkan ke generasi
selanjutnya hingga kepada kita pada hari ini. Ada yang bercorak ‘tawatur’
ada juga secara ‘ahad’. Katakanlah nukilan berita melalui teori ‘ahad’
tidak sampai kepada mengharuskan ‘i’tiqady, tapi hanya mewajibkan amal, namun melalui teori ‘tawatur’ masih banyak yang mengabarkan
tentang Nabi Muhammad saw melakoni kehidupan penuh dengan sifat-sifat
kemanusiaannya. Termasuk juga ayat-ayat kitab suci Al-Quran yang mengatur
mengenai pakaian istri-istri beliau, salah satu dari sisi kemanusiaannya. Dan
masih banyak lagi kesaksian-kesaksian Al-Quran dalam hal ini, seperti yang
sudah kita maklumi.
Sebenarnya para Rasul memiliki sifat-sifat manusia
merupakan salah satu sarana penunjang kerasulan mereka, disamping hikmah-hikmah
lain yang justru menguatkan kebolehan mereka memiliki sifat-sifat tersebut. Para
ulama telah membahas seputaran masalah hikmah ini panjang lebar dalam
kitab-kitab mereka. Sebagai sampel, kita ambil redaksi kitab ‘Matan Sanusi’.
Minimalnya ada empat hikmah dibalik diriasnya para Rasul dengan dandanan
kemanusiaan:
- TA’DLIMUL
UJUR (MENAMBAH PAHALA)
Sekalipun para Rasul telah dikaruniai posisi sangat
tinggi, namun mereka masih juga masuk dalam kategori ‘mukallaf’, seorang hamba
yang menjadikan kehidupan ini sebagai ajang pengumpulan pahala
sebanyak-banyaknya, agar kehidupan negeri akhirat menjadi lebih baik. Salah
satu dari cara mencapai tujuan agung ini adalah dengan bersabar kalau mengalami suatu penyakit. Makan-minum,
kawin yang diniatkan ibadah, menahan diri dari segala godaan nafsu. Semuanya
ini hanya mungkin diraih apabila pada diri mereka ditempati oleh sifat-sifat
yang lazim ada pada manusia. Kalau satu tubuh kebal terhadap suatu penyakit,
seperti zat Malaikat, mustahil mengalami sakit. Dan, sudah barang tentu lewat
kesempatan untuk menggapai pahala dengan bersabar terhadap penyakit. Seandainya
para Rasul tidak ditanam nafsu dalam tubuhnya, niscaya tidak mungkin mereka
kawin dan makan-minum, misalnya. Itu suatu kepastian juga mereka tidak punya
kans mendapatkan pahala besar dalam hal tersebut.
Atas analisa di atas, apakah Allah swt tidak mungkin
memberi pahala kepada mereka tanpa melalui sifat-sifat kemanusiaan? Toh, mereka
orang terdekat Allah swt, konon lagi mereka sebagai RasulNya. Allah swt Maha
Kuasa, kuasa memberi apapun tanpa melalui apapun juga. Juga kuasa mengaitkan
penganugerahan pahalaNya dengan apapun juga, termasuk menyodorkan pahala
melalui kesabaran. Karena itulah keluar sebutir sabda dari mulut yang mulia
berikut ini:
أشدكم بلاء الأنبياء ثم الأولياء ثم الأمثل فالأمثل
Artinya: ‘Cobaan
yang paling berat adalah kepada para Nabi, kemudian kepada para Aulia,
selanjutnya kepada tokoh agama, maka tokoh sesudahnya.
- TASYRI’
(PENSYARIATAN)
Seperti telah dimaklumi, para Rasul diutus untuk
menjelaskan hukum-hukum Allah swt kepada umat manusia. Untuk tugas
mulia ini, para Rasul dapat menempuh beberapa metode ‘tasyri’
(pensyariatan), baik menyampaikan melalui lisan langsung atau dengan
mempraktekkan bentuk-bentuk syariat dipertontonkan kepada mereka. Kondisi dan
situasi menuntut metode pengajaran dan penyampaian ikut bervariasi pula.
Seorang pengajar akan mengamati lapangan, lalu memutuskan metode apa yang lebih
cocok dan mengena dengan sempurna kepada sasaran. Tidak selamanya metode lisan
lebih efektif dari metode praktek. Demikian sebaliknya. Tingkat kecerdasan umat
sebagai objek pengajaran juga alternative lain yang menuntut metode mesti
dipilih-pilih. Ketika menyaksikan Rasul melangsungkan pernikahan, misalnya,
umat dengan mudah bisa memahami syariat tentang perkawinan. Saat Rasul dilanda
oleh suatu penyakit, umat menjadi tahu bagaimana tatacara shalat orang sakit.
Demikian juga ketika Rasul tiba-tiba lupa dalam shalat, umat jadi mengerti
solusi yang seharusnya dilakukan. Dan seterusnya.
- ‘TASALLY ‘ANID-DUNYA’(MENAHAN
DIRI DARI DUNIA)
Ketika
menela’ah kehidupan para Rasul yang penuh dengan kekurangan material dalam
seluruh waktu kehidupan mereka, yang notabenenya seorang kekasih Allah swt,
umat akhirnya sampai kepada kesimpulan, bahwa meraih kehidupan dunia
benar-benar suatu keaiban yang mesti dijauhkan, dan Allah swt tidak menyukai
itu. Suatu pelajaran sangat berharga bagi umat, kalau kehidupan di negeri
duniawi ini diridhai Allah swt tentu kehidupan para kekasihNya akan lebih
berjaya dari siapapun juga. Nyatanya dan kasat matanya, kondisi kehidupan para
Rasul sangat jauh dari berkecukupan, untuk tidak mengatakan tidak berpunya sama
sekali. Dalam kondisi morat-marit seperti ini, mereka masih menatap hidup
dengan kebahagian dan optimis yang tinggi. Tidak larut dan sibuk dalam pemenuhan
kebutuhan mereka semata-mata. Mereka tidak mengeluh atas kekurangan-kekurangan
yang menerjang mereka. Tugas kerasulan mereka tidak terbengkalai hanya
gara-gara kemiskinan. Inilah ‘mau’idlah’ sangat berharga bagi umat
mereka, sehingga bila umat mampu bergembira atas kemiskinan dan kealpaan dunia
mereka, mereka sudah dinobatkan setara dengan Rasul.
- TAMBIH LI KHISSATIHA (PERINGATAN
ATAS HINANYA DUNIA)
Penempatan
sifat-sifat kemanusiaan kepada Rasul adalah juga agar Allah swt dapat menjadikan
peringatan dari bagi umat manusia, bahwa dunia tidak seharusnya dianggap
sebagai ‘bidadari’ yang mesti dikejar kemana-mana, karena memang tidak ada
nilainya disisiNya. Logikanya, para Rasul adalah makhluk paling elit dalam
pandangan Allah swt, tapi ternyata tidak diikuti oleh pernik-pernik kehidupan
yang layak se-elit derajat mereka. Artinya, untuk makhluk terbaik tidak
dipersembahkan dengan fasilitas terbaik di dunia ini dari Allah swt. Ini
menunjukkan, bahwa Allah swt akan menghargai keagungan mertabat mereka dengan sesuatu
yang lebih cocok, dan itu adanya di akhirat kelak, bukan di dunia yang serba
kekurangan ini. Ini pulalah yang dilukiskan oleh Rasul dalam sabda berikut ini:
الدنيا
جيفة وطالبها كلاب الا ترى كيف احب ما ابغضه الله وأي خطيئه اشد جرما من هذا
Artinya:
‘Dunia itu bangkai, dan para pencarinya anjing. Adakah tidak kamu lihat,
bagaimana dia menyukai perkara-perkara yang dimurkai oleh Allah swt? Adakah
kesalahan yang sangat besar dosanya dibandingkan daripada ini? (kitab
Mishbah Syari’ah).
Ungkapan
ini adalah penggambaran hakikat sebenarnya dari dunia ini. Keindahannya semu,
orang yang menguber-ngubernyapun keliru. Hakikat sesuatu lebih diketahui oleh
Allah swt dan para RasulNya. Seandainya Rasul tidak dibekali dengan sifat-sifat
kemanusiaannya, maka mustahil mereka bisa merasakan dan menilai apa sebenarnya
dunia ini. Dan umatpun tidak mungkin meneladani mereka dalam hal dunawi.
Padahal, kadang-kadang memberi pengajaran lewat tindakan atau perbuatan lebih
mengena dari hanya sekedar berkata-kata. Karena, sebuah nasehat yang tidak
berpotensi untuk dikomplin karena tidak kontras dengan keadaan sipengajar,
dapat dipastikan pelajaran itu sangat berguna. Apalagi seia-sekata perbuatan
dengan kata-kata. Kita simak sabda Nabi saw berikut ini:
لَوْ كانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى
كافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
Artinya:
‘Seandainya dunia ini punya harga seharga sayap unggaspun di sisi Allah swt,
sungguh tidak akan diberikan kepada orang-orang kafir seteguk airpun juga’.(HR.
Tarmizi).
KESIMPULAN
Banyak
menela’ah bukti tentang sifat-sifat wajib, mustahil dan harus pada Rasul serta
banyak menyesakinya dalam pikiran, dapat mengantar seorang mukallaf kepada
keyakinan akan keberadaan para Rasul. Berpikir secara objektif dan
argumentative bisa menguatkan akan keyakinan yang telah bersemi. Dan itu adalah
modal yang sangat berharga di tengah-tengah masa yang lebih bersikap apatis
terhadap isi hati, karena lebih mengutamakan isi otak dalam rangka untuk lebih
memudahkan kehidupan di sini dan mengabaikan kehidupan yang abadi kelak.
Apalagi
ditambah dengan usaha-usaha menjauhkan umat Islam dari ‘akidah dan syariatnya
dengan berbagai aliran sesat yang banyak bermunculan di mana-mana. Mulai dari
aliran sesat yang berakar kuat dalam ‘hutan’ sampai aliran yang bersifat
eklusif merasuki lembaga-lembaga pendidikan yang bermarkas di tengah-tengah
kota. Atas nama virus kebebasan, umat Islam digiring melecehkan Nabinya
sendiri, menafsirkan Al-Quran dengan metode pesanan kuffar, hermeunetik. Banyak
menjungkalkan kaidah-kaidah yang tumbuh yang rumpun Islam. Terpedaya dengan pesona
permukaan kebudayaan kaum kuffar yang keropos di dalam, sehingga satu-satunya
yang sempat terpikirkan oleh mereka hanya, bagaimana menanggalkan Islam serta
atributnya dan berpola pikir tidak lagi berlandaskan padang kurma yang sudah
kuno ditelan masa.
Mengokohkan
‘akidah, khususnya tentang kenabian, dapat memagari nilai-nilai moral islami
yang secara ‘syar’an’ dan ‘aqlan’ sangat didesak untuk diyakini. Artinya, tidak
ada ruang sesempit apapun untuk bisa menghindar agar tidak meyakini keberadaan
Nabi serta perangkat-perangkatnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
MEYAKINI SIFAT WAJIB, MUSTAHIL DAN JAIZ PADA RASUL
Reviewed by BLACKFL4G
on
11:18
Rating:
No comments: