banner image

NIKAH, THALAQ & RUJUK

Oleh : Tgk Nazaruddin Zakaria

BAB I
PENDAHULUAN
I.       PERMASALAHAN
“Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS : Al-Israk : 32)

Ayat ini melahirkan dua makna; makna ‘manthuq’ dan makna ‘aulawi’. Manthuqnya ‘jangan mendekati zina’. Sedangkan ‘aulawinya ‘jangan melakukan zina’. Tetapi penekanan ayat ini sangat kuat kepada makna manthuqnya. Karena itu yang tersurat secara jelas dan nyata.Dan karena kurang bermakna melarang ‘melakukan zina’ bila orang sudah begitu dekat dengan zina. Karena nafsu yang ibarat magnet sangat kuat menarik untuk melangsungkan perzinaan. Sebab kedua belah pihak menginginkannya. Hal ini sangat kontras dengan pelarangan-pelarangan Allah S.W.T dalam bidang yang lain. Sebut saja mencuri sebagai contoh. Hanya pihak pencuri yang sangat kuat ketertarikannya untuk mencuri, tidak dipihak pemilik harta. Maka untuk mencuri tidak dikatakan ‘jangan mendekati mencuri’.

Maka, Allah dalam hal melarang zina lebih kepada bentuk pencegahan, agar jangan sampai terjadi. Dan itu berarti, islam lebih mengarahkan hukum sekitar pelarangan zina kepada muqaddimah-muqaddimah zina, jalan-jalan lempang menuju zina, sehingga muncullah ungkapan zina kepada  hal yang bukan bertemu dua khatan, dalam sabda Nabi Saw. :
      “ ………………maka zina mata memandang, dan zina lidah berbicara dan nafsu merencanakan dan menginginkan itu ( yang dipandang dan dibicarakan”) (HR. Buchari)
Tentu saja Rasulullah tidak sedang berbicara dalam konteks haqiqi, sehingga Ibnu bathal mengomentari hadits ini :
      “ Dinamakan zina kepada memandang dan berbicara karena keduanya mengajak kepada zina haqiqi”

Ada korelasi yang sangat dekat antara ayat dan hadits, meskipun dalam redaksi yang berbeda. “ Jangan mendekati zina” dalam ayat itu mengarah kepada zina mata dan lidah dalam hadits atau hal-hal lain yang membuka peluang mudah melakukan zina. Islam sangat menitikberatkan untuk menutup celah-celah sekecil apapun berlangsungnya zina. Sangat menarik pola terjadinya zina seperti tuturan Rasulullah Saw. diatas. Dimualai dari mata, ia memandang sesuatu yang menyerep batinnya berkeinginan mempraktekkan apa yang dilihatnya. Disini islam menciptakan tembok agar ummat islam terhindar dari zina, yaitu zina mata. Dengan istilah ini manusia islam akan mengontrol setiap kedipan matanya, karena memandang saja sudah dikategorikan zina apa lagi sampai melakukannya.
“Makanya Rasulullah cepat-cepat memegang dagu Fadhal bin Abbas untuk mengalihkan pandangannya kektika sedang terpana melihat seorang wanita pada saat ia mendatangi Rasulullah untuk menanyakan tentang menggantikan ibadah haji untuk orang tuanya yang sudah tua renta.” (HR. Buchari)

Demikian halnya dengan mulut, sering berbincang tentang zina maka terungkaplah dan tertancaplah hasrat syahwat semakin dalam. Bila dalam  jiwa sudah bersarang sebuah keinginan, itu hanyalah persoalan waktu dan kesempatan untuk mewujudkannya.

Hal lain yang masuk dalam “ jangan mendekati zina” adalah khalwat (berduaan antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrim ditempat yang jauh dari orang lain). Menyangkut hal ini, Buchari menurunkan satu hadits dalam shahihnya :
      “ Dari Ibnu ‘Abbas beliau mendengar Nabi berkata : janganlah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang perempuan dan janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya………….”

Hadits ini tidak menjelaskan ‘illat pelarangan. Tapi dari siaqul kalam kita mendapatkan makna yang sangat meyakinkan, bahwa keberduaan dalam kesunyian hampir-hampir dapat dipastikan akan terjadi zina. Karena tidak ada kemungkinan munkar dalam konteks keberadaan lelaki perempuan selain dari zina. Dan kemungkinan ini bisa saja merengsek naik ke posisi kepastian dengan melihat kepada teori-teori biologis manusia maupun praktis sosiologis selama ini.

Lebih-lebih lagi kalau kita mengamati sosio-kultural masyarakat dewasa ini yang mengarak ke budaya free sex. Hal ini ditandai dengan ditemukan beberapa kasus kumpul kebu di bumi syari’at ini. Karena sesuatu yang tabu dan aneh akan tidak dipermasaalahkan lagi bila mata dan telinga sudah sering menkomsumsikannya dari media massa. Media massa, electronic dan cetak, yang sama-sama kita maklumi dikuasai oleh barat (Yahudi) tentu saja tidak menghidangkan ke pemirsa dan pembaca sesuatu yang menguntungkan islam dan ummatnya. Diperparah lagi era gila ini turut mengubah pola pikir semua orang, sehingga nilai-nilai spiritual ukhrawi terabaikan begitu saja. Ummat islam lebih mendewakan capaian-capaian barat terhadap nilai-nilai duniawi. Otomatis local-lokal pendidikan agama tidak lagi terisi oleh penghuni. Dayah-dayah berada dalam kesunyian. Kalaupun lembaga-lembaga pendidikan agama resmi di penuhi pelajar, tapi tidak sepenuh lembaga-lembaga duniawi dan judulnya pun relative sama : kaifiat mencari dunia. Karena lembaga-lembaga agama resmi sekarang ini  telah sangat terkontaminasi dengan sekularisme dan liberalisme (dua-duanya kuda tunggangan yahudi), kalau tidak mau dikatakan telah sebulat-bulatnya westernisasi.

Awal tahun pelajaran 2009-2010 di TV Metro terbaca satu berita, Negara Australia menyediakan biaya siswa sebesar 400 juta Dolar untuk pelajar Indonesia. Berita ini mengembirakan sekaligus mengkhawatirkan. Fasalnya, uang sebesar itu hanya untuk pelajar yang mau belajar agama islam kepada mareka (tentu saja mereka adalah yahudi dan nasrani). Pertanyaannya, apa urgensinya belajar ilmu islam kepada mereka ? Apakah Aceh khususnya telah begitu mendesak belajar agama pada mereka? Aceh memang ketinggalan, kemunduran, karena banyak lahan tidur tidak sanggup dikaryakan oleh tangan-tangan insinyur Aceh. Banyak buah –buahan impor masuk ke Aceh, karena tanah Aceh yang penuh dengan humus tidak bisa  dikelola oleh sarjana-sarjana yang berlebel pertanian. Panen pada di Aceh hanya dua kali setahun, tidak seperti di Jepang yang tiga kali dengan hasil tiga kali lipat, karena sarjana lebih tertarik mengabdi kepada pemerintah dari pada mengabdi kepada rakyat. B. J. Habibie memang pernah ke Jerman belajar bikin pesawat terbang tapi sayang hasil karyanya, Gatot Kaca, tidak mau terbang. Akhirnya, pabrik perakitan pesawatnya, IPTN, tutup selamanya. Inilah yang diperingatkan oleh Nabi Saw. jauh-jauh hari :
      “Sungguh-sungguh kamu akan mengikuti (meniru) jalan-jalan orang-orang sebelum kamu (yahudi dan nasrani), sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka memasuki lobang biyawak sekalipun kamu akan ikut juga. Kami bertanya, ya Rasulullah, Yahudi dan Nasrani? Jawab beliau, “siapa lagi?” (HR. Buchari).

Sulit memang menghindarkan peringatan Nabi Saw di atas, karena hampir semua muslim memasuki lubang biawak yang sempit, sehingga yang terlihat hanya bobroknya tahi biawak, tapi masih ada harapan dengan sungguh-sungguh menjawab pernyataan berikut ini : bisakah lahan tidur di seluruh Aceh akan bangun, atau bisakah buah-buahan tidak impor lagi tapi keluar dari bumi subur Aceh, atau bisakah kita panen padi tiga kali setahun seperti Jepang, atau bisakah Gatot Kaca B.J. habibie terbang dengan belajar ilmu-ilmu islam pada Yahudi dan Nasrani?

Bias dari semakin jauh memasuki liang biawak dan merata dalam setiap sisi kehidupan, maka muncullah sikap skeptic dan apatis terhadap nilai-nilai spiritual. Tak terkecuali juga dalam persoalan zina dan muqaddimah-muqaddimahnya, semakin berani dan terang-terangan. Bermain-main di seputaran zina adalah hal yang biasa dan pemandangan sehari-hari. Bukan sesuatu kekhawatiran seorang ayah atau wali yang tidak memenuhi syarat-syarat adil untuk menikahkan anak atau muallinya. Bukan masaalah dua orang saksi nikah yang tidak shalat atau dosa besar lainnya. Seorang calon lintoe tidak akan mempersiapkan dirinya secara islami untuk jadi suami atau ayah seperti tutunan agama. Karena pola pikir telah menjadi : perkawinan hanya sebatas syahwat dan birahi. Sudah jadi rahasia umum, bahwa calon lintoe tidak mengetahui “dlihar” (penyamaan bahagian tubuh istri dengan muhrim si lintoe). Masih banyak lagi persoalan-persoalan bermasaalah, yang apabila di teliti secara seksama itulah zina haqiqat dalam bingkai seolah-seoalah telah terpenuhi unsure-unsur syar’i.

Praktek-praktek minus unsure syar’i diatas bila dilakukan oleh individu masyarakat, sekalipun tidak boleh juga ditolerir, dampaknya tidak sebesar bila yang melakukan adalah sebuah instansi pemerintah melaui undang-undangnya yang menyalahi syar’i yang ma’ruf. Karena pemerintah, melalui alat-alatnya, punya justifikasi memaksa. Maka, tentu saja bias negativenya pun merata ke seluruh anggota masyarakat.

Maka, kami Komisi A fatwa dan hukum MPU Aceh Utara akan lebih memvokus ke instansi pemerintah sekitar masalah nikah, thalaq dan ruju’ dalam penelitian kami ini, dengan tidak mengesampingkan juga praktek yang sama yang terjadi dalam masyarakat.

II.    RUMUSAN MASALAH
Dari permasalahan di atas yang begitu komplit dan rumit, kami memcoba menganalisis praktis yang dilakukan oleh Negara, dalam hal ini depertemen Agama, dan kasus-kasus di tengah-tengan masyarakat, menyangkut beberapa persoalan sekitaran nikah, thalaq dan ruju’ yang menurut kami punya keurgensian yang tinggi dalam agama di satu sisi tapi tidak diimbangi dengan atensi yang tinggi di sisi yang lain, untuk kemudian kami konfrontasikan dengan teori-teori islami yang termaktub dalam Al-qur an, hadits dan kitab-kitab fiqh muktabar.

Dalam pengamatan kami terhdap praktek di atas, baik dilakukan oleh Depag atau masyarakat, menghasilkan beberapa point yang terlihat nyata dalam masyarakat sebagai berikut :
a.       Bagaimanakah status sebuah pernikahan, bila wali dan saksi nikah tidak memenuhi ketentuan agama?
b.      Mengapa dan bagaimana thalaq yang di ucapkan diluar di ucapkan kembali di hadapan pengadilan Mahkamah Syar’iah?
c.       Sejauh mana pemahaman calon lintoe dan dara baro (calinda) dan suami-istri tentang hukum-hukum pernikahan (khususnya dhihar)?
d.      Bagaimana praktek ruju’ yang terjadi di tengah-tengan masyarakat?
Keempat-empat point di atas terasa sangat menarik dijadikan sebagai bahan kajian, karena hampir semua muslim telah atau akan berhadapan dengan salah satu persoalan diatas. Dan telah jadi rahasia umum dalam kalangan masyarakat, bahwa hal perkawinan sangat di istimewakan dan dijadikan prioritas dalam hidup, sehingga apapun kegiatan mareka selalu dikaitkan dengan kawin.

Tetapi, sekaligus sangat mengkhawatirkan! Karena ketinggian minat tidak di diselaraskan dengan ketinggian minat mempelajari seputaran kawin, sehingga ditakutkan memasuki kawasan sangat terlarang : zina!

Agama, lewat qaidah-qaidahnya, telah menutup dan menggunci rapat-rapat celah-celah perzinaan, tapi ironisnya kita telah membuka lebar-lebar gerbang perzinaan atas nama kedisiplinan, ketertiban administrasi, kebertanggungjawaban dan alasan-alasan lain yang sangat kental dengan sekularisme.

III. PEMBATASAN MASALAH
Bertolak dari masalah-masalah yang telah kami rumuskan di atas, menjadi sangat jelas arah penelitian kami ini, yaitu menyangkut wali dan saksi nikah, berkaitan thalaq yang kami persempit hanya thalaq dalam pandangan Mahkamah Syar’iah, sedikit mencari tahu pengetahuan calon lintoe atau yang sudah lama jadi lintoe tentang hal-hal seputran nikah dan hak-kewajibannya, dan terakhir persoalan praktis ruju’ dalam masyarakat.

Secara lughawi (etimologi) wali bisa dipakaikan berpungsi ganda, ismul faa’il dan ismul maf’ul, sehingga wali kadang-kadang diartikan nashir (penolong), hafidh (pemelihara), kadang-kadang juga berarti manshur (yang ditolong), mahfudh (yang dipelihara). Namum disisi isltilahi mempunyai makna cukup beragam, tergantung di mana lapangan wali berada, wali pada lidah fuqaha tentu sangat berbeda dengan wali pada lidah orang-orang sufi, dan seterusnya. Karena kita berada dalam konteks fiqh, maka akan kita kutip wali versi fuqaha.
“Orang-orang yang mempunyai kekerabatan secara hukum yang di hasilkan dari memerdekakan dan kekuasaan” .[1]

Tentu saja orang-orang dalam definisi diatas adalah mereka-mereka yang telah direkomendasikan Allah dan Rasul. Artinya, tidak mungkin seseorang berusaha menjadi wali untuk seseorang yang lain. Itu adalah sebuah hak istimewa yang diberikan secara takdir. Dan terfahami juga, bahwa ayah angkat, abang angkat, paman angkat dan kakek angkat tidak ada tempat dalam jajaran perwalian.

Hampir sama dengan wali adalah saksi nikah, sama-sama sebagai salah satu pilar (rukun) nikah. Syahid (saksi) dari akar kata syahadah secara lughawi di maknai Al-khabar al-qath’I (berita pasti dan benar). Dalam ranah terminology, syahid didefinisikan dengan berbagai redaksi dengan tujuan yang sama :
“Orang-orang yang memberitakan sesuatu yang benar dan pasti dengan lafadh tertentu (asyhadu)”.[2]

Tentu saja orang-orang diatas diikat dengan syarat-syarat sangat ketat, melebihi ketatnya persyaratan yang dimiliki seorang wali, seperti yang akan kita buka pada bab tinjauan pustaka (muthala’ah al-Kutub).

Sengaja sangat kami tonjolkan masalah wali dan saksi nikah dalam penelitian ini, karena pengamatan terhadap gejala-gejala sosial selama ini menunjukkan krisis keagamaan yang luar biasa, lebih-lebuh dalam wilayah kewalian dan kesaksian.

Hal yang sama juga terjadi  dalam daerah thalaq, diidentifikasikan ada ucapan-ucapan yang mengarah ke thalaq tapi tidak diketahui bahwa itu telah memisahkan antara suami dan istri, sehingga mareka telah meudoda pada seburuk-buruk jalan sedemikian lamanya dan sedemikian ramainya. Tapi kami hanya menyorot thalaq yang dipraktekkan oleh Negara, mahkamah Syar’iah dan Departemen Agama. Dalam bahasa ‘Arab Tha-la-qa yang merupaka sebuah akar kata dimaknai hallul qaid (melepaskan ikatan) dan at-thalaq (melepaskan), seperti dalam kalimat berikut ini :
“Naqah Thaliq“ (melepaskan unta untukmerumput kemana yang dia suka) dalam istilah syar’I dita’rifkan sebagai : nama salah satu cara untuk melepaskan ikatan nikah. Jadi, antara lughawi dan syar’I ada “tanasub” (kesesuaian) pada “melepaskan”, meskipun berbeda objek pelepasan. Memang seperti itulah disingkronisasikan antara dua pemakaian “.[3]

Dalam syari’at islam, thalaq tidak dikatagorikan sebagai anjuran, hanya sebagai solusi terakhir dari permasalahan yang rumit dan memuncak yang tidak mungkin lagi dicari jalan kompromi. Dan  dalam konteks itulah sabda nabi Saw berikut ini :
      “ Tidak ada sesuatu yang halal yang sangat dimurkai oleh Allah selain thalaq” (HR. Abu Daud)

Seolah ada kontroversi antara “halal” dan “dimurkai” dalam hadits. Karena halal mengindikasikan izin untuk mengerjakan, sedangkan dimurkai menunjukkan makna lazimnya : larangan. Seperti diatas, halal thalaq bila memang itu jalan satu-satunya. Dibenci Allah, karena masuk dalam qaidah umum : mengharamkan apa yang dulunya telah dihalalkan, jadi sebenarnya tidak ada bertentangan hadits diatas, hanya harus diposisikan menurut tempat masing-masing, sisi yang berbeda.

Dengan bijak memahami dalil akan menghasilkan konklusi hukum yang bijak pula dan tentu saja berujung dengan amalan yang berkualitas. Islam tidak memberatkan umatnya untuk menggali setiap disiplin ilmunya, hanya ilmu yang bersifat kondisional saja yang difardhu-ainkannya. Hanya kepada pelaku bisnis saja bab mu’amalat diwajibkan. Inilah intinya di hadits berikut ini :
      “ Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap musli” (HR, Ibnu Majah)
      Ulama sepanjang masa sepakat, bahwa kewajiban mencari ilmu adalah ilmu hal (ilmu keadan setiap orang). Hanya bagi calon haji yang wajib mempelajari tentang haji dan umrah. Kepada orang kaya saja difardhukan mempelajari mengenai zakat mal, hanya mareka-mareka yang akan memasuki gerbang perkawinan saja yang dituntut mendalami seputar hukum-hukum munakahat[4]

      Calon lintoe dan dara baroe (calinda) merupakan pihak yang sangat berkompenten dengan sebuah perkawinan, meskipun pihak lain tidak dapat dinafikan untuk ikut menentukan sahnya sebuah pernikahan. Tapi yang menelusuri dan mendapat hasil (anak) dan perkawinan itu adalah calinda. Ditangan merekalah penentuan baik buruknya hasil (keturunan). Nabi Saw telah mensinyalirkan hal dalam hadits :
      “Setiap anak yang dilahirkan membawa fitrah (potensi baik dan iman), kedua orang tuanya yang menasranikan, meyahudikan dan memajusika mareka atau membawa masuk ke dalam islami”(HR. Buchari)

      Kalau mau diibaratkan calinda itu sama persis dengan dua orang produsen yang bekerja sama hendak memproduksi satu produk. Sudah barang tentu mereka tidak hanya mencukupkan tahu cara memproduksinya saja, lebih jauh mereka akan memikirkan tentang mutu sebuah produk. Inilah logika umumnya sekarang ini. Ciri khas manusia modern, bagaimana produk esok lebih baik dari hari ini. Kalau aku belajar hanya di Matan Taqrib, bagaimana anak-anakku bisa mencapai Qalyubi wa ‘Umairah. Ini prinsip bagus untuk menciptakan manusia lebih berkualitas. Tapi sayangnya, tidak semua kita tahu atau tidak tahu atau tidak mencari tahu, bahwa usaha untuk menghasilkan produk bermutu tinggi harus dimulai lebih dini dan dari diri si produsen itu sendiri. Bila tidak, niatan menghasilkan terbaik, malah melahirkan seburuk-buruk produk : anak zina. Karena kita hanya tahu memproduksi, tapi tidak mengerti batas-batas produksi, atau tidak memahami bahwa kita telah berkolaborasi dengan iblis. Bila ini terjadi, maka tamatlah nilai-nilai keihsanan, karena belum ada dalam sejarah anak zina membawa kebaikan. Dia produk yang salah dan cendrung kepada kehancuran akhlaq manusia, sehingga Allah mensyaratkan kehancuran total (qiamat) dengan bertaburannya anak zina.

      Makanya, dalam rangka mengawal nilai-nilai kemanusiaan yang agung, Allah Swt menetapkan syarat-syarat super ketat. Diawali dari khitbah (meminang) sampai kepada talaqh dan sampai kepada ingin kembali (ruju’) kepada “Mawaddah wa Rahmah” yang pernah dirasakan dulu, selalu dijejal dengan persyaratan yang begitu ketat. Bukan untuk membebani hamba, tapi lebih kepada menjaga harkat dan martabat insane yang begitu suci.

      Salah satunya, ini juga sebuah poin yang masuk dalam penelitian kami, adalah ruju’. Ruju’ adalah pintu kembali kepada bekas istri. Dalam bahasa ‘Arab, raj’ah atau ruju’ berarti kembali. Pada terminology syar’i dirangkai sebagai berikut :
      “Aksi untuk kembali kepada nikah sesudah thalaq yang bukan bain dengan lafadh tertentu”.[5]

Sampai disinilah pembatasan-pembatasan masalah penelitian kami.

IV. METODE PENELITIAN
a.          Mazhab Syafi’e
Ada beberapa alas an yang menjadi latar mengapa kami memilih mazhab Syafi’e sebagai asas penelitian kami :
1.      Karena kami merasa sangat keterbatasan untuk mengistimbat hukum-hukum langsung ke sumbernya. Bila kami memaksakan diri juga, niscaya persis seperti hadits ini :
      “ Apabila pekerjaan diserahkan kepada bukan pakarnya, maka tunggulah kehancuran”.

2.      Karena islam yang mendarat pertama kali di Aceh adalah mazhab Syafi’e (Hamka, Sejarah Islam).
3.      Karena mayoritas umat Aceh sekarang masih setia dengan Asy-Syafi’e dan Asy-Syafi’eyah.
4.      Karena dikhawatirkan akan timbul konflik horizontal bila bukan mazhab Syafi’e yang di berlakukan.
5.      Karena tidak timbul qil wal qal terhadap mazhab Syafi’e (satu indikasi sesat).
6.      Karena penyebaran mazhab Syafi’e mengalir secara natural, tidak dipaksakan oleh kekuasaan (satu lagi ciri sesat)
7.      Karena mazhab Syafi’e bukan bentukan orentalis, beda dengan Wahaby,baha’I dan Ahmadiyah Qadyan (Memoar Hempher)

b.         Muthala’ah al-kutub (kajian pustaka)
Mengungkap berbagai rahasia tersurat dan tersirat nash-nash Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab mu’tabarah dan buku-buku pedoman Departemen Agama yang ada sangkut-pautnya dengan penelitian kami.
c.          Observasi
Menyimak dan mengamati terhadap fenomena regilius sosial masyarakat dalam mempraktek nilai-nilai agama mareka
d.         Interview
Mewawancarakan secara acak dan secara santai (bukan pertemuan resmi yang bersengaja digelar untuk itu) terhadap masalah-masalah yang terjadi atau yang mareka alami langsung.

V.    KEGUNAAN PENELITIAN
Temuan-temuan dalam pelacakan kami terhadap literatur dan warna-warni kehidupan keagamaan masyarakat, kami niatkan sebagai :
a.       Masukan untuk merancang qanun-qanun Aceh yang lebih baik di masa mendatang.
b.      Membuka kenyataan sebenarnya terhadap praktek keagamaan oleh masyarakat, khususnya mengangkut seputar pernikahan.
c.       Menjadi bahan pengetahuan dasar bagi para wali, calinda dan tokoh-tokoh masyarakat tentang nikah dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
d.      Bahan awal bagi peneliti-peneliti selanjutnya.










BAB II
MUTHALA’H KUTUB
1.      Wali Nikah
A.    Wali khas (nasab)
Sebagai satu kompenen (rukun) untuk sahnya sebuah perkawinan, wali mempunyai landasan yang cukup kuat dari nash Al-Qur’an “
      “ Maka janganlah kamu mencegah perempuan-perempuan untuk menikah dengan (mantan) uami-suami mareka”. (QS : Al-Baqarah : 232)

      Ayat ini turun dilatarbelakangi oleh peristiwa yang diperankan oleh ma’qil Bin Yasar ketika beliau bersumpah tidak akan menikahkan saudara perempuannya kepada bekas suaminya. Maka  Allah menegurnya dengan firman diatas. Teguran Allah ini, dipahami oleh para ulama, bahwa hanya wali yang mempunyai hak untuk menikahkan. Kalau bukan demikian (boleh dinikah oleh selain wali), maka teguran dan larangan Allah diatas tidak bermakna apa-apa, karena bisa saja dilaksanakan orang lain.[6]

Hal senada tertulis dalam hadits :
      “Tidak sah nikah melainkan dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil, dan bila nikah diselenggarakan tidak seperti itu, maka batil” (HR. Ibnu Hibban)

      Mareka yang dianggap sebagai wali yang sah adalah mereka yang telah direkomendasikan Allah Swt dan RasulNYA, seperti berikut ini :
        Ayah
        Kakek (bapak ayah)
        Saudara lelaki kandung
        Saudara lelaki seayah
        Anak lelaki saudara kandung
        Anak lelaki saudara lelaki seayah
        Paman (saudara lelaki seayah)
        Anak lelaki paman kandung
        Maula mu’tiq (orang yang memerdekakan)                                                                         
      Mereka yang tersebut diatas diikat dengan syarat-syarat berikut ini :
a.       Islam.
“ Wahai orang beriman, janganlah kamu ambil orang Yahudi dan Nashrani sebagai wali, sebahagian kamu menjadi wali untuk sebahagian.” (QS : Al-Maidah :51)

b.      Bulugh (sampai umur)
c.       ‘Aql (ber’akal)
d.      Hurriyah (merdeka)
Dalil ketiga poin diatas adalah hadits Ibnu Hibban sebelumnya, karana ‘adalah hanya ada pada mareka yang sudah sampai pada tahap baligh, ber’aqal dan merdeka.
e.       Zukurah (lelaki)
“Tidak sah perempuan menikahkan perempuan dan tidak sah perempuan menikahkan dirinya sendiri, perempuan yang menikah dirinya adalah penzina” (HR. Daraquthny).

f.       ‘Adalah (keadilan)
Dalilnya hadits Ibnu Hibban diatas.
      Secara harfiah ‘adalah dimaknai dengan istiqamah (ketetapan). Ulama-ulama fuqaha’ menterminologikan dengan :
      “Orang-orang yang terhindar dari dosa besar dan selalu berencana taubat dari dosa yang kecil serta menjauhkan diri dari perbuatan hina dan sia-sia, seperti makan di tepi jalan dan kencing sambil berdiri[7]
      Mencermati dengan seksama definisi diatas, kita menemukan tiga unsure penting, yang masing-masing berdiri sendiri untuk kemudian diramu menjadi satu, berwujudlah ‘adalah (adil) :
a)         Terhindar dari dosa besar.
Dosa besar adalah :
“Sesuatu yang diharamkan secara jelas dan diancam dengan hukuman yang berat di dunia atau diakhirat melalui nash-nash yang qath’i.[8]
      Dengan batasan ini maka masuklah seperti :
           Melakukan shalat sebelum waktunya.
           Mengeluarkan shalat dari waktunya tanpa halangan.
           Tidak menuntut ilmu seukuran fardhu ‘ain dalam urusan yang dia geluti.
           Membunuh.
           Berzina (sekalipun dengan binatang.
           Liwath (homo seksual/lesbian).
           Minum minuman keras.
           Menuduh (orang lain).
           Mencuri sampai ukuran nisab (seukuran potong tangan).
           Merampok.
           Kesaksian palsu.
           Namimah (membawa-bawa perkataan orang lain untuk tujuan tidak baik).
           Sumpah palsu.
           Qatha’ rahim (memutuskan persaudaraan).
           Durhaka kepada dua orang tua.
           Menganianya muslim dengan dhalim.
           Lupa hafalan ayat-ayat Al-qur’an.
           Dan lain-lainnya[9]
b)      Berencana taubat dari dosa kecil.
Kebalikan dari dosa besar, dosa kecil adalah :
“sesuatu yang diharamkan yang diancam di dunia dan akhirat dengan hukuman yang tidak sekeras ancaman dosa besar”
Ta’rif ini melahirkan kulliyat (perincian) yang banyak sekali. Disini kami menyebut beberapa contoh saja :
        Nadhar (melihat dan memikirkan) kepada yang tidak dibolehkan.
        Ghibah (mengupat).
        Diam terhadap upat.
        Dusta.
        Membuka aurat.
        Tidak mau berbicara sesame muslim lebih tiga hari.
        Beramah-tamah dengan orang jahat (perspektif agama)
        Mencuri dibawah nisab.
        Zina mata, telinga, mulut dan tangan.
        Berkhalwat (berduaan lelaki-perempuan bukan muhrim.
        Bermain music
        Dan lain-lainnya[10]
c)      Menjauhkan diri dari perkara sia-sia dan hina (menjaga muru-ah). Muru-ah adalah ;
“Berkelakuan seperti kelakuan orang-orang semisalnya (teman sejawat) yang semasa dan setempat dengannya”
Berikut beberapa contoh meruntuhkan muru-ah :
        Makan dan minum dipekan.
        Bepergian tanpa tutup kepala.
        Mengecup istri di depan khalayak ramai.
        Kencing sambil berdiri.
        Main syathranji (catur)
        Membonceng istri dibelakang kereta dengan duduk berpapasang.
        Dan lain-lainya yang semisal dengan diatas.[11]
      Uraian-uraian diatas adalah persyaratan bagi ‘adalah untuk mendapat hak kewalian dalam mazhab Imam Syafi’e. Artinya, secara asal mazhab, orang-orang yang tidak memiliki satu saja syarat-syarat diatas, maka dia disebut fasiq, dan secara otomatis hilang dari daftar perwalian serta bergeser hak tersebut kepada wali ab’ad atau bahkan kepada hakim resmi. Dan apabila sifasiq tetap bersikeras merebut hak perwalian (menikahkan), itu berarti dia melegalkan perzinaan anaknya.

      Tetapi beberapa ulama Asy-Syafi’eyah berbeda dalam menafsirkan ‘adalah wali nikah khususnya. Ini, dilandasi oleh kondisi transisi shabi ke baligh dan kafir ke islam, yang kedua-duanya dianugrahkan agama hak kewalian untuk menikahkan, padahal secara jelas dan pasti mareka tidak bersifat dengan malkah ‘adalah, ini mengisyaratkan, bahwa ada wasithah (perantara) antara ‘adalah dan fasiq. Dan wali berada dalam posisi tersebut.

      Said Al-Bakry menulis ; “ ‘Adalah pada hak wali adalah tidak fasiq, sebaliknya ‘adalah di pihak saksi nikah maka ia bermakna satu malkah (kemampuan) dalam jiwa yang mencegah pemiliknya melakukan dosa besar dan kecil serta kesia-siaan yang mubah. Berarti ‘adalah wali mencakup wastithah, yaitu tidak fasiq dan tidak juga ‘adalah hakikah. Kondisi wasithah ini tahakkuk wujud pada diri shabi bila baligh dan fasiq bila bertaubat”.[12]

      “ Disyaratkan wali nikah tidak fasiq, berdasar pendapat yang rajih (kuat)”.[13]

      Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary  berkata : “Dan kalau orang fasiq bertaubat secara benar, maka boleh ia menikahkan saat itu juga”.[14]

      Taubat model diatas mendapat kritikan dari banyak ulama, karena diantara syarat-syarat taubat adalah mengembalikan barang-barang yang didhaliminya dan mengqadha shalat, misalnya. Hal ini tidak mungkin dilakukan dalam sekejap di majlis ‘aqad nikah,  lalu bagaimana dia boleh menikahkan saat itu juga ?
      “Isykal” ini dijawab oleh Syaikh ‘Ali Syibra malasi : “ Sesungguhnya taubat seorang wali tidak disyaratkan mengkadha shalat, misalnya. Tetapi, harus didapatkan syarat-syarat taubat, bahwa dia telah bertekad sangat kuat untuk membayar dan mengembalikan segala bentuk kedhalimannya selama ini. Masalah ini di perkuat oleh bahwa disini (dibab wali nikah) bersifat lebik fleksibel. Buktinya, profesi-profesi rendah dan hina yang tidak punya kelayakan dengan siwali, tidak bisa menahannya untuk boleh menikahkan ”.[15]

      Dari kutipan-kutipan diatas, kita memahami, bahwa hak kewalian sifasiq yang hilang bisa diraih kembali dengan taubat. Bahkan ada ulama yang berfatwa, bahwa orang fasiq tidak hilang hak kewaliannya. Al-Imam Taqyuddin menulis :
      “Ketahuilah, Rafi’e berkata : “bahwa mayoritas ulama mutaqaddimin berfatwa, orang fasiq punya hak kewalian, lebih-lebih menurut ulama Khurasan. Fatwa ini juga dipilih oleh Rauyani “.[16]

      Hampir sama dengan Taqyuddin, Al-Malibary menukil ‘ibarat kitab Tuhfah :
      “ Mayoritas Mutaakkhirin ashhab memilih, sesengguhnya (wali fasiq) mewilayahkan (hak kewalian)” . [17]

Kewalian muthlaq (apapun kondisinya) orang-orang fasiq diatas, sedikit berbeda dengan apa yang dituliskan oleh Al-Malibary berikut ini :
      “Nawawi, seperti juga Ibnu Shilah dan Subki, memilih apa yang telah difatwakan oleh Al-Ghazaly, bahwa hak kewalian orang fasik tetap kekal kalau seandainya di pindahkan, akan berpindah ke hakim fasiq”.[18]

Dari penelusuran beberapa linteratur di atas tentang wali nikah dan kewaliannya, kami dapat merekomendasikan beberapa hal berikut ini :
        Bahwa wali nikah dipersyaratkan dengan ‘adalah yang ketat (tidak ada tawar menawar), yaitu wajib memiliki malkah (kemantapan jiwa) yang mencegah dia dari berbuat dosa besar dan kecil serta perkara-perkara sia-sia dan hina yang mubah. Bila tidak, hak kewaliainnya secata otomatis bergeser ke wali ab’ad atau hakim (asal mazhab).
        Bahwa kewalian bersifat ausa’ (fleksibel), bukan ‘adalah dan bukan juga fasik, artinya wasithah antara keduanya. Berarti wali tidak disyaratkan ‘adalah, tapi tidak boleh orang fasiq. Orang-orang yang berada pada posisi wasithah misalnya shabi bila baligh, kafir bila masuk islam dan fasiq bila taubat fil hal (taubat dalam majlis ‘aqad dengan bertekad sangat kuat ingin mengembalikan seluruh barang yang pernah didhaliminya dan mengqadha shalat, misalnya). (diamalkan)
        Bahwa orang-orang fasiq tidak kehilangan hak kewaliannya bila seandainya dipindahkan akan berpindah ke hakim fasiq. (diamalkan)
        Bahwa orang-orang fasiq tetap memegang hak kewaliannya, apapun kondisinya bagaimanapun situasinya (dididhaifkan)

B.     WALI ‘AM (Hakim)
“Sulthan (orang-orang yang memegang suatu kekuasaan) adalah wali bagi orang yang tidak punya wali”. (HR. Syafi’e, Abu Daud dan Ibnu Hibban)

      Seperti terpahami dalam hadits di atas, hakim bertindak menikahkan perempuan dalam wilayah hukumnya pada saat si perempuan tidak ada lagi memiliki wali khas, secara hissi (riil) ataupun secara syar’i (tinjauan agama). Riilnya memang siperempuan tidak mendapatkan sama sekali atau tidak ada lagi kerabat yang masuk dalam jajaran perwaliannya atau dalam perspektif agama kerabat-kerabatnya bukan orang yang mendapat hak perwalian. Dengan data hissi dan syar’I, inilah  seorang hakim boleh menikahkan seorang perempuan :
        Sama sekali tidak mempunyai wali khas.
        Tidak diketahui keadaan dan keberadaan wali khas.
        Wali khas yang terdekat jauh dua marhalah (94 atau 96 Km.).
        Wali khas terhalang sampai ke majlis ‘aqad, walau pun berjarak dibawah dua marhalah.
        Wali khas enggan menikahkan.
        Wali khas sedang dalam ihram.
        Wali khas kawin dengan muallinya.
        Wali khas dalam persembunyiannya[19]
      Seorang wali hakim, pendapat mayoritas ulama, tidak disyaratkkan ‘adil dalam kaitannya dengan menikahkan. Artinya, boleh fasiq sekalipun, karena hakim menikahkan dengan kewilayahannya atas satu daerah. Sama halnya dengan said (pemilik budak), menikahkan dengan kepemilikannya atas budak.

2.      SAKSI NIKAH
“Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua saksi yang adil”. (HR. Ibnu Hibban)
      Syarat-syarat yang diperhitungkan untuk menjadi seorang saksi lebih ketat dan lebih banyak dibandingkan dengan menjadi wali, seperti nukilan berikut ini :
a.       Muslem
“Tidak diterima kesaksian seorang pemeluk satu agama atas pemeluk agama yang lain, kecuali orang-orang islam, sesungguhnya mareka adil atas diri mareka sendiri dan atas pemeluk agama lain”.  (HR. Abdur Razzaq)

b.      ­Baligh
“Bersaksilah dua orang saksi daripada rijalikum (lelaki kamu)”. (QS : Al-Baqarah : 282)

Kata-kata rijal dipakai untuk lelaki dewasa.
c.       ‘Aql.
“(bersaksilah)…….orang-orang yang kamu ridhai sebagai saksi” (Qs : Al-baqarah : 282)

Tidak ada orang yang rela dipersaksikan orang gila
d.      Hurriyah (merdeka)
“Bersaksilah yang mempunyai keadilan di antara kamu” (QS : Ath-Talaq: 2)
Asbabul nuzul ayat ini adalah orang-orang yang merdeka.
e.       ‘Adalah (tidak fasiq)
“ Bila datang orang fasiq membawa berita, maka carilah kebenarannya” (QS : Al-Hujarat : 6)

Berarti berita dari orang fasiq tidak dapat dipercaya[20].
      Pesyaratan terhadap ‘adalah diatas silahkan rujuk kepada permasalahan yang sama pada persyaratan wali. Bedanya, fleksibelitas yang berlaku pada wali, tidak boleh diberlakukan pada saksi nikah, karena tidak pernah ada ulama yang merekomendasikan hal tersebut,. Paling-paling yang bisa diterapkan dalam konteks persaksian dengan melihat kepada perkembangan akhlaq yang semakin jauh dari tuntutan agama adalah konsep :
      “Amtsal fal amtsal” (yang terbaik di setiap ruang dan waktu)
      Alhasil, dalam bidang persaksian tidak boleh dianggap sebagai ajang bermain-main, tidak boleh hanya melihat kiri-kanan lalu main copot sembarangan dijadikan sebagai saksi. Tidak seharusnya terjadi tradisi selama ini, bahwa Tgk. Imum Gampong calinda bersangkutan secara otomatis diplot sebagai saksi. Bahkan ada yang lebih radikal lagi, Tgk. Imum Gampong minta jatah sebagai saksi setiap kali ada warganya yang menikah. Kita tidak apriori apalagi antipati terhadap Tgk. Imum. Masalahnya, layak atau tidak jadi saksi. Bila memang beliau yang terbaik, alhamdilillah sekali. Tapi, bila memang masih ada yang lebih baik, itu berarti beliau-beliau memegang peranan penting dalam menciptakan perzinaan dan anak zina, dan sekaligus mempercepat datangnya kiamat. Nawami berkata “
      “ Bila seorang qadhi memutuskan sebuah keputusan berdasarkan kesaksian dua orang saksi, yang ternyata dua saksi itu kafir, budak, shabi dan fasiq, maka wajib keputusan tersebut dibatalkan oleh qadhi bersangkutan atau qadhi lainnya “.[21]


3.      TALAQ
“Bilangan talak itu dua”.  (QS : Al-Baqarah : 229)
Talak dibataskan dengan beberapa rukun untuk memastikan wujudnya :
a.    Shighat (ucapan tertentu)
Shighat adalah : “ucapan-ucapan untuk melepaskan ikatan ‘aqad nikah”
Shighat dikelompokkan kepada dua :
1.      Sharih (jelas tujuannya)
      “Yaitu ucapan-ucapan yang jelas tujuannya mengarah kepada melepaskan ikatan nikah, karena di ulang-ulang pemakaiannya dalam Al-Qur’an dan karena sering dipergunakan manusia untuk maksud tersebut”

Lafadh-lafadh (ucapan-ucapan) tersebut adalah :
                    Thalaqa
                    Firaqa
                    Saraha (ha Kerongkongan)
Kami akam menyalin kata-kata diatas dalam bentuk pemakaian dalam kalimat-kalimat sebagai berikut :
                    Thallaqtuki
                    Faraqtuqi
                    Sarrahtuqi
                    Anti thaliq
                    Anti muthallaqah
                    Ya… thaliq
Kalimat-kalimat diatas merupakan kalimat yang jelas untuk tujuan perceraian, sehingga tidak membutuhkan kepada niat cerai lagi. Ini dalam konteks bahasa ‘arab. Diluar bahasa arab dianggap sebagai ucapan sharih kepada thalaq adalah terjemahan-terjemahan kalimat diatas dalam setiap bahasa. Mari kita lihat terjemahannya secara berurutan dalam bahasa melayu :
                    Aku thalaq akan dikau
                    Aku ceraikan dikau
                    Aku halaukan dikau
                    Engkau thaliq
                    Engkau yang kena thalaq
                    Hai thaliq[22]
      Setelah kita tahu dalam bahasa melayu, tidak begitu sukar bila hendak mengalihkan dalam bahasa Indonesia sekarang.
2.                   Kinayah (sindiran)
Yaitu : “Setiap ucapan yang boleh jadi untuk thalaq atau bukan, sehingga dibutuhkan kepada niat thalaq”.[23]

      Tentu saja kinayah merupakan ucapan yang bukan sharih seperti diatas tadi, seperti beberapa contoh berikut ini :
                    Aku lepas akan dikau
                    Engkau terlepas
                    Engkau kena lepas
                    Engkau sunyilah
                    Engkau yang diputuskan perhubungan
                    Engkau yang ditinggalkan nikah
                    Halal Allah atasku haram
                    Ber’iddahlah akan istibra’ rahim engkau
                    Hubung olehmu akan keluargamu
                    Bujanglah engkau
                    Tinggalkanlah aku
                    Dan lain-lain[24]
      Termasuk dalam thalaq kinayah ucapan-ucapan sharih yang ditulis tanpa diucapkan, sehingga dibutuhkan niat untuk sah thalaq, bila tidak maka tidak.[25]
b.      Mahall (istri)
Thalaq harus dijatuhkan kepada seorang perempuan yang berstatus istri si suami. Karena logikanya, thalaq yang merupakan sarana pemutusan hubungan suami-istri, tentu saja thalaq dialamatkan kepada seorang istri. Istri, dalam kapasitasnya sebagai manusia, memiliki bagian-bagian tubuh seperti layaknya manusia lainnya. Ada bagian yang masih melengket, ada bagian yang telah terpisah atau seharusnya dipisahkan. Semua ulama berpendapat, hanya bagian yang melengket, seperti tangan, kaki, rambut, dan organ lainnya yang masih berada ditempatnya, yang apabila dijatuhkan thalaq, thlaq sah, seperti kata suami :
                    Tanganmu kuthalaqkkan
                    Kakimu kuceraikan
Kebalikannya, tidak sah thalaq, bila thalaq diucapkan kepada bagian yang telah bercerai dari tubuh istri atau bagian-bagian Fudhlah (bagian yang seharusnya bercerai) seperti kata suami :
                    Aku thalak air liurmu
                    Aku talak tahimu
                    Peluhmu kuceraikan
                    DLL[26] 

c.                   Wilayah
Wilayah adalah suami mempunyai kewenagan atas istri, walaupun istri berstatus thalaq raj’i
“Tidak ada thalaq kecuali sesudah nikah.  (HR. Tarmizi)
      Kewenangan yang dimiliki suami atas seorang perempuan, adalah dasar utama dia menjatuhkan thalaq, sekalipun istri sedang menjalani ‘iddah thalaq raj’I. beda dengan istri thalaq bain, kewilayahan suami atasnya telah hilang sama sekali. Apalagi perempuan yang belum pernah punya hubungan dengan si suami, jelas sekali thalaq tidak sah, sekalipun dengan cara ta’liq (dipersyaratkan thalaq), misalnya, seorang lelaki berkata kepada seorang perempuan :
        Bila aku kawin denganmu nanti, kuthalaq kamu
        Siapapun yang aku kawini nanti, aku ceraikan dia
Ini hanyalah kalimat-kalimat kosong yang tidak terimplikasikan hukum apapun di dalamnya, tidak dari segi thalaq, tidak juga dari sudut ta’liq[27]
d.                  Qashad (menyengaja)
Yaitu “ pengucapan kalimat-kalimat thalaq disertai dengan makna yang terkandung didalamnya”
      “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya” (HR. Buchari)
Dengan rukun ini, thalaq tidak jatuh bila diucapkan orang-orang yang berikut ini :
           Orang sedang tidur
           Orang terlanjur lidah
           Orang yang menceritakan thalaq orang lain di depan istrinya
           Orang yang memanggil thaliq kepada istrinya (kebetulan nama istrinya thaliq)
           Orang yang mengucap thalaq dalam bahasa arab yang tidak mengerti maknanya, sekalipun niat thalaq.[28]
Tetapi ada juga orang yang melafadh kalimat thalaq tanpa niat maknanya, dihukumkan jatuh thalaq nya :
           Suami yang melafadh kalimat thalaq untuk bermain-main atau berkelakar dengan istrinya.
           Suami yang menthalaq istrinya dalam kegelapan, yang dugaannya ajnabiyah  (perempuan lain)
“Tiga perkara, yang kesungguhannya dan kepura-purannya dianggap sungguh-sungguh, yaitu thalaq, nikah dan ruju’ ”  (HR. Tarmizi dan Hakim)


e.                   Muthliq (suami)
Untuk mewujudkan thalaq, peran suami sangat menentukan dan signifikan sebagai actor utama. Namun tidak semua suami bisa menjatuhkan thalaq dengan leluasa. Mereka harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :
1.                  Baligh
2.                  ‘Aqil
3.                  Jaga
Diangkatkan pena (tidak dihukumkan) dari tiga orang, orang tidur sehingga ia bangun, shabi sehingga ia bermimpi balihq, orang gila sehingga sembuh”. (HR. Tarmizi dan Abu Daud)

4.                  Muchtar (pilihan sendiri)
“Tidak ada thalaq dan tidak ada merdeka pada pemaksaan” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Hakim)

Dikeluarkan dari persyaratan ‘aqil adalah mabuk muta’addi (sengaja). Artinya, thalaq orang mabuk muta’addi sah.
“Janganlah kamu mendekati shalat bila kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu ketahuai apa yang kamu ucapkan” (QS : Annisa’ : 43)

Konteks ayat di atas turun kepada pemabuk muta’addi, ternyata mareka masih ditaklifkan untuk shalat. Maka diberlakukan qias (analogi) untuk selain shalat, misalnya thalaq. Diantara yang diqiaskan adalah gila muta’addi, sehingga thalaqnya dianggap berlaku.[29]

BILANGAN THALAQ
      “Suami-suami merdeka memiliki thalaq tiga thalaq “ (bilangan) thalaq  dua,  (sesudah itu) boleh menahan dengan baik-baik atau menceraikan secara baik-baik pula”.  (QS : Al-Baqarah : 229)

      Ayat ini turun dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa, bahwa pada masa-masa permulaan islam seorang suami boleh menthalaq istri sesuka hatinya, sehingga ada suami yang mempermainkan istrinya dengan thalaq lalu ruju’, thalaq kemudian ruju’, thalak ruju’ kembali dan seterusnya, hingga akhirnya seorang istri mengadukan halnya kepada ‘Aisyah Ra, beliau meneruskan kepada Nabi Saw. Nabi Saw terdiam lama tidak punya jawaban dalam masalah ini. Maka turunlah ayat diatas untuk mencair kebisuan Nabi (HR. At-Tarmizi)
      Jadi “Marrataini” (dua) dalam ayat menunjukkan bilangan thalaq yang boleh ruju’, karena ayat ini diposisikan sebagai jawaban atas peristiwa diatas tadi. Artinya, hanya dua kali thalaq yang dibolehkan ruju’, bukan thalaq-ruju’ yang tanpa batas sesuka si suami.
      Ayat diatas pula mengundang pertanyaan shahabat, “dimana yang ketiga ?” Rasulullah menjawab, “ yang ketiga itu ada pada : ‘atau menceraikan secara baik-baik’ kedepannya”. (HR. Al-Baihaqi)

      Ayat diatas diturunkan kepada orang-orang merdeka. Adapun budak dijawab oleh hadits ini :
      “Seorang budak mukatab Ummu Salamah menthalaq istrinya yang perempuan merdeka dengan thalaq dua, hendak ruju’ kembali. istri-istri Nabi Saw memerintahkan dia mencari ‘Ustman. ‘Ustman yang kebetulan sedang bersama dengan Zaid bin Tsabit, menghardik dia dan kedua-dua berkata “haram dia untuk mu…….haram dia untukmu”! (HR. Syafi’e)

Cukup jelas kemana arah ‘dilalah’ hadits diatas. Lalu bagaimana cara menghitung tiga kali thalaq? Al-Imrani menulis :
      “Bila thalaq tiga dalam kondisi suci atau kondisi haidh atau thalaq tiga dalam satu ucapan, maka semuanya jatuh thalaq tiga. Pendapat ini tidak ada pertentangan baik dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, maupun kalangan fuqaha’ (mazhab empat). Hanya ahli dhalir (wahabiyah) dan Syi’ah yang berpendapat berbeda, bahwa thalaq tiga yang diucapkan dalam satu waktu (kondisi suci dan haidh atau dalam sekali ucapan ) tidak jatuh thalaq satupun. Sebagian mareka berkata, jatuh satu. Pendapat ini tidak ada dasarnya, tidak dari nabi Saw, tidak dari kalangan Shahabat, tidak dari Tabi’in ataupun Tabi’ Tabi’in[30]

      Asy-Syaikh Ahmad Ash-Shawi Al-Maliki berkata :
      “ Dan apabila telah ada ketetapan thalaq tiga dalam sekali atau beberapa kali ucapan, maka si perempuan tidak halal lagi bagi suaminya, seperti kalau suami berkata : kamu terthalaq tiga atau ‘Al-battah’ (putus, habis). Ini adalah hukum yang telah di ijma’kan. Adapun pendapat thalak tiga dalam sekali ucapan hanya jatuh satu thalaq, maka tidak diketahui selain pikiran Ibnu Taimiyah dari mazhab Hanabilah. Dan pemuka-pemuka mazhab ini telah menolak sekeras-kesarnya hasil pikiran tersebut, sehingga para ulama menyatakan, bahwa buah pikiran itu ‘dhall mudhill’ (sesat menyesatkan). Dan menyandarkan pendapat tersebut kepada Imam Asyhab dari Malikiyah adalah batil”.[31]

      Dari hasil pelacakan kami dalam kitab-kitab Asy-Syafi’iyah, dapat kita ambil kesimpulan-kesimpulan yang berkaitan dengan penelitian kami :
                    Bahwa thalaq disebuah intansi Negara, Mahkamah Syari’ah misalnya, bukan merupakan salah satu syarat sah thalaq.

                    Bahwa, apabila pun diperintahkan ulang thalaq yang telah diucapkkan, maka itu dihitung sebagai thalaq selanjutnya dari bilangan yang telah ada.
                    Bahwa thalaq dalam keadaan sangat marah sah dan jatuh thalaq.
                    Bahwa bermain-main atau bersenda-gurau dengan thalaq adalah jatuh thalaq.
                    Bahwa mazhab Syafi’e, Hanafi, Maliki, Hambali dan seluruh ulama umat berijma’ : thalaq tiga dalam sekali atau beberapa kali ucapan jatuh tiga thalaq.
                    Bahwa, memberlakukan thalaq tiga dalam sekali ucapan hanya jatuh satu thalaq adalah tindakan sesat menyesatkan dan menggiring masyarakat ke arah legalisasi zina, serta mengundang konflik horizontal masyarakat.


4.      DLIHAR
Pada bagian ini, sebenarnya kami ingin melihat sejauh mana pengetahuan catin seputaran masalah munakahat, khususnya dlihar. Karena dari gejala yang kami tangkap di masyarakat, sangat minim catin memperkaya diri dengan persoalan yang satu ini. padahal bias dari ketidaktahuannya sangat dekat dengan keabadian dalam dosa besar. Hal ini mudah tercipta tapi tidak semua catin mau mengerti, sehingga mereka sangat mudah terperangkap dalam dosa besar. Mari kita lihat :
“Dan orang-orang yang menyamakan istrinya kemudian kembali mereka kepada apa yang telah mereka katakan, maka hendaknya memerdekakan seorang budak perempuan” (QS : Al-Mujadalah :3)

Dlihar secara bahasa diartikan ‘punggung’. Dalam termenologi syar’i dimaknai dengan “
Pernyamaan seorang suami akan istrinya yang bukan bain dengan perempuan-perempuan yang haram bagi suami”.[32]

Rukun-rukun dlihar :
a.       Mudlhir (suami yang melafadhkan dlihar)
(syarat-syarat mudlhir sama dengan muthliq, silahkan rujuk kepada permasalahan bersangkutan)
b.      Mudlhar ‘anha (istri)
Disyaratkan perempuan masih berstatus istrinya, sekalipun sedang menghabiskan masa ‘iddah thalaq raj’i, masih hidup saat lafadh berakhir.
c.       Musyabbah bih (perempuan yang disamakan istri dengan dia)
Yaitu, “Setiap perempuan atau organ tubuh perempuan yang haram dinikahkan, baik karena keturunan, susuan atau pun bermantu yang sebelumnya tidak pernah halal baginya”

Contoh musyabbah bih dari garis keturunan :
                    Ibunya
                    Neneknya (pihak ayah atau ibu)
                    Bibinya (pihak ayah atau ibu)
                    Saudara perempuannya
                    Anak perempuannya
                    Cucu perempuannya
Contoh musyabbah bih dari susuan :
                    Perempuan yang menyusui ayahnya
                    Perempuan yang menyusui ibunya
                    Perempuan yang menyusui istri ayahnya yang dinikahkan sebelum dia lahir.
                    Saudara perempuan sesusuan yang ada sebelum dia menyusui
                    Anak perempuan ibu susuan
Contoh musyabbah bih dari bermantu (mushaharah)
                     Istri ayahnya yang dinikahkan sebelum dia lahir[33]
d.      Shighat (lafadh dhihar)
Ialah : “Lafadh-lafadh yang menunjukkan kepada persamaan antara istri dengan muhrimnya”

1.      Sharih
Yaitu : “Jelas penunjukannya ke arah dlihar”, seperti :
                    Kamu seperti punggung ibuku
                    Kepalamu seperti kaki kakakku
                    Tanganmu seperti pipi bibiku
                    Telingamu seperti bibir adik perempuanku
                    Dan lain-lain persamaan antar organ-organ yang kelihatan.

2.      Kinayah
Ialah : “lafadh-lafadh yang dimungkinkan untuk dlihar atau bukan”, seperti :
                    Kamu seperti ibuku/nenekku/kakakku/bibiku
                    Kamu adalah ibuku/nenekku/kakakku/bibiku
                    Dan lain-lain yang bermakna ganda, yang membutuhkan kepada niat untuk sah dhihar[34]
      Setelah mengucapkan dlihar bila tidak dilangsungkan mengucapkan thalaq (artinya ada masa jeda antara dhihar dan thalaq), maka suami wajib memberi kafarat secara tertib, memerdekakan seorang budak perempuan, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan 60 orang miskin per orang satu mud.
Hasil muthala’ah kami sebagai berikut :
                    Bahwa dlihar adalah dosa besar, karena diancam dalam Al-qur’an dengan ancaman yang sama dengan sebahagian dosa besar lainnya, yaitu memerdekakan budak.
                    Bahwa dlihar sangat mudah terjadi, apalagi dalam masa bahagia pada awal perkawinan, yang memungkinkan terucap kata-kata perbandingan atau memuji sang istri untuk meromantiskan suasana, yang tidak disadari telah terucap kata dlihar, apalagi suami-istri yang minim pengetahuan agama.

5.      RUJUK (Raj’ah)
“Suami-suami mereka (perempuan) lebih berhak mengembalikan mereka dalam masa itu (‘iddah) jika suami-suami menginginkan kebaikan” (QS : Al-Baqarah :228)

Dari nabi Saw, “Bahwa beliau menthalaq hafsah dan meruju’kannya” (HR. Abu Daud)

Dalam pengertian bahasa, raj’ah adalah ‘masdar marrah’ (akar kata yang berarti satu kali kembali). Dalam terminology syar’i diartikan sebagai :

“Mengembalikan perempuan dalam nikah pada masa ‘iddah thalaq yang bukan bain”.[35]

Rukun-rukun ruju’
a.       Murtaji’ (suami)
(untuk mengetahui syarat-syarat murtaji’, silahkan kembali pada persyaratan muthliq)
b.      Mahall (istri, tempat ruju’)
Syarat-syarat mahall :
                    Telah disetubuhi sebelum dithalaq
                    Dithalaq tanpa imbalan
                    Tidak menghabiskan bilangan thalaq
                    Masih tersisa masa ‘iddah[36]
      “Suami-suami mereka (istri) lebih berhak mengembalikan mereka dalam masa itu (‘iddah)”(QS : Al-Baqarah: 228)

      “Dalam masa itu (‘iddah)”, menunjukkan ruju’ dalam masa ‘iddah, dan mengisyaratkan pula mesti istri yang telah disetubuhi, karena istri yang belum diwatha’ tidak mempunyai ‘iddah dan otomatis tidak ada tempat untuk ruju’.

      “Bila suami menthalaq tiga, maka istrinya itu tidak halal lagi baginya sehingga kawin dengan suami lain” (QS : Al-Baqarah : 230)

      ‘Tidak halal lagi’ berarti tidak boleh ruju’, karena inti dari ruju’ untuk menghalalkan apa yang telah diharamkannya dengan thalaq. Dan ternyata ‘tidak halal lagi’ menunjukkan tidak mungkin dihalalkan dengan ruju’, tapi dengan dikawini orang lain, karena bilangan thalaq telah habis. Demikian halnya dengan thalaq upahan, karena istri telah bain.

c.       Shighat (ucapan ruju’)
Ialah : ‘Setiap ucapan yang menunjukkan mengembalikan istri dalam nikahnya, baik sharih maupun kinayah’.


1.      Sharih
Yaitu : ‘ucapan yang mengandung makna hanya satu, jelas kepada ruju’, seperti berikut ini :
                    Raaja’tuki (aku kembalikan kamu)
                    Raja’tuki (aku kembalikan kamu)
                    Istarja’tuki (aku kembalikan kamu)
                    Radadtuki ilaiya (aku tolakkan kamu kepadaku)
                    Aamsaktuki ilaiya (aku pertahankan kamu kepadaku)[37]
2.      Kinayah
Ialah : ‘setiap lafadh yang bermakna ganda, boleh untuk ruju’ atau bukan’, seperti:
                    Tazawwajtuki (aku berkawin akan kamu)
                    Nakahtuki (aku bernikah akan kamu)
                    Radadtuki (aku tolakkan kamu)
                    Amsaktuki (aku pertahankan kamu)[38]
      Dari definisi dan lafadh-lafadh ruju’, kami memahami, bahwa murtaji’ (suami) dalam posisi subjek (fa’il) dan mahall (istri) diposisikan sebagai objek (maf’ul), dari kata-kata ‘mengembalikan’, atau dengan kata lain murtaji’ bersikap aktif, mahall bersikap pasif. Berdasarkan ini, bila sudah disetujui dan diakui, lahirlah makna : si suami yang bekerja melakukan ‘pengembalian’ dan siistri yang menunggu ‘dikembalikan’. Artinya, suami mengambil istri membawa kepadanya kembali, bukan suami yang kembali kepada istri. Ini bertentangan dengan qaidah ilmu  nahu (hukum fa’il dan maf;ul).[39]
      Kemudian Imam Nawawi menulis dalam Minhaj :
Menurut pendapat jadid, tidak disyaratkkan mempersaksikan dalam soal rujuk”. Karena ruju’ bermakna meneruskan hukum nikah yang telah ada. Beda dengan nikah, menciptakan hukum-hukum efek dari nikah.
      Dibagian lain beliau menulis :
      “Ruju’ tidak sah dengan suatu perbuatan, bersetubuh, misalnya”. Karena bersetubuh telah haram dengan thalaq, sedangkan tujuan dari ruju’ adalah menghalalkan haram itu. Logikanya, tidak mungkin menghalalkan sesuatu yang haram adalah dengan melakukan yang haram”.[40]

Dari paparan kami diatas, kami meringkasnya dalam beberapa poin yang sesuai dengan tujuan penelitian kami :
                    Bahwa ruju’ ada dalam syari’at islam.
                    Bahwa ruju’ merupakan tindakan suami mengembalikan istri dalam nikahnya kembali.
                    Bahwa ruju’adalah  istri yang dikembali ke suami, bukan suami yang pulang ke istri.
                    Bahwa lafadh ruju’ : “aku kembalikan lagi padamu (istri), tidak dikenalkan dalam mazhab Imam Syafi’e dan mazhab manapun.








BAB III.
MEMBEDAH BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM
MUQADDIMAH
      Setelah kami membuka lembaran-lembaran kitab As-Syafi’eyah untuk mencari patokan dalam penelitian kami ini agar lebih terarah dalam melangkah dan tidak membias konflik di masyarakat atas hasil-hasil yang kami raih nantinya, maka kami hadapkan perhatian untuk memasuki wilayah praktis, untuk mengetahui apakah-ada-tidaknya relevansi antara teoritis dengan praktis. Memasuki praktis berarti memasuki suatu kawasan yang sarat dengan kebijakan-kebijakan. Karena sebuah teori dalam tahap pelaksanaan selalu saja dipengaruhi oleh waktu dan tempat, sehingga harus ada kebijakan-kebijakan untuk mensiasati kondisi dan situasi yang ada. Ini wajar sekali bagi makhluk yang berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ada saja alasan yang membuat manusia harus melenceng dari norma-norma yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga lahirlah suatu qaidah ushul fiqh :
                  “Kesukaran membawa kemudahan”
Qaidah ini terangkum dari berbagai dalil yang ada untuk menyikapi keadaan yang selalu berproses. Tingkat kemudahan yang bisa diraih adalah menurut kesukaran yang di dapati. Besar kesukaran besar pula kemudahan yang bisa di peroleh. Kecil kesukaran yang dihadapi kecil pula kemudahan yang boleh dilakukan. Bila kesulitan hanya masalah teknis suatu teori, tidak mungkin dibolehkan merusak substansi esensial dalam teori tersebut. Karena ‘teknis’ hanya persoalan ‘kaifiat’ (cara) merealisasikan suatu teori yang telah baku, apalagi teori-teori yang dihasilkan dari nash-nash yang qath’i. Seribu satu cara tersedia dan bisa dipakai  untuk menghasilkan tujuan dari sebuah qaidah, karena ‘cara’ merupakan produk ‘aqli’ yang boleh dipikirkan beribu-beribu cara asal tidak meruntuhkan bangunan qaidah yang susah-payah di bangun, apalagi yang membangun itu adalah yang maha agung. Sebagai manusia modern dan kreatif, mengapa harus terpaku hanya kepada satu metode saja, apalagi yang dipilih metode yang menafikan inti sebuah teori. Kebijakan-kebijakan haruslah melahirkan kebijaksanaan.

      Sebagai makhluk ‘mukallaf’ secara relegius kita terikat dengan ketentuan-ketentuan agama. Sebagai khalifah kita harus mengatur dengan penuh manfa’at untuk seluruh anggota masyarakat. Disini kita punya satu konsep :
      “Kebijakan imam (pemimpin) atas rakyatnya haruslah dalam lingkup kemaslahatan”.

      Konsep diatas ini berangkat dari :
      “ Sayyidina Umar Ra berkata : “sesungguhnya aku posisikan diriku dalam mengelola harta Allah (baitul mal) seperti posisi wali anak yatim : bila aku memerlukan aku ambil, bila aku punya kemudahan aku kembalikan, kalau aku kaya aku jaga diriku”.  (HR. Said bin Manshur, Asybah wan nahl-ir, hal. 83)

      Dengan konsep ini, seorang pemimpin tidak boleh mengangkat orang fasiq sebagai imam shalat, karena tidak ada kebajikan (kemuslihatan) pada kebencian Allah (makruh), sekalipun harus diakui bahwa shalat tetap sah. Bahwa zakat, kalau di distribusikan Negara, wajib disamakan ukurannya bila tingkat kebutuhan juga sama, karena dalam pandangan Negara semua rakyat haruslah sama statusnya, tidak boleh ada yang dilebihkan dan di istimewakan.

      Nah, bagaimana kalau dalam kebijakan keagamaan pemimpin justru malah merusak substansi agama itu sendiri? Atau sangat bertentangan dengan apa yang dianut dan diamalkan oleh masyarakat, untuk kemudian dipaksakan kepada mereka untuk menerimanya ?.

      Dalam konteks penelitian kami menyangkut akad nikah, thalaq, rujuk dan dlihar, kalau kita membuka buku ‘Kompilasi Hukum Islam’ (KHI) di Indonesia “kita akan menemukan kejanggalan-kejanggalan, sekalipun harus kami akui hampir seluruhnya memang selaras dan cocok dengan fiqh Syafi’eyah, anutan masyarakat Indonesia dan Aceh secara khusus. Kejanggalan-kejanggalan dalam buku tersebut masih bisa ditolerir bila tidak merusak substansi dari sebuah hukum. Tapi bila sudah menyeleweng jauh, pasal-pasal bermasalah tersebut harus dihapus demi Al-qur’an dan hadits. Dalam konteks inilah kaidah ushul fiqh berikut ini terasa cocok sekali :
      “Apa yang telah ditetapkkan dengan syar’i lebih di utamakan dari syarat buatan manusia”.[41]

      Kita nuqil satu contoh qaidah ini agar permasalahan lebih terang-benderang. Seorang suami berkata kepada istrinya :
      “Aku thalaq kamu dengan seribu, tapi aku boleh rujuk lagi
Melihat kata-kata ‘seribu’ menunjukkan kepada khuluk (thalaq upahan), dan tidak boleh rujuk. Diujungnya ada kata-kata ‘rujuk’ menandakan boleh kembali lagi. Maka terjadilah ‘ta’arudh’ (kontradiksi). Lalu bagaimana kita mensiasati permasalahan rumit seperti ini? ‘Seribu’ hanya kewajiban yang disyaratkan oleh manusia. Sedangkkan ‘rujuk’ ada karena ketetapan syar’i. Jadi, wajib diutamakan syar’i.

      Seandainya dalam buku KHI terdapat poin-poin yang mendobrak kemapanan fiqh Syafi’iyah yang dianut masyarakatAceh khususnya, apalagi kalau poin-poin tersebut mengarah kepada legalitas zina atau merugikan rakyat banyak, maka mesti dibatalkan dengan argument-argument diatas tadi.

      Lalu mengapa terjadi ‘kejanggalan-kejanggalan’ dalam KHI? Dari tela’ah kami terhadap KHI kami menemukan pada beberapa pasalnya, seperti pada pasal 5 ayat 1, alasannya ‘hanya’ demi ‘pencatatan’, ‘ketertiban’ dan ‘kekuatan hukum’. Dan alasan yang sama juga terungkap dalam acara ‘muzakarah ulama-ulama di Gedung Hasbi Ash-Shiddiqie Lhoksumawe pada tanggal 15-16 Juli 2009 dalam makalah yang disampaikan oleh Ka. Kandepag Aceh Utara.

      Kami harus mengakui betapa baiknya tujuan mareka yang sehingga melahirkan buku KHI. Tidak ada larangan dalam agama untuk melakukan ‘pencatatan’, ‘ketertiban’ dan ‘kekuatan hukum’. Ketiga alasan diatas kalau diteliti lebih cermat ternyata hanya masalah teknis semata, hanya untuk mengatur administrasi Negara lebih baik dan terarah dan untuk mengontrol aktivitas keagamaan masyarakat agar terorganisir dengan rapi yang merupakan tututan alam modern sekarang ini.

      Untuk mencapai alasan-alasan yang baik diatas agar terealisasi dengan sempurna dalam masyarakat, tidak seharusnya kita melakukan kesalahan-kesalahan fatal yang mengakibatkan rusaknya hukum-hukum Allah Swt. Bila maksud hati kepada sebuah kelapa, mengapa harus menebang pohon kelapa? Masih banyak cara untuk mencapai tujuan. Mengapa yang terpikirkan menumbang pohon? Kita bisa memanjat, bisa menjolok atau melempar dengan batu dan kayu. Banyak  cara tersedia kalau mau memikirkan dengan cerdas.

      Sekarang akan kami tampilkan beberapa pasal yang janggal itu yang selama ini jadi pedoman para petugas di Depag dan Mahkamah Syar’iyah, disertai dengan dalil-dalil untuk menguak dimana letak kejanggalannya :

I
Pasal 58

(I)    (tentang syarat-syarat memperoleh izin dari Mahkamah Syari’ah untuk beristri lebih dari satu)
a.       Adanya persetujuan istri.
Poin ‘a’ ini tertolak dengan :
“Maka menikahlah dengan perempuan yang baik-baik, dua-dua, tiga-tiga, empat-empat. Maka apabila kamu takut tidak akan mampu berbuat ‘adil, kawinlah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Begitu lebih dekat kepada tidak berbuat anianya”. (RS : An-Nisa’ : 3)

      “Siapa saja yang mempunyai dua istri, tapi lebih cendrung hanya kepada salah satunya atau (riwayat yang lain) tidak mampu berbuat ‘adil antara keduanya, datang di hari kiamat dalam keadaan miring” (HR. Abu Daud)

      Dua hujjah ini sudah lebih dari cukup untuk melihat syarat-syarat kawin lebih dari satu, bahwa ‘adil yang diperketat di sini, tidak yang lain-lain, apalagi harus meminta restu dari istri. Mana ada istri yang rela dimadu pada zaman sekarang ini. Pada saat yang sama suami masih berhajat kepada kawin lagi dengan satu dan lain hal. Islam masih membuka pintu. Istri menutup rapat-rapat. Negara memperketat hampir-hampir seperti menggunci rapat. Maka suami menempuh ‘pintu belakang’: nikah dibawah tangan atau kawin siri, atau yang lebih parah lagi lari ke qadhi liar atau ke pelacur, na’uzubillai min zalik.

      “Adanya persetujuan istri” diatas mengisyaratkan perlindungan istri oleh Negara, suatu tujuan yang cukup mulia dari sebuah Negara dan memang Negara berkewajiban seperti itu. Lalu bagaimana perlindungan Negara terhadap hak-hak suami? Atau terhadap hak-hak perempuan yang dinikahi suami yang secara agama sah yang oleh Negara dianggap tidak punya ‘kekuatan hukum’? Mengistimewakan istri pertama oleh Negara dengan mengabaikan hak-hak istri kedua, itulah ketidakadilan! Ketidak adilan juga dirasakan oleh perempuan-perempuan lain yang belum bersuami. Dari data statistic sensus penduduk yang terakhir, di Aceh terdata : satu banding tiga. Satu laki-laki dalam setiap tiga perempuan. Nah, bagaimana Negara menyikapi dan mencari solusi terhadap persoalan ini ? bila Negara tetap bersikap kokoh dengan poin ‘a’ dalam pasal 59 KHI, itu berarti menciptakan peluang menjamurnya qadhi-qadhi liar dan menyuburkan tempat-tempat pelacuran. Maka jadilah undang-undang diatas kontradiktif dan kontra produktif.

      Melalui konsep ‘rahmatal lil’alamin’, islam yang lahir jauh sebelum Negara ini ada, member solusi : ‘boleh kawin lebih dari satu’. Ingat! Islam tidak menganjur, tapi membolehkan! Dibolehkan untuk menghadapi keadaan sulit seperti diatas, agar islam tetap eksis dan tetap sesuai dengan fitrah manusia.
II
Pasal  71

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :
a.          Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
d.         Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 undang-undang No. 1 tahun 1974. (yaitu usia minimal 19 tahun bagi laki-laki, 16 tahun bagi perempuan)[42]

Poin ‘a’ diatas terelimir dengan :
      Sepanjang penulusuran kami terhadap ayat, hadits dan atsar shahabat, belum pernah kami temukan, salah satu rukun atau syarat sah nikah adalah izin Negara. Karena tuntutan keadaan para shahabat banyak melakukan poligami, tapi tidak ada diantara mareka, sejauh pengetahuan kami, yang minta izin dari Rasulullah yang saat itu sebagai utusan Allah, sebagai Hakim Agung sekaligus sebagai Kepala Nagara dan Pemerintahan. Apakah ada yang lebih dari Muhammad bin Abdullah?
      Poin ‘d’ dianulir dengan :
      “Dari ‘urwah, sesungguhnya Nabi Saw meminang ‘Aisyah kepada Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata, “sesungguhnya aku saudaramu”. Nabi menjawab, “ya, engkau juga saudaraku seagama dan sekitabullah. Dia (‘Aisyah) halal untukku”. (HR. Buchari)
      Sama-sama kita maklumi, ‘Aisyah Ra saat itu berusia tujuh tahun, atau pada riwayat yang lain 9 tahun. Selain hadits fi’ly ini, tidak kami jumpai sabda-sabda yang melarang kawin dengan perempuan dibawah 16 tahun. Nabi adalah contoh teladan yang baik.
      Lewat KHI, mungkin Negara ingin melindungi warganya dari perkawinan terlalu dini. Bertindak sebagai wali ‘am, Negara hendak menjaga agar sebuah perkawinan tidak cepat bubar. Karena salah satu factor rawan perceraian adalah usia pasangan yang terlalu muda. Ini niat baik dari Negara. Tetapi, ini menyalahi dengan kaidah ushul fiqh :
      “Kewalian yang khas lebih kuat dari kewalian yang ‘amm”
      Wali khas catin perempuan saat merelakan anaknya menikah mempunyai suatu pertimbangan yang baik dan tepat untuk maulinya dan dirinya sendiri. Kami juga yakin, bahwa semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Nah, pada saat seorang orang tua melepaskan anaknya yang belum berusia 16 tahun atau 19 tahun untuk menikah, dia punya kemeslihatan sendiri, yang oleh Negara tidak boleh menggugatnya, apalagi membatalkan perkawinan bersangkutan. Lebih tahu wali khas tentang kemeslihatan anak-anaknya, karena mareka yang melahirkan, mendidik dan membesarkan, dari pada wali ‘amm.

III
Pasal 115

Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang agama setelah pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.[43]
Pasal ini harus dibatalkan, karena :
Dari Ibnu Umar Ra, “Bahwa beliau menthalaq istrinya dalam haidh pada masa Rasulullah Saw. Umar, ayahnya, bertanya kepada rasulullah mengenai hal itu. Jawab Nabi Saw, “perintahkan dia untuk rujuk. Lalu dia menahan istrinya hingga suci, lalu haidh, kemudian suci lagi. Setelah itu terserah kepada dia apakah mau terus menahannya. Atau menthalaq sebelum dia menyentuh istrinya. Begitulah ‘iddah yang diperintahkan Allah Swt bila kamu menceraikan istri-istri kamu”. (HR. Abu Daud)

Dalam hadits ini, cerita diawali dengan laporan Umar Ra tentang thalaq anak beliau kepada Rasulullah Saw, Rasulullah Saw menjawab tegas dan jelas : “perintahkan dia untuk rujuk”, bukan “perintahkan dia menghadapku untuk thalaq di depanku, kalu tidak thalaqnya tidak sah”. Artinya, Rasulullah Saw dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah, Hakim Agung, Kepala Negara dan Pemerintahan, mengakui thalaq yang bukan dihadapannya. Ini sangat bermakna dalam menentukan hukum, bahwa thalaq tidak mesti dipersaksikan atau diucapkan di hadapan siapapun, termasuk dihadapan pimpinan besar seperti Rasulullah sekalipun, apalagi di depan sidang Mahkamah Syar’iyah.

Kalau kita membuka buku KHI pada halaman 60 tentang ‘tata cara perceraian’, kita menemukan cukup banyak dan panjang birokrasi yang berliku-liku untuk sampai seorang suami kepada thalaq. Tidak sesederhana yang kita temukan dalam kebanyakan kitab para fuqaha’. Dugaan kami, penyusun buku KHI hendak mempersempit ruang thalaq bagi suami. Dimulai dari mengajukan thalaq secara lisan atau tulisan kepada mahkamah, mahkamah mempelajari, mempertimbangkan : layak-tidaknya menerima pengajukan tersebut. Kalau diterima, dilanjutkan dengan pengucapan thalaq di sidang mahkamah. Baru kemudian diputuskan thalaq telah jatuh.

Jalan yang penuh liku ini adalah satu-satunya jalan yang mampu dipikirkan oleh Negara untuk membatasi suami agar tidak begitu mudah menjatuhkan thalaq sesuka hatinya. Maksud penyusun buku KHI ini harus diakui memang baik. Mungkin jalan ini yang terpikir ketika membaca sabda Nabi Saw “Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah thalaq”. Tetapi Negara telah mengabaikan banyak hal ketika menempuh cara penghambatan seperti ini. Pertama, emosi suami. Bahwa thalaq adalah ujung dari permasalahan yang telah memanas dan memucak. Thalaq dipilih karena tidak ada alternative lain. Berapakah kasus thalaq yang tidak diawali oleh percekcokan dan kemarahan? Tidak ada! Lalu, dalam keadaan emosi suami yang telah sampai ke ubun-ubun, masih sempatkah dia mengajukan permohonan thalaq ke mahkamah? Memang kemarahan bukan suatu sifat terpuji dalam islam, malah Nabi Saw dalam haditsnya mengecam dan melarang kemarahan. Tetapi segala bentuk hukum Allah Swt dan konsekwensi-konsekwensinya yang dilakukan oleh mukallaf dalam kemarahan tetap berlaku dan sah. Dalam keadaan sangat marah membunuh tetap diqishashkan. Shalat sedang marah sah. Marah-marah lalu bersedekah sah. Demikian juga thalaq, tidak ada ayat, hadits, atsar dan pendapat ulama yang menyatakan, bahwa kemarahan dapat membatalkan thalaq, bahwa salah satu syarat sah thalaq adalah tidak sedang marah. Inilah yang tidak diindahkan oleh Negara dan penyusun buku KHI. Marah itu sangat manusiawi. Maka, kalau mau membuat peraturan untuk manusia, jiwailah peraturan tersebut dengan hal-hal yang manusiawi. Jangan berharap banyak, bahwa laki-laki akan sanggup menahan thalaqnya sampai di depan sidang mahkamah.

Kedua, yang diabaikan KHI adalah kepemilikan thalaq muthlak berada di tangan suami, mau thalaq diamana, berapa, kapan, itu semua hak prerogative suami yang diberikan Allah Swt. Negara sekalipun tidak bisa ikut campur. Nabi Saw dan shahabat-shahabatnya tidak pernah mengelola thalaq masyarakat. Begitulah dalilnya.

Ketiga, penyusun buku KHI mengabaikan dampak dari pengucapan thalaq. Dengan melafadh thalaq kapan saja dan dimana saja membuat thalaq sah dan berlaku sejak selesai diucapkan. Dan tidak ada suatu alasan , syar’i atau ‘aqli, yang mengharuskan thalaq di depan mahkamah. Bila begini  masalahnya, maka seluruh konsekwensi thalaq pun lahir saat itu juga, bukan di depan sidang. Dimulai dari haram memandang, haram khalwat, haram watha’ sampai kepada perhitungan masa ‘iddah juga saat itu permulaannya, ikut serta pula hukum-hukum yang ada sangkut-pautnya dengan ‘iddah. Begitu banyak dampak yang ditimbulkan oleh ucapan thalaq, ada hukum haram dan dosa besar di dalamnya. Mengapa para penyusun KHI sanggup mengabaikan itu semua ?

Sekarang kami menyebut satu contoh untuk nenunjukkan bahwa pasal 115 dalam KHI melegalkan zina dan harus segera dibatalkan penggunaanya. Seorang suami yang telah melafadhkan thalaq dua kepada istrinya, melapor kepada Mahkamah Syari’ah. Berdasar pasal 115 tadi, mahkamah tidak mentolerir thalaq dua suami, karena bukan didepan sidang mahkamah. Lalu memerintahkan suami mengulang kembali thalaq duanya di hadapan mahkamah. Secara syar’i suami telah menthalaq istrinya empat (artinya, tetap dianggap tiga) berarti istrinya telah bain, tidak boleh rujuk lagi. Dari sudut pandang mahkamah (pasal 115), dia menthalaq istrinya baru hanya dua, yang bermakna masih boleh rujuk, berkumpul kembali seperti sedia kala dan tentu saja, boleh bersetubuh dan beranak. Dalam kacamata ayat, hadits dan pendapat para ulama, persetubuhan ini adalah zina, dan bila melahirkan anak, anak itu adalah anak zina! Inilah yang kami sebutkan di belakang, mengharap buah dengan menumbangkan pohonnya. Mengharap agar suami tidak begitu mudah menjatuhkan thalaq, itu baik sekali. Tapi, dengan konsekwensi menghalalkan zina, itu memang luar biasa keberanian yang dimiliki oleh penyusun KHI. Demi kitabullah dan sunnaturrasul, pasal 115 wajib dibatalkan.



IV
Pasal 153
(4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu (‘iddah) dihitung sejak jatuh putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu  tunggu dihitung sejak kematian suami.[44]

      Pasal ini bertentangan dengan :
      “Dan perempuan-perempuan yang dithalaqkkan menunggu selama tiga kali suci” (QS : Al-Baqarah : 228)

      Mencermati ayat ini, mufassirin melihat tidak ada jeda antara thalaq dan ‘iddah (masa tunggu), tidak ada sesuatu yang bisa menengahi antara keduanya. Lagi pula, dengan memandang kepada disyari’atkannya ‘iddah untuk mengetahui kosong-tidaknya rahim perempuan, rasa-rasanya tidak dibutuhkan kepada adanya masa kosong antara thalaq dan ‘iddah. Dan secara logika pun tidak ada gunanya mengundur masa ‘iddah jauh berselang dari thalaq.

      Ketentuan Allah Swt diatas segalanya. Allah yang merancang manusia, jiwa dan raganya, Allah Swt lebih tahu apa kebutuhan dan kekurangan rancangannya dibandingkan dengan rancangan itu sendiri. Rancangan hanya tahu yang terlihat saja, tidak yang tersembunyi. Maka, jangan berlagak serba tahu. Ketika menela’ah ayat-ayat ternyata ada yang tidak terlogikakan oleh logika, maka jangan menyalahkan firman, atau mengikuti pola-pola kuffar yang memang sangat membenci islam dan Al-Qur’annya. Karena banyak ayat yang baru terbukti oleh panjangnya perjalanan waktu, bahkan bisa sampai seribu tahun setelah turunnya wahyu.

      Poin empat pada pasal 153 dalam KHI selain melabrak ayat-ayat Al-Qur’an, juga ada hak terampas, terutama hak suami dan istri. Ketika seorang suami menthalaq istrinya, ta’at atau tidak, dia sudah menjauhi istrinya, agar tidak terjadi hal-hal yang haram dan memalukan, sekalipun psikologisnya menginginkan hal tersebut. Kalau dia merenung dan menyesali thalaqnya, bila thalaknya membainkan istri dia hanya akan pasrah menunggu istrinya kawin lagi dan dithalaq serta berlalu ‘iddahnya dari suami lain itu. Bila thalaqnya raj’i dia segera merujuk kembali. Beginilah jalannya cerita kalau berdasarkan  Al-Qur’an. Beda kalau menurut KHI diatas. Suami diperintahkan mengulangi thalaq, menambah thalaq atas thalaq, bisa-bisa membuat istri jadi bain. Kalau dia seorang yang berkeyakinan kuat dengan syari’at, hilanglah masa-masa untuk boleh rujuk. Disinilah haknya dirampok oleh Negara. Atau, kalau dia seorang yang terbius dengan KHI, maka Negara telah menghalalkan zina kepada dia dan melempangkan jalan ke neraka. Lagi-lagi hak keselamatan jiwanya dunia-akhirat telah terabaikan begitu saja.

      Dipihak istri dengan poin 4 pasal 153, selain masa tunggunya semakin memanjang, pun bisa-bisa kehilangan masa rujuk suami kepada dia, dimana dia masih sangat mencintai suaminya. Saat seorang suami menjatuhkkan thalaq kepada istri, istri harus menjalani masa tunggu (’iddah) terhitung dari setelah selesai ucapan thalaq. Katakanlah sebulan kemudian kasusnya sampai ke mahkamah. Mahkamah memerintahkan ulangi thalaq, disinilah masa iddahnya diawali kembali. Sangat ironis nasib seorang istri. Sudah kehilangan suami, masa ‘iddahnya juga melebar jauh. Haknya terdlalimi oleh Negara, yang seharusnya mendapat perlindungan sempurna.

      Ada yang aneh pada pasal diatas, untuk ‘iddah mati suami terhitung sejak suami mati, ‘iddah thalaq di mulai di meja mahkamah. Mungkin KHI bertujuan menghambat keleluasaan thalaq oleh suami. Sangat baik sekali, tapi mengapa harus menciptakan masalah baru yang lebih parah dan fatal sekali untuk meraih sesuatu yang baik yang tidak bersifat ‘lebih’? Menjaga agar suami tidak sewenang-wenang dengan thalaq, itu baik bahkan mungkin sunat hukumnya, tapi dengan jalan membuka peluang zina selebar-lebarnya, itu sangat tidak baik ! kaidah usul fiqh berkata :
      “Bila kontra haram dan halal, maka dimenangkan (dipelihara) yang haram”.[45]


      Setelah melihat paparan diatas, nyata dan terkuaklah kejanggalan-kejanggalan aturan produk manusia. Empat pasal kami kutip kesini, sebagai bahan tela’ah siapapun yang peduli terhadap kepalsuan hukum-hukum Allah Swt. Silahkan rujuk ke buku KHI untuk melihat secara utuh, ada apa dalam buku tersebut. Baca dan kritisi setiap poinnya, agar kita tidak terus bergelimang dalam dosa besar, khususnya bermain-main dalam kubangan hitam zina.

QUISIONER KEPADA KUA-KUA
Setelah sedikit mengutak-atik buku KHI yang merupakan pegangan KUA-KUA di seluruh Aceh khususnya, kami akan hamparkan penerapan pasal-pasal KHI di tingkat paling bawah dalam jajaran Departemen Agama, yaitu KUA-KUa kecamatan, melalui quisioner yang kami sebarkan di beberapa kantor KUA, pertanyaan kami tetap dalam koridor pernikahan yang di dalamnya mengenai keadilan wali dan saksi, status rujuk serta pertanyaan-pertanyaan lain yang kami anggap penting untuk di ketahui. Berikut  hasilnya, insya Allah :

SEKITAR PERNIKAHAN
Dalam perkara ini, kami ingin mengetahui tentang pernikahan yang diselenggarakan bukan dihadapan atau tanpa sepengetahuan KUA, bagaimana nasib pernikahan tersebut ? hampir 50% menjawab :
Sah tapi tidak dicatat
Opsi lain yang kami tawarkan yang direspon seimbang 22% adalah :
        Dianggap sah dan dicatat
        Dianggap tidak sah
Petugas KUA tidak dalam kapasitas mensah-tidaknya sebuah pernikahan. Mereka pencatat untuk adanya kekuatan hukum bila di kemudian hari ada masalah. Mareka, umumnya, telah bertindak sesuai KHI ketika memberi jawaban : ‘sah tapi tidak dicatat’. Selain petugas, mereka juga sebagai abdi masyarakat. Kalau masyarakat telah melangsungkan pernikahan bukan di hadapan petugas karena satu dan lain hal, lalu melapor kepada mereka, alangkah baiknya kalau mau di catat juga. Agama telah menyatakan sah, apa ruginya petugas dan Negara hanya sekedar mencatat, agar data-data pernikahan tercaver seluruhnya. Makanya, kami salut kepada petugas yang merespon : ‘sah dan dicatat’. Lihat sisi baiknya, bahwa masyarakat mau melakukan sendiri, lalu melapor, membayar ADM Negara, selesai. Sangat meringankan beban petugas KUA.

Yang agak janggal jawaban : ‘dianggap tidak sah’. Dari pasal-pasal KHI ini saja sudah bertentangan, apalagi dari sudut pandang syar’i. Hanya  karena tidak diberitahu, dianggap tidak sah. Ini kacau sekali. Karena ‘pemberitahuan’ bukan syarat dan juga bukan rukun nikah dalam fiqh syafi’iyah.

Lalu kami lanjutkan dengan pertanyaan :
“Kalau catin ternyata tidak mengerti sekitar pernikahan, bagaimana ?”.
Lebih 50% menjawab             : ‘ditunda sampai tahu’
34 5 menjawab                        : ‘tetap dinikahkan juga’
11 % menjawab                       : ‘tidak dinikahkan’
Jawaban lebih 50%, dugaan kami itu hanya jawaban ‘harapan’. Semoga pernikahan bisa ditunda sampai catin benar-benar mengerti seluk-beluk pernikahan. Karena jarang sekali terdengar, hampir-hampir tak pernah ada, pernikahan dibatalkan gara-gara catin buta akan hukum pernikahan. Yang santer terdengar setiap ada prosesi akad nikah berjalan sukses dan membahagiakan. Kami akan membuka jawaban pertanyaan ketiga yang masih tersangkut dengan ini :
“Berapa persenkah catin tahu hukum-hukum pernikahan ?”
44,5% menjawab         : 20% catin yang tahu,
44,5% menjawab         : 30% catin yang tahu,
Kita ambil yang terbanyak, 30% catin memahami seputar hukum pernikahan. Nah, berarti ada 70% cati buta terhadap hukum perkawinan. Apakah ada 70% kasus prosesi akad nikah yang ditunda gara-gara catinnya belum tahu hukum sekitar perkawinan?
Melihat fenomena catin minim ilmu perkawinan ‘dijamakkan’ dengan akad nikah yang terus dilangsungkan, berarti mareka memasuki salah satu rangkaian syari’at tanpa mengetahui tempat yang mereka masuki. Memasuki hutan tanpa mengerti tentang hutan. Berlayar dengan kemiskinan ilmu tentang samudra. Luar biasa! Dalam samudra perkawinan ada thalaq yang mereka ucapkan, tapi tak tahu itu thalaq. Ada dlihar ketika romantisan dengan istri, tapi tak ‘ngerti’ itu dlihar. Bias dari thalaq dan dlihar bisa-bisa memasuki kawasan terlarang “ zina!.

Dipihak lain, menanam durian akan tumbuh dan berbuah durian. Kualitas generasi islam semakin memprihatinkan dalam kepedulian mereka terhadap islam dan iman. Karena dia tidak tumbuh dari akar keislaman dan keimanan. Mempersiapkan generasi yang bermutu dan tertuju kepada islam, harus dimulai benih yang bermutu. Bermutu dalam perspektif islam adalah orang-orang yang punya akar kuat dari islam dengan menguasai ilmu-ilmu islam.

Dalam perjalanan kami silaturrahmi ke KUA-KUA, kami dititipkan usulan : hendaknya ada satu lembaga yang menggembleng catin beberapa waktu, setelah siap bekal diberikan sertifikat boleh kawin. Dan ini mesti diqanunkan, agar setiap masyarakat terikat dalam undang-undang.

Pertanyaan berikut :
“Bagaimana cara KUA mengetahui adil-tidaknya wali dan saksi nikah ?
        Atas pengakuan tokoh-tokoh ditempat catin berada, direspon dengan 67%
        Diselidiki pihak KUA sendiri, direspon dengan 33%
Pertanyaan berikut ini masih ada kaitan dengan pertanyaan diatas :
“Bila wali atau saksi ternyata fasiq, bagaimana tindakan KUA?”
Hampir 90% menjawab : “ditunda pernikahan sampai siwali atau saksi adil”. Hanya 10% menjawab : “tetap dinikahkan”.

Wali dan saksi merupakan rukun nikah. Keduanya dipersyaratkan sangat ketat dan hampir sama. Bedanya, wali boleh tidak adil, tapi jangan fasiq (lihat ‘muthala’ah kutub’ pada bagian wali dan saksi nikah). Langkah petugas KUA kami nilai sangat tepat, karena melalui tokoh dan menyelediki sendiri akan terbuka hakikat seseorang, layak atau tidak jadi wali dan saksi. Karena ini sangat menentukan sah-tidaknya satu pernikahan. Sampai-sampai mareka menjawab : ‘ditunda pernikahan sampai wali dan saksi ‘adil’. Bila benar-benar diterapkan pihak KUA, maka tidak ada pernikahan yang diragukan. Tetapi, apakah selama ini semua wali dan saksi ‘beres’? Karena jarang ada peristiwa yang ditundanya pernikahan sampai setahun. Karena untuk menggapai keadialn dibutuhkan waktu setahun (lihat bab ‘muthala’ah kutub)
Tetapi, ada yang sangat mengejutkan sekalipun persentasenya kecil, yaitu 10% respon, namun masalahnya bukan besar-kecilnya, tetapi ada. Yaitu tetap dinikahkan walaupun wali dan saksi fasiq. Artinya, ada prosesi pernikahan yang dipersaksikan oleh orang fasiq. Ini malapetaka. Untuk wali mungkin ada jalan keluarnya, taubat fil hal, misalnya. Tapi untuk saksi tidak ada kompromi sama sekali (lihat bab muthala’ah kutub)

Berikutnya, kami mengajukan pertanyaan :
“Bagaimana mengetahui ‘adhal wali ?”
        Wali mengaku sendiri ‘adhal              : 55,5% respon.
        Dengan cara-cara lain                          : 22,5% respon

Apa yang dilakukan petugas KUA terasa tepat untuk mengungkap keengganan wali. Kalau mengacu ke buku KHI, masalah ini harus naik mahkamah dulu. Diperiksa, disidang lalu diputuskan. Melelahkan dalam masa yang panjang. Dari tinjauan fiqh, keengganan wali mesti disisi hakim. Petugas KUA sebagai pihak berwenang dalam pernikahan, sudah lebih dari cukup untuk mendengar keengganan wali.

Pertanyaan berikut :
“bagaimana seorang suami berpoligami tanpa izin mahkamah syar’iyah?”
90% respon menjawab : ‘ditolak’
Satu-satunya jawaban ini bisa dirujuk hanya dalam buku KHI pasal 71. Dalam persoalan ini, petugas KUA sangat setia dengan pasal KHI, meskipun kitab fiqh membolehkan dengan syarat berlaku ‘adil antara istri-istri. Disinilah praktek qadhi liar dibuka lebar-lebar, disamping juga menutup pintu rapat-rapat bagi perempuan untuk bersuamikan laki-laki beristri pada saat perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki seperti saat sekarang ini.

SEKITAR THALAQ
Dalam bidang ini, kami megajukan pertanyaan inti yang menjadi target penelitian kami :
“Bagaimana status thalaq yang terjadi bukan di depan sidang mahkamah Syar’iyah?”  Responden kami menjawab :
        Untuk jatuhnya, diminta mengulangi di depan sidang, 66,5% respon
        Diterima dan dinyatakan sah, 22% respon.
        Abstain, 11,5% respon
Tidak mengejutkan, karena sudah kami prediksi sebelumnya, hanya kami membutuhkan data akurat untuk membuktikan dan sekarang sudah terbukti, bahwa thalaq memang harus diulang kembali, menambah thalaq diatas thalaq  yang bisa-bisa membuat kesempatan rujuk hilang sama sekali atau menjadikan istri bain kubra secara ilmu fiqh syafi’eyah, pegangan setiap umat islam di Aceh dan Aceh utara khususnya. Apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup bernegara? Ketika Negara membuat aturan yang tidak popular di mata masyarakat, menyalahi apa yang umumnya ada di kalangan mereka, itu sama dengan menciptakan jarak antara mareka dengan Negara. Sentiment-sentimen seperti ini biasanya akan terus membesar dan kita berdo’a sama-sama agar tidak meledak. Mungkin ini yang coba diciptakan oleh responden yang 22% itu. Walaupun jumlahnya kalah dibandingkan dengan responden yang pertama, tapi setidaknya mareka telah memulai sesuatu yang sangat baik dalam kehidupan bernegara, yaitu mencoba menghindari konflik internal. Bukankah mau memahami apa keinginan rakyat adalah keadilan? Bukankah maksud utama pembentukan sebuah Negara adalah menciptakan kedamaian untuk rakyat ?

Apakah benar aturan diatas bukan keinginan rakyat? Pertanyaan berikut menjawab kebenaran itu :
“Berapa banyak persentase thalaq di luar kemudian diadukan ke mahkamah ?’
 55,5% responden menjawab 20% kasus
22% responden menjawab 10% kasus
11% responen menjawab 15% kasus
11,5% responden tidak menjawab

Nah, terbukalah keinginan manyoritas masyarakat, bahwa mereka tidak menginginkan thalaq diluar harus diulang di depan sidang mahkamah. Lihatlah, mayoritas responden menjawab, hanya 20% kasus thalaq sampai ke meja sidang mahkamah. Berarti 80% kasus tidak masuk ke mahkamah. Ini satu indicator yang kuat, bahwa rakyat kurang mempercayai hukum buatan penyusun KHI. Mareka lebih menyakini kitab-kitab Syafi’eyah yang jadi pegangan ulama-ulama Aceh saat ini. Paling-paling yang sampai ke mahkamah kasus-kasus yang runcing yang tidak mungkin diselesaikan oleh ulama-ulama. Hanya keterpaksaan yang membawa langkah mereka kesana, ke mahkamah.

Jangan salahkan masyarakat bila mereka tidak menyukai hukum-hukum KHI, karena mereka punya keyakinan sendiri yang lebih mereka yakini. Sekarang setelah jelas permasalahan, tidak ada salahnya berusaha mencari perhatian mereka dengan mengubah paradigma : ‘ulangi thalaq’. Masih banyak jalan mengetahui thalaq yang dilafadh bukan didepan mahkamah. Tidak seharusnya hanya terpaku pada cara : ‘ulangi thalaq’. Karena konseksensinya berat, berat sekali. Thalaq tidak bisa di kondisikan hanya pada suatu tempat dan suatu waktu tertentu. Karena dia sering muncul dari suatu kemarahan. Kemarahan adalah suatu kondisi yang tidak bisa dikondisikan. Kondisi inilah yang dipahami oleh islam, sehingga tidak pernah menentukan dimana seharusnya menjatuhkan thalaq.

Alangkah indahnya kalau KHI mampu mengerti psikologis manusia, agar aturan-aturan yang lahir menjiwai nilai-nilai kemanusiaan.

Pertanyaan berikut :
“Berapa persenkah usia muda menjadi factor perceraian?”
Lebih dari setengah (55,5%) responden menjawab : 20%. Berarti 80% didominasi oleh factor lain. Hasil ini sekaligus meruntuhkan asumsi, bahwa usia muda rentan dengan perceraian. Hal ini tidak terbukti sama sekali. Kenyataan ini juga memaksa pasal 71 poin ‘d’ KHI harus ditinjau ulang. Karena factor usia ternyata tidak banyak menyumbang support untuk leluasanya terjadi thalaq, apalagi sampai di undangkan pembatalan pernikahan usia muda sebagaimana perintah pasal 71 tadi. Argumentasi kami ini, juga mendapat dukungan dari hasil jawaban pertanyaan berikut ini :
“factor apa saja penyebab terjadinya perceraian?”
Responden menjawab :
Factor ekonomi 31.8%
Factor pihak ketiga 27%
Factor minimnya ilmu agama 19%
Factor cemburu berlebihan 9%
Factor perselisihan pendapat 1%
Factor usia muda 1%

Realitas ini sekali lagi membuktikan, usia muda hanya menduduki peringkat terkhir dari enam factor pemutus perkawinan. Mengkambinghitamkan pasangan muda adalah mengada-ada, hanya dugaan semata tanpa ditopang oleh data akurat. Maka, demi data ini, demi Al-qur’an, demi hadits, pasal 71 poin ‘d’ segera dihapuskan.

Pertanyaan selanjutnya :
“Bila keadaan yang disyaratkan dalam ta’liq thalaq benar-benar terjadi, apakah
a.            Thalaq dinyatakan jatuh dengan sendirinya? Atau,
b.            Thalaq dinyatakan jatuh dengan pengakuan suami-istri? Atau,
c.             Diputuskan di Mahkamah Syar’iyah ?
Responden memberi jawabannya :
a.             22,2%
b.            55,5%
c.             22,2%
KUA-KUA merespon pertanyaan ini dengan sangat baik, menjatuhkan pilihan pada opsi : pengakuan suami-istri, pengakuan salah satu cara mengetahui sesuatu yang telah terjadi. Namun, ada yang kurang jelas, apakah thalaq jatuh saat pengakuan atau berlaku surut ke saat terjadi syarat ta’liq? Kalau ‘saat pengakuan’ yang dimaksudkan, itu menyalahi aturan-aturan fiqh dan mengulangi kesalahan-kesalahan. Tapi kalau ‘saat terjadi syarat ta’liq’ yang dipilih dan pengakuan hanya sebagai sarana saja, maka KUA-KUA telah bertindak benar. Karena tidak ada alasan yang mengharuskan penundaan jatuh thalaq dari saat terjadi syarat ta’liq, tidak secara syar’i dan tidak secara ‘aqli. Apa yang hendak diraih dengan penundaan? Apakah ada suatu kemuslihatan?
Demikian halnya dengan ‘diputuskan di Mahkamah’, baik sekali. Dimahkamah bisa diselidiki, bagaimana kejadiannya, apa sesuai antara shighat ta’liq dengan kejadian atau tidak. Lalu diputuskan tidak atau jatuh yang di undurkan ke saat-saat kejadian. Apakah ini tidak ada kemaslihatan? Bukankah tugas mahkamah menjernihkan masalah, bukan menciptakan masalah?

SEKITAR RUJUK
Dalam persoalan ini, kami ingin tahu proses rujuk yang diterapkan oleh KUA-KUA, serta bentuk lafadh rujuk versi mareka. Berdasarkan ini, kami mengajukan pertanyaan :
“Setelah mahkamah menetapkan jatuh thalaq raj’i, lalu suami merujuk ke istri tanpa kerelaan dipihak istri, bagaimanakah ini ?”

Para KUA merespon “
                    Rujuknya diterima 33,3%
                    Sah dengan keputusan mahkamah 22,2%
                    Sah dengan keputusan tertulis dari istri 22,2%
                    Abstain 22.2%

Melihat hasil ini, para KUA yang berani menentang KHI dan memegang fiqh yang benar hanya 33.3% saja. Selainnya, pemilih opsi kedua dan ketiga, meskipun dengan nuansa yang berbeda tapi masih dalam pengertian yang sama, belum punya keberanian bertindak sesuai kebenaran Al-Qur’an. Celakanya lagi, kalau dikalkulasi keduanya dengan total 44,4% , memunculkan angka kesalahan yang besar dibandingkan kebenaran yang hanya 33.35. padahal fiqh syafi’iyah jelas menyatakan :
“Tidak disyaratkan rela istri pada rujuk”[46]
“Dan suami-suami mereka lebih berhak merujuki mereka” (QS. Al-Baqarah : 228)

Kata-kata ‘lebih berhak’ menafikan peranan siapa pun selain suami dalam persoalan rujuk, tidak istri dan tidak juga mahkamah. Maka, menggantungkan sah-tidaknya rujuk kepada kerelaan istri dan keputusan mahkamah adalah kesalahan besar. Tidak berdasar sama sekali !

Kita lihat pertanyaan berikut dengan jawaban yang sangat mencengangkan dan mengejutkn kami, karena kami tidak menperkiraan hal ini menjadi suatu yang sulit dipahami, sehingga hampir semua responden melenceng sangat jauh sekali :
“Bagaimanakah lafadh rujuk?”
Dibawah ini kami kutip secara utuh lafadh rujuk tulisan responden :
                    Lon rujuk nibak ulon kepada gata.
                    Saya rujuk kembali istri yang bernama sipulan.
                    Dihadapan saksi-saksi saya merujuk pulan binti pulan
                    Aku rujuk (kembali) kepada kamu
                    Saya ucap rujuk kembali
                    Saya kembali kepadamu lagi (pulan)
                    SAYA KEMBALIKAN ENGKAU DALAM NIKAHKU


“Suami memasukkan kembali istrinya dalam hukum-hukum nikahnya, setelah sebelumnya mengeluarkannya dari wilayah nikah dengan thalaq satu dan dua, boleh dengan lafadh sarih atau kinayah.” (lihat bab tala’muthala’ah kutub’ bagian rujuk)Membaca tulisan-tulisan asli dari responden kami, kami hampir-hampir tidak percaya, mengusap-usap mata beberapa kali untuk memastikan dan menghilangkan keragu-raguan pandangan kami, benar atau tidak. Persoalannya, ini bukan masalah amat-amat rumit sekali, bukan ‘amrun khafi’. Hampir seluruh kitab fiqh menulis definisi rujuk, yang intinya :

Dari  beberapa contoh lafadh rujuk yang ditulis oleh responden kami, hanya satu yang masuk dalam kategori benar, yaitu yang terakhir yang tertulis dengan huruf kapital. Alhamdulillah, masih ada yang benar. Karena yang benar, suami yang mengembalikan istri dalam nikahnya, bukan suami yang kembali pulang ke istrinya.

Dengan menyaksikan fenomena petugas KUA dalam menjalankan syari’at, ada kekurangan dan kesempurnaan. Bukan maksud kami meneliti masalah ini untuk menelanjangi mereka, tapi lebih kepada menemukan ketidaksempurnaan untuk di sempurnakan bersama-sama. Kami sangat mengerti, bahwa sebagai petugas Negara dalam bidang agama, punya birokrasi yang mareka berada didalamnya dan aturan-aturan yang mengikat mereka secara organisatoris. Di pihak lain, bahwa mereka sebagai muslim yang ta’at penganut Sunny Asy-Syafi’eyah seperti juga masyarakat seluruhnya, mempunyai tugas moral untuk menjalankan semua itu dengan sebenar-benarnya, tidak melenceng sedikit pun.

Disinilah mareka dihadapkan dengan persimpangan jalan, kiri dan kanan. Menempuh jalan kanan, bisa-bisa tidak bertugas lagi selamanya pada tempat yang telah mareka perjuangkan bertahun-tahun lamanya. Mengambil jalan kiri, sangat bertentangan dengan syar’i dan i’tikad hati-nurani. Disinilah simalakamanya. Menghadapi problema semacam ini, kita harus pandai-pandai menyiasati situasi, agar tidak berbenturan kepentingan. Mengukuhkan diri menapaki jalan kanan dengan menyiasati jalan kiri yang penuh duri sambil berjuang memperbaiki situasi agar tidak selamanya terus begini. Tidak ada masalah yang tidak dapat dipecahkan. Dan tidak ada kerumitan situasi yang tidak mempunyai solusi.

QUISEONER KE JAMA’AH PENGAJIAN
Setelah terbuka kenyataan dan fenomena para petugas KUA sebagai pihak yang menerapkan dan yang menjalankan hukum-hukum islam di jajaran paling bawah dari Departemen Agama, rasanya tidaklah bijaksana kalau tidak mencari tahu dan menyelami hal yang sama pada masyarakat sebagai pihak yang menjadi lapangan praktek dari petugas KUA. Kami memilih sebagai responden mereka-mereka yang merupakan orang-orang yang terbaik dari komunitas masyarakat , yaitu jama’ah pengajian rutin setiap minggunya. Mereka sengaja lebih kami utamakan, karena dengan memakai logika ‘aulawi’ akan memunculkan pembuktian terbalik, bahwa selain mereka berarti ‘lebih’ dari mareka. Lagi pula, menjadikan responden orang-orang yang tidak terkoordinir dalam strata masyarakat, sangat sulit sekali dan memerlukan waktu yang lama. Responden juga kami kelompokkan dalam dua kategori, sudah dan belum kawin. Dengan begini, kami berharap akan mendapat gambaran masa yang lalu dan akan datang terhadap generasi islam. Karena keberhasilan islam mendatang sangat tergantung pada kualitas generasi yang akan berkiprah ke depan. Untuk lebih mudah dan ringkas, kami menggunakan singkatan ‘SK’ untuk yang sudah kawin dan ‘BK’ untuk yang belum kawin.

Kami awali dengan pertanyaan :
“Apakah ada wali yang menikahkan anaknya, sedangkan dia tidak shalat atau dosa besar lainnya ?”

SK menjawab : 60% ada
BK menjawab : 70% ada

Hasil ini adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan kita semua. Karena, mengharap generasi islam ke depan akan lebih baik, hanya tinggal harapan belaka. Mungkin lebih baik dalam hal ketidakpeduliannya kepada islam. Sekalipun ada ulama yang berpendapat boleh taubat fil hal. Tapi, masalahnya, berapa orang yang mengerti tentang hakikat taubat ? mungkinkah mengerti benar-benar persoalan taubat hanya beberapa menit dalam majelis akad nikah? Karena taubat ‘fil hal’ disyaratkkan harus memiliki keinginan sangat kuat untuk menunaikan kealpaan-kealpaan selama ini. mungkinkah menanamkan ‘keinginan kuat’ hanya dalam beberapa saat ?
Berikut kami bertanya “
“Apakah ada saksi nikah yang tidak shalat dan mengerjakan dosa besar lainnya?”.

SK merespon : ada, 60%
BK merespon : ada, 66.5%

Ini berarti kita sudah memasuki stadium bahaya tingkat tinggi sekali. Karena dalam persoalan saksi nikah tidak ada tawar-menawar, tidak ada seorang ulama pun yang berfatwa saksi nikah boleh orang fasiq atau taubat ‘fil hal’. Apakah dapat kita pastikan, bahwa pernikahan selama ini 60% batal, karena disaksikan oleh orang-orang yang tidak layak jadi saksi? Selama kami mengunjungi KUA-KUA kami mendapat informasi, ada tokoh Gampong yang selalu minta jatah jadi saksi. Suatu keanehan yang membuat petugas KUA sulit memilih yang terbaik sebagai saksi, karena terbentur dengan charisma sang tokoh. Padahal saksi dalam nikah sangat sakral dan krusial, penentu sah-tidaknya nikah.

Berikut kami bertanya :
“Setahu saudara, apakah ada perceraian yang diadukan ke mahkamah, tapi tidak diakui?”

SK Menjawab : ada, 60%
BK menjawab : ada, 55,5%
Makna yang kami tangkap dari realitas ini, keengganan pelayan masyarakat melayani masyarakat, dimana mereka meyakini sebuah hukum yang sesuai dengan syari’at dan tidak merugikan Negara, tapi berbeda dengan isi KHI. Sebagaimana isi KHI, thalaq harus diucap di depan mahkamah. Banyak jalan mengetahui thalaq telah diucap, mengapa harus mengucapkan lagi yang membuat thalaq bertambah bilangan?

Kami bertanya lagi :
“Yang manakah dibawah ini lafadh rujuk yang sharih (jelas)?”
SK memberi suara terbanyak 63% kepada lafadh :
“Aku kembalikan kamu dalam nikahku”
BK juga menentukan pilihan yang sama, tapi dengan angka berbeda, 81%

Bandingkan dengan lafadh rujuk yang ditulis oleh petugas KUA. Apakah ini berarti, yang belum kawin lebih mengerti tentang lafadh rujuk dari yang sudah kawin dan petugas KUA? Boleh jadi ini berita gembira bagi kita semua, bagi islam tentunya.

Pertanyaan kami lagi :
“Yang manakah dibawah ini lafadh rujuk kinayah (sindiran)?”
SK dengan suara terbanyak (44,5%) dan BK dengan suara terbanyak (60%) sepakat menjatuhkan pilihan kepada :
“Saya sudah kembali lagi padamu”.

Kedua-dua responden kami telah memilih sesuatu yang seharusnya tidak dipilih mareka, karena lafadh tersebut tidak mensahkan rujuk dan tidak membuat istri halal kembali, walau niat seribu kali.

Kami bertanya lagi :
“Setahu saudara, berapa banyak catin yang tidak mengerti hukim-hukum sekitar pernikaha?”
SK dan BK memilih ‘diatas 50%’, masing-masing dengan suara 60% dan 77,5%.
Khabar buruk bagi islam. Bila sudah mencapai lebih dari 50% para catin buta terhadap seputar pernikahan, berarti mareka memasuki suatu alam yang kelam. Disana ada thalaq, tetapi mareka tidak tahu. Ada dlihar, tapi mereka tidak mengenalnya. Ada hak dan tanggungjawabnya, tapi mereka tidak mempelajarinya. Dalam kebodohan mereka berlayar mengarungi samudra rumah tangga. Bisa selamatkah mereka sampai tujuan?.

Kami mengajukan pertanyaan lagi :
“Menurut saudara, contoh dlihar di bawah ini adalah?”
Sk memilih dengan suara 44.5% :
“Tanganmu persis seperti tangan bibiku”
Berarti lebih 50% persen orang sudah kawin tidak tahu-menahu tentang dlihar. Boleh jadi dalam kebodohan mereka telah melakukannya.
BK memilih dengan respon 37% apa yang dipilih oleh SK.
Berarti banyak generasi belum kawin, belum siap memasuki gerbang perkawinan. Ini warning bagi mereka untuk membekali diri sebelum kawin, dan warning bagi semua kita untuk memperhatikan dan membenahi mereka, tidak hanya dipadai dengan hasrat kawin saja.

Berikut pertanyaan kami lagi :
“Apakah jatuh thalaq dalam keadaan sangat marah?”
SK dan BK menjawab ‘jatuh’, masing-masing 93 dan 89 persen.

Walau persentasenya kecil, tapi masih ada yang tidak tahu, bahwa thalaq sah meskipun suami menthalaq dalam tensi kemarahan yang tinggi sekali.

Selanjutnya kami bertanya :
“Apakah ada akad nikah yang tanpa sepengetahuan KUA?”
Sama-sama SK dan BK merespon terbanyak kepada : tidak banyak. SK 55,5 persen dan BK 63 persen.

Ini informasi penting untuk petugas KUA, bahwa masih ada prosesi akad nikah yang ‘ilegal’. Kita bisa meraba alasan mareka, berkisar antara poligami, birokrasi kadang berbelit dan terpaksa kawin. Kita harus melihat dengan jernih alasan-alasan mereka, apakah karena undang-undang yang tersedia jauh dari keinginan mereka atau keengganan mereka.

Terakhir kami bertanya :
“Dibawah ini yang manakah contoh thalaq kinayah ?”
SK dan BK sama-sama menentukan pilihan yang sama :
“pulanglah kepada ibumu”. SK 48%, BK 55,5%

Masalahnya bukan pada sejumlah angka, tapi masih ada yang tidak tahu bentuk thalaq kinayah. Apalagi pada orang yang sudah kawin, ini sangat mengkhawatirkan.

BAB IV
PENUTUP

Dari penelusuran panjang kami terhadap berbagai literature, menela’ah kitab-kitab, membolak-balik buku Kompilasi Hukum Islam, kemudian kami tuangkan dalam bab-bab, disertai pula silaturrahmi ke KUA-KUA, berdialog secara lisan, menyebarkan quisioner ke jama’ah-jama’ah pengajian rutin, akhirnya sampailah kami kepada kesimpulan-kesimpulan, baik masalah-masalah inti yang kami teliti atau masalah-masalah lain yang hanya sekedar pelengkap saja.

I.       KESIMPULAN
A.          Persoalan wali nikah yang dipersyaratkan sangat ketat dalam berbagai kitab Asy-Syafi’eyah, ternyata semakin menjadi-jadi kelalaian orang-orang untuk memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut di berbagai wilayah kecamatan, pernikahan yang diwalikan oleh orang-orang yang sangat jauh dari standar agama. Realitas ini kian diperparah oleh sikap apatis masyarakat, khususnya para wali, terhadap keinginan mempersiap diri menjelang jadi wali.

B.           Saksi nikah sesuatu yang sangat sacral dan krusial dalam pernikahan. Tapi, kenyataan yang kami temukan saksi nikah bukan lagi sebagai sesuatu yang penting dan harus lebih mendapat perhatian dari siapapun. Menemukan criteria saksi seperti termuat dalam banyak kitab, hampir-hampir mustahil, tetapi konsep ‘amtsal fal amtsal’ itupun tidak diterapkan. Seorang petugas KUA menuturkan, ada oknum tokoh agama yang minta jadi saksi setiap ada warganya yang menikah. Dengan kharisma sang tokoh, pihak KUA hilang kebebasannya mencari saksi terbaik untuk setiap pernikahan. Tradisi yang terjadi selama ini, Tgk. Imum catin otomatis jadi saksi. Kalau memang beliau yang ‘amtsal’ saat itu di tempat itu, tidak jadi masalah. Tapi, bila masih terdapat yang lebih baik, inilah malapetaka.


C.           Thalaq sebagai pemutus pernikahan, dipermainkan oleh Mahkamah Syari’ah. Mendapat laporan thalaq, tidak cukup dengan pengakuan suami, tapi thalaq harus diucap ulang untuk dapat pengakuan mahkamah. Kalau tidak, mahkamah mengabaikan laporan itu. Ironisnya, mahkamah mengabaikan banyak hal, mulai dari Al-Qur’an sampai hak warga dalam berkeyakinan yang benar. Parahnya lagi, selama ini KUA-KUA setali tiga uang dengan mahkamah dalam bermain-main di tepi jurang perzinaan.

D.          Qa’idah (konsep) taubat ‘fil hal’ dijalankan serampangan, mengabaikan inti taubat yang sangat menekankan pada : ‘keinginan kuat menunaikan kedhaliman-kedhaliman sebelumnya! Karena qa’idah ini, wali fasiq punya solusi keluar dari ketidakberdayaannya, sehingga mereka tidak waswas kalaupun mau menikahkan ‘maulinya’.


E.           Kualitas keilmuan seputar pernikahan para catin sangat memprihatinkan. Gelap-gulita mata mereka memasuki gerbang perkawinan. Mayoritas mareka tidak tahu apa dan bagaimana sekitar thalaq, rujuk dan dlihar. Hanya satu yang mareka punyai bekal perkawinan, hasrat kawin.
F.            Sepanjang KUA yang kami kunjungi, kami menemukan lafadh rujuk yang benar, hanya satu KUA. Selainnya, lafadh rujuk tulisan mareka tidak masuk kemana-mana, tidak sharih dan juga kinayah.

G.          Umumnya para catin dan suami tidak tahu lafadh dlihar. Kami sodorkan beberapa contoh lafadh dlihar, mayoritas mereka memilih yang bukan lafadh dlihar. Mereka semua adalah jama’ah rutin pengajian.

H.          Rujuk versi mahkamah dan KUA menyalahi versi agama. Mareka mensyaratkan kerelaan istri untuk sah rujuk. (lihat KHI)

I.             Dalam KHI disyaratkan thalaq di depan sidang mahkamah. Kalau tidak, maka tidak jatuh.

J.             Dalam KHI, catin dibawah umur (16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki) boleh dibatalkan perkawinan mereka oleh mahkamah.

II.    SARAN-SARAN
1.            Menela’ah buku Kompilasi Hukum Islam, banyak kami temukan kejanggalan-kejanggalan yang menjurus ke perzinaan dan mengabaikan hak-hak keyakinan masyarakat. Mencoba mengubah KHI sepertinya sangat sulit dan memerlukan waktu bertahun-tahun. Aceh memiliki UU keistimewaan, UU syari’at Islam dan UU otonomi khusus, dimana Aceh boleh berbeda dan diizinkan untuk merangkai sendiri UU yang cocok dengan mazhab anutan masyarakat Aceh, Syafi’e. Saran kami, kita ( baca : DPR Aceh di seluruh tingkat) segera mengqanunkan hukum-hukum sekitar perkawinan versi Aceh, untuk menggantikan KHI versi Jakarta, mengqanunkan UU Mahkamah Syari’ah dan KUA model Aceh, agar mareka terputus birokrasi ke Jakarta dan berakar ke Aceh.

2.            Sebagaimana saran sebagian KUA, kami juga menyarankan, sangat mendesak diwujudkan satu lembaga : mempersiapkan catin menjelang pernikahan, serta disertifikasi. Dengan modal sertifikat mareka dinikahkan oleh KUA-KUA. Tentu saja ini semua dalam bentuk qanun.

3.            Menyarankan  kepada Mahkamah Syari’at dan KUA untuk menyesuaikan penerapan KHI dengan syari’at yang dianut oleh masyarakat Aceh, khususnya Aceh Utara.

4.            Menyarankan kepada mahkamah dan KUA untuk menghindari konflik agama dalam masyarakat dan mengutamakan apa yang dianut oleh masyarakat daripada isi KHI yang penuh controversial.

DAFTAR MAKTABAH

Al-Imrani, Abul Husain Yahya bin Abil Khairi Salim, Al-bayan, juz 10 (darul minhaj)
Asy-Syarwany, Muhammad ‘Ali Asy-Syafi’e, Muchtashar Ibnu Abi Jamarah (Indonesia)
Al-Bajury, ‘Ali Ibnu Qasem, Hasyiyah Al-Bajury, juz 2 (Semarang : Maktabah Usaha Keluarga)
Al-Jarjani, ‘Ali bin Muhammad, At-Ta’rifat (Al-Aqsha)
Al-Bakry, Said Abi Bakar, I’anatuth Thalibin juz 3-4 (Indonesia, Bandung :Syirkah Al-Ma’arif)
Asy-Syarqawy, Asy-Syaik, Asy-Syarqawi ‘Alat Tahrir, juz 2. (Daru Ihyal Kutubil ‘Arabiyah)
Ash-Shawi, Syaikh Ahmad, Tafsir Shawi, juz 1 (Indonesia : darul Ihyal Kutub Al-‘Arabiyah)
Al-‘Asqalany, Al-Hafidl, Ibnu Hajar, Bulughul Maram (Indonesia : Al-Haramaini)
Al-‘Asqalany, Al-Hafidl Ibnu Hajar, fathul Bari, Juz 9 (Daru Mishri, cet I, 1421 H/2001 M)
As-Sayuti, Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman, Al-Asybah wan Badla-ir (Indonesia, Al-Haramaini, cet II tahun 1380 H/1970 M)
Al-Ahdal, Syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Kawakib Durriyah, juz 1-2 (Maktabah Zikri)
Bughyah Mustarsyidin (Bairut Libanon, daru Fikri 1415 H./1995 M.)
Faththany, Muhammad bin Ismail Daud, Matla’il Badren (Semarang : Usaha Keluarga)
Ismail, Syikh Ibrahim Bin, Syarah Ta’limul Muta’allimin, (Semarang, Usaha Keluarga)
Kompilasi Hukum Islam, (Departemen Agama R.I. tahun 2000)
Taqyuddin, Al-Imam, Kifayatul Akhyar juz 2 (Indonesia Surabaya : Darul ‘ilmy)
‘Umairah, Syaikh Syihabuddin Qalyuby Syaikh, Qalyubi wa ‘Umairah, juz 3 dan 4 (asy-Syirkah Annur Asia)



[1] Jarjani At-Ta’rifat, Hal.294
[2] Syaikh Syarqawy, As-Syarqawi ‘ala Tahrir, juz 2, hal. 505
[3] K.Akhyar, H. 68 juzuk 2
[4] Syaikh Zarnuji, At-Ta’limul Muta’allim, hal. 4
[5] Al-Imam Taqyuddin, Kifayatul Akhyar, Hal. 86 juzuk 2
[6] Al-Imam Taqyuddin , Kifayatul Akhyar hal. 40 juz 2
[7] Jarjani, At-ta’rifat, hal. 145
[8] Ali bin Muhammad Jarjani, Atta’rifat, hal. 181
[9] Qalyubi wa ‘Umairah, Hal 319, juz 4

[10] Qalyubi wa ‘Umairah, Hal 320, juz 4

[11] Qalyubi wa ‘Umairah, Hal 321, juz 4

[12] I’anatuthalibin, juz 3, hal. 308
[13] Bughyah Al-Mutarsyidin, hal. 127
[14] I’anatuthalibin, juz 3, hal. 306
[15] Bughyah Murtasyidin, hal. 128
[16] Kifayatul Akhyar, Juz 2, hal. 42
[17] I’anatuthalibin, juz 3, hal. 305
[18] I’anatuthalibin, juz 3, hal. 305-306
[19] Al-Malibari, I’anatutthalibin, juz 3, hal 314-316

[20] Taqyuddin, Kifayatul Akhyar, hal. 223

[21] Qalyubi wan ‘Umairah, juz 4, hal. 323
[22] Mathla’il badren, hal. 163
[23] Taqyuddin, Kifayatul Akhyar, juz 2, hal. 70
[24] Mathla’il Badren, hal. 163
[25] Qalyubi wa ‘Umairah, juz, 4 hal 328
[26] Matlhla’il Badren, hal. 164
[27] Al-bajuri, juz 2, hal. 148
[28] Qulyuby wa ‘Umairah, juz 4, hal. 331
[29] Al-Bajuri, juz 2, hal. 139
[30] Al-Bayan, juz 10, hal. 80-81
[31] Tafsir Ash-Shawi, juz 1, hal. 107
[32] Al-Bajury, juz 2, hal. 158
[33] Al-Bajuri, juz 2, hal. 158
[34] Al-Imrani, Al-Bayan, juz 10, hal 335

[35] Al-Bajury, Juz 2, hal. 151
[36] Qalyuby wa ‘Umairah, juz 4, hal. 3-4

[37] Qalyuby wa ‘Umairah, juz 4, hal. 2
[38] Qulyuby wa ‘Umairah, juz 4, hal. 2-3
[39] lihat kitab Al-Kawakib, juz 1, hal. 66 dan juz 2, hal. 3
[40] Qalyuby wa ‘Umairah, juz 2, hal. 3
[41] Asybah wan Nadla-ir, hal. 102
[42] KHI, hal. 40
[43] KHI, hal. 56
[44] KHI, hal. 70-71
[45] Asybah wan Nadla-ir, hal. 74
[46] Imam Taqyuddin, Kifayatul Akhyar, juz 2, hal. 107

NIKAH, THALAQ & RUJUK NIKAH, THALAQ & RUJUK Reviewed by BLACKFL4G on 23:44 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.