Oleh : Tgk Nazaruddin Zakaria
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
I. PERMASALAHAN
“Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS : Al-Israk : 32)
Ayat ini melahirkan dua
makna; makna ‘manthuq’ dan makna ‘aulawi’. Manthuqnya ‘jangan mendekati zina’.
Sedangkan ‘aulawinya ‘jangan melakukan zina’. Tetapi penekanan ayat ini sangat
kuat kepada makna manthuqnya. Karena itu yang tersurat secara jelas dan
nyata.Dan karena kurang bermakna melarang ‘melakukan zina’ bila orang sudah
begitu dekat dengan zina. Karena nafsu yang ibarat magnet sangat kuat menarik
untuk melangsungkan perzinaan. Sebab kedua belah pihak menginginkannya. Hal ini
sangat kontras dengan pelarangan-pelarangan Allah S.W.T dalam bidang yang lain.
Sebut saja mencuri sebagai contoh. Hanya pihak pencuri yang sangat kuat
ketertarikannya untuk mencuri, tidak dipihak pemilik harta. Maka untuk mencuri
tidak dikatakan ‘jangan mendekati mencuri’.
Maka, Allah dalam
hal melarang zina lebih kepada bentuk pencegahan, agar jangan sampai terjadi.
Dan itu berarti, islam lebih mengarahkan hukum sekitar pelarangan zina kepada
muqaddimah-muqaddimah zina, jalan-jalan lempang menuju zina, sehingga muncullah
ungkapan zina kepada hal yang bukan
bertemu dua khatan, dalam sabda Nabi Saw. :
“
………………maka zina mata memandang, dan zina lidah berbicara dan nafsu merencanakan
dan menginginkan itu ( yang dipandang dan dibicarakan”) (HR. Buchari)
Tentu saja
Rasulullah tidak sedang berbicara dalam konteks haqiqi, sehingga Ibnu bathal
mengomentari hadits ini :
“ Dinamakan
zina kepada memandang dan berbicara karena keduanya mengajak kepada zina
haqiqi”
Ada korelasi yang
sangat dekat antara ayat dan hadits, meskipun dalam redaksi yang berbeda. “ Jangan
mendekati zina” dalam ayat itu mengarah kepada zina mata dan lidah dalam hadits
atau hal-hal lain yang membuka peluang mudah melakukan zina. Islam sangat
menitikberatkan untuk menutup celah-celah sekecil apapun berlangsungnya zina.
Sangat menarik pola terjadinya zina seperti tuturan Rasulullah Saw. diatas.
Dimualai dari mata, ia memandang sesuatu yang menyerep batinnya berkeinginan
mempraktekkan apa yang dilihatnya. Disini islam menciptakan tembok agar ummat
islam terhindar dari zina, yaitu zina mata. Dengan istilah ini manusia islam
akan mengontrol setiap kedipan matanya, karena memandang saja sudah dikategorikan
zina apa lagi sampai melakukannya.
“Makanya Rasulullah cepat-cepat
memegang dagu Fadhal bin Abbas untuk mengalihkan pandangannya kektika sedang
terpana melihat seorang wanita pada saat ia mendatangi Rasulullah untuk
menanyakan tentang menggantikan ibadah haji untuk orang tuanya yang sudah tua
renta.” (HR. Buchari)
Demikian halnya
dengan mulut, sering berbincang tentang zina maka terungkaplah dan tertancaplah
hasrat syahwat semakin dalam. Bila dalam
jiwa sudah bersarang sebuah keinginan, itu hanyalah persoalan waktu dan
kesempatan untuk mewujudkannya.
Hal lain yang masuk
dalam “ jangan mendekati zina” adalah khalwat (berduaan antara lelaki
dan perempuan yang bukan muhrim ditempat yang jauh dari orang lain). Menyangkut
hal ini, Buchari menurunkan satu hadits dalam shahihnya :
“ Dari
Ibnu ‘Abbas beliau mendengar Nabi berkata : janganlah seorang lelaki berkhalwat
dengan seorang perempuan dan janganlah seorang perempuan bepergian kecuali
bersama mahramnya………….”
Hadits ini tidak
menjelaskan ‘illat pelarangan. Tapi dari siaqul kalam kita mendapatkan makna
yang sangat meyakinkan, bahwa keberduaan dalam kesunyian hampir-hampir dapat
dipastikan akan terjadi zina. Karena tidak ada kemungkinan munkar dalam konteks
keberadaan lelaki perempuan selain dari zina. Dan kemungkinan ini bisa saja
merengsek naik ke posisi kepastian dengan melihat kepada teori-teori biologis
manusia maupun praktis sosiologis selama ini.
Lebih-lebih lagi
kalau kita mengamati sosio-kultural masyarakat dewasa ini yang mengarak ke
budaya free sex. Hal ini ditandai dengan ditemukan beberapa kasus kumpul kebu
di bumi syari’at ini. Karena sesuatu yang tabu dan aneh akan tidak
dipermasaalahkan lagi bila mata dan telinga sudah sering menkomsumsikannya dari
media massa. Media massa, electronic dan cetak, yang sama-sama kita maklumi
dikuasai oleh barat (Yahudi) tentu saja tidak menghidangkan ke pemirsa dan
pembaca sesuatu yang menguntungkan islam dan ummatnya. Diperparah lagi era gila
ini turut mengubah pola pikir semua orang, sehingga nilai-nilai spiritual
ukhrawi terabaikan begitu saja. Ummat islam lebih mendewakan capaian-capaian
barat terhadap nilai-nilai duniawi. Otomatis local-lokal pendidikan agama tidak
lagi terisi oleh penghuni. Dayah-dayah berada dalam kesunyian. Kalaupun
lembaga-lembaga pendidikan agama resmi di penuhi pelajar, tapi tidak sepenuh
lembaga-lembaga duniawi dan judulnya pun relative sama : kaifiat mencari dunia.
Karena lembaga-lembaga agama resmi sekarang ini
telah sangat terkontaminasi dengan sekularisme dan liberalisme
(dua-duanya kuda tunggangan yahudi), kalau tidak mau dikatakan telah
sebulat-bulatnya westernisasi.
Awal tahun
pelajaran 2009-2010 di TV Metro terbaca satu berita, Negara Australia
menyediakan biaya siswa sebesar 400 juta Dolar untuk pelajar Indonesia. Berita
ini mengembirakan sekaligus mengkhawatirkan. Fasalnya, uang sebesar itu hanya
untuk pelajar yang mau belajar agama islam kepada mareka (tentu saja mereka
adalah yahudi dan nasrani). Pertanyaannya, apa urgensinya belajar ilmu islam
kepada mereka ? Apakah Aceh khususnya telah begitu mendesak belajar agama pada
mereka? Aceh memang ketinggalan, kemunduran, karena banyak lahan tidur tidak
sanggup dikaryakan oleh tangan-tangan insinyur Aceh. Banyak buah –buahan impor
masuk ke Aceh, karena tanah Aceh yang penuh dengan humus tidak bisa dikelola oleh sarjana-sarjana yang berlebel
pertanian. Panen pada di Aceh hanya dua kali setahun, tidak seperti di Jepang
yang tiga kali dengan hasil tiga kali lipat, karena sarjana lebih tertarik
mengabdi kepada pemerintah dari pada mengabdi kepada rakyat. B. J. Habibie
memang pernah ke Jerman belajar bikin pesawat terbang tapi sayang hasil
karyanya, Gatot Kaca, tidak mau terbang. Akhirnya, pabrik perakitan pesawatnya,
IPTN, tutup selamanya. Inilah yang diperingatkan oleh Nabi Saw. jauh-jauh hari
:
“Sungguh-sungguh
kamu akan mengikuti (meniru) jalan-jalan orang-orang sebelum kamu (yahudi dan
nasrani), sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka
memasuki lobang biyawak sekalipun kamu akan ikut juga. Kami bertanya, ya
Rasulullah, Yahudi dan Nasrani? Jawab beliau, “siapa lagi?” (HR. Buchari).
Sulit memang
menghindarkan peringatan Nabi Saw di atas, karena hampir semua muslim memasuki
lubang biawak yang sempit, sehingga yang terlihat hanya bobroknya tahi biawak,
tapi masih ada harapan dengan sungguh-sungguh menjawab pernyataan berikut ini :
bisakah lahan tidur di seluruh Aceh akan bangun, atau bisakah buah-buahan tidak
impor lagi tapi keluar dari bumi subur Aceh, atau bisakah kita panen padi tiga
kali setahun seperti Jepang, atau bisakah Gatot Kaca B.J. habibie terbang dengan
belajar ilmu-ilmu islam pada Yahudi dan Nasrani?
Bias dari semakin
jauh memasuki liang biawak dan merata dalam setiap sisi kehidupan, maka
muncullah sikap skeptic dan apatis terhadap nilai-nilai spiritual. Tak
terkecuali juga dalam persoalan zina dan muqaddimah-muqaddimahnya, semakin
berani dan terang-terangan. Bermain-main di seputaran zina adalah hal yang
biasa dan pemandangan sehari-hari. Bukan sesuatu kekhawatiran seorang ayah atau
wali yang tidak memenuhi syarat-syarat adil untuk menikahkan anak atau
muallinya. Bukan masaalah dua orang saksi nikah yang tidak shalat atau dosa
besar lainnya. Seorang calon lintoe tidak akan mempersiapkan dirinya secara islami
untuk jadi suami atau ayah seperti tutunan agama. Karena pola pikir telah
menjadi : perkawinan hanya sebatas syahwat dan birahi. Sudah jadi rahasia umum,
bahwa calon lintoe tidak mengetahui “dlihar” (penyamaan bahagian tubuh
istri dengan muhrim si lintoe). Masih banyak lagi persoalan-persoalan
bermasaalah, yang apabila di teliti secara seksama itulah zina haqiqat dalam
bingkai seolah-seoalah telah terpenuhi unsure-unsur syar’i.
Praktek-praktek minus
unsure syar’i diatas bila dilakukan oleh individu masyarakat, sekalipun tidak
boleh juga ditolerir, dampaknya tidak sebesar bila yang melakukan adalah sebuah
instansi pemerintah melaui undang-undangnya yang menyalahi syar’i yang ma’ruf.
Karena pemerintah, melalui alat-alatnya, punya justifikasi memaksa. Maka, tentu
saja bias negativenya pun merata ke seluruh anggota masyarakat.
Maka, kami Komisi A
fatwa dan hukum MPU Aceh Utara akan lebih memvokus ke instansi pemerintah
sekitar masalah nikah, thalaq dan ruju’ dalam penelitian kami ini, dengan tidak
mengesampingkan juga praktek yang sama yang terjadi dalam masyarakat.
II. RUMUSAN MASALAH
Dari permasalahan di atas yang begitu
komplit dan rumit, kami memcoba menganalisis praktis yang dilakukan oleh
Negara, dalam hal ini depertemen Agama, dan kasus-kasus di tengah-tengan
masyarakat, menyangkut beberapa persoalan sekitaran nikah, thalaq dan ruju’
yang menurut kami punya keurgensian yang tinggi dalam agama di satu sisi tapi
tidak diimbangi dengan atensi yang tinggi di sisi yang lain, untuk kemudian
kami konfrontasikan dengan teori-teori islami yang termaktub dalam Al-qur an,
hadits dan kitab-kitab fiqh muktabar.
Dalam pengamatan
kami terhdap praktek di atas, baik dilakukan oleh Depag atau masyarakat,
menghasilkan beberapa point yang terlihat nyata dalam masyarakat sebagai
berikut :
a. Bagaimanakah status sebuah pernikahan, bila wali dan saksi nikah
tidak memenuhi ketentuan agama?
b. Mengapa dan bagaimana thalaq yang di ucapkan diluar di ucapkan
kembali di hadapan pengadilan Mahkamah Syar’iah?
c. Sejauh mana pemahaman calon lintoe dan dara baro (calinda) dan
suami-istri tentang hukum-hukum pernikahan (khususnya dhihar)?
d. Bagaimana praktek ruju’ yang terjadi di tengah-tengan
masyarakat?
Keempat-empat point di atas terasa sangat menarik
dijadikan sebagai bahan kajian, karena hampir semua muslim telah atau akan
berhadapan dengan salah satu persoalan diatas. Dan telah jadi rahasia umum
dalam kalangan masyarakat, bahwa hal perkawinan sangat di istimewakan dan
dijadikan prioritas dalam hidup, sehingga apapun kegiatan mareka selalu
dikaitkan dengan kawin.
Tetapi, sekaligus sangat mengkhawatirkan! Karena
ketinggian minat tidak di diselaraskan dengan ketinggian minat mempelajari
seputaran kawin, sehingga ditakutkan memasuki kawasan sangat terlarang : zina!
Agama, lewat qaidah-qaidahnya, telah menutup dan
menggunci rapat-rapat celah-celah perzinaan, tapi ironisnya kita telah membuka
lebar-lebar gerbang perzinaan atas nama kedisiplinan, ketertiban administrasi,
kebertanggungjawaban dan alasan-alasan lain yang sangat kental dengan
sekularisme.
III. PEMBATASAN MASALAH
Bertolak dari
masalah-masalah yang telah kami rumuskan di atas, menjadi sangat jelas arah penelitian
kami ini, yaitu menyangkut wali dan saksi nikah, berkaitan thalaq yang kami persempit
hanya thalaq dalam pandangan Mahkamah Syar’iah, sedikit mencari tahu
pengetahuan calon lintoe atau yang sudah lama jadi lintoe tentang hal-hal
seputran nikah dan hak-kewajibannya, dan terakhir persoalan praktis ruju’ dalam
masyarakat.
Secara lughawi
(etimologi) wali bisa dipakaikan berpungsi ganda, ismul faa’il dan ismul
maf’ul, sehingga wali kadang-kadang diartikan nashir (penolong), hafidh
(pemelihara), kadang-kadang juga berarti manshur (yang ditolong), mahfudh (yang
dipelihara). Namum disisi isltilahi mempunyai makna cukup beragam, tergantung
di mana lapangan wali berada, wali pada lidah fuqaha tentu sangat berbeda
dengan wali pada lidah orang-orang sufi, dan seterusnya. Karena kita berada
dalam konteks fiqh, maka akan kita kutip wali versi fuqaha.
“Orang-orang yang mempunyai
kekerabatan secara hukum yang di hasilkan dari memerdekakan dan kekuasaan” .[1]
Tentu saja
orang-orang dalam definisi diatas adalah mereka-mereka yang telah
direkomendasikan Allah dan Rasul. Artinya, tidak mungkin seseorang berusaha
menjadi wali untuk seseorang yang lain. Itu adalah sebuah hak istimewa yang
diberikan secara takdir. Dan terfahami juga, bahwa ayah angkat, abang angkat,
paman angkat dan kakek angkat tidak ada tempat dalam jajaran perwalian.
Hampir sama dengan
wali adalah saksi nikah, sama-sama sebagai salah satu pilar (rukun) nikah.
Syahid (saksi) dari akar kata syahadah secara lughawi di maknai Al-khabar
al-qath’I (berita pasti dan benar). Dalam ranah terminology, syahid
didefinisikan dengan berbagai redaksi dengan tujuan yang sama :
“Orang-orang yang memberitakan
sesuatu yang benar dan pasti dengan lafadh tertentu (asyhadu)”.[2]
Tentu saja
orang-orang diatas diikat dengan syarat-syarat sangat ketat, melebihi ketatnya
persyaratan yang dimiliki seorang wali, seperti yang akan kita buka pada bab
tinjauan pustaka (muthala’ah al-Kutub).
Sengaja sangat kami
tonjolkan masalah wali dan saksi nikah dalam penelitian ini, karena pengamatan
terhadap gejala-gejala sosial selama ini menunjukkan krisis keagamaan yang luar
biasa, lebih-lebuh dalam wilayah kewalian dan kesaksian.
Hal yang sama juga
terjadi dalam daerah thalaq,
diidentifikasikan ada ucapan-ucapan yang mengarah ke thalaq tapi tidak
diketahui bahwa itu telah memisahkan antara suami dan istri, sehingga mareka
telah meudoda pada seburuk-buruk jalan sedemikian lamanya dan sedemikian
ramainya. Tapi kami hanya menyorot thalaq yang dipraktekkan oleh Negara,
mahkamah Syar’iah dan Departemen Agama. Dalam bahasa ‘Arab Tha-la-qa yang
merupaka sebuah akar kata dimaknai hallul qaid (melepaskan ikatan) dan
at-thalaq (melepaskan), seperti dalam kalimat berikut ini :
“Naqah Thaliq“ (melepaskan unta
untukmerumput kemana yang dia suka) dalam istilah syar’I dita’rifkan sebagai :
nama salah satu cara untuk melepaskan ikatan nikah. Jadi, antara lughawi dan
syar’I ada “tanasub” (kesesuaian) pada “melepaskan”, meskipun berbeda objek
pelepasan. Memang seperti itulah disingkronisasikan antara dua pemakaian “.[3]
Dalam syari’at
islam, thalaq tidak dikatagorikan sebagai anjuran, hanya sebagai solusi
terakhir dari permasalahan yang rumit dan memuncak yang tidak mungkin lagi
dicari jalan kompromi. Dan dalam konteks
itulah sabda nabi Saw berikut ini :
“ Tidak ada
sesuatu yang halal yang sangat dimurkai oleh Allah selain thalaq” (HR. Abu Daud)
Seolah ada kontroversi
antara “halal” dan “dimurkai” dalam hadits. Karena halal mengindikasikan izin
untuk mengerjakan, sedangkan dimurkai menunjukkan makna lazimnya : larangan.
Seperti diatas, halal thalaq bila memang itu jalan satu-satunya. Dibenci Allah,
karena masuk dalam qaidah umum : mengharamkan apa yang dulunya telah
dihalalkan, jadi sebenarnya tidak ada bertentangan hadits diatas, hanya harus
diposisikan menurut tempat masing-masing, sisi yang berbeda.
Dengan bijak
memahami dalil akan menghasilkan konklusi hukum yang bijak pula dan tentu saja
berujung dengan amalan yang berkualitas. Islam tidak memberatkan umatnya untuk
menggali setiap disiplin ilmunya, hanya ilmu yang bersifat kondisional saja
yang difardhu-ainkannya. Hanya kepada pelaku bisnis saja bab mu’amalat
diwajibkan. Inilah intinya di hadits berikut ini :
“
Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap musli” (HR, Ibnu Majah)
Ulama
sepanjang masa sepakat, bahwa kewajiban mencari ilmu adalah ilmu hal (ilmu
keadan setiap orang). Hanya bagi calon haji yang wajib mempelajari tentang haji
dan umrah. Kepada orang kaya saja difardhukan mempelajari mengenai zakat mal,
hanya mareka-mareka yang akan memasuki gerbang perkawinan saja yang dituntut
mendalami seputar hukum-hukum munakahat[4]
Calon
lintoe dan dara baroe (calinda) merupakan pihak yang sangat berkompenten dengan
sebuah perkawinan, meskipun pihak lain tidak dapat dinafikan untuk ikut
menentukan sahnya sebuah pernikahan. Tapi yang menelusuri dan mendapat hasil
(anak) dan perkawinan itu adalah calinda. Ditangan merekalah penentuan baik
buruknya hasil (keturunan). Nabi Saw telah mensinyalirkan hal dalam hadits :
“Setiap
anak yang dilahirkan membawa fitrah (potensi baik dan iman), kedua orang tuanya
yang menasranikan, meyahudikan dan memajusika mareka atau membawa masuk ke
dalam islami”(HR. Buchari)
Kalau
mau diibaratkan calinda itu sama persis dengan dua orang produsen yang bekerja
sama hendak memproduksi satu produk. Sudah barang tentu mereka tidak hanya
mencukupkan tahu cara memproduksinya saja, lebih jauh mereka akan memikirkan
tentang mutu sebuah produk. Inilah logika umumnya sekarang ini. Ciri khas
manusia modern, bagaimana produk esok lebih baik dari hari ini. Kalau aku
belajar hanya di Matan Taqrib, bagaimana anak-anakku bisa mencapai Qalyubi wa
‘Umairah. Ini prinsip bagus untuk menciptakan manusia lebih berkualitas. Tapi
sayangnya, tidak semua kita tahu atau tidak tahu atau tidak mencari tahu, bahwa
usaha untuk menghasilkan produk bermutu tinggi harus dimulai lebih dini dan
dari diri si produsen itu sendiri. Bila tidak, niatan menghasilkan terbaik,
malah melahirkan seburuk-buruk produk : anak zina. Karena kita hanya tahu
memproduksi, tapi tidak mengerti batas-batas produksi, atau tidak memahami
bahwa kita telah berkolaborasi dengan iblis. Bila ini terjadi, maka tamatlah
nilai-nilai keihsanan, karena belum ada dalam sejarah anak zina membawa
kebaikan. Dia produk yang salah dan cendrung kepada kehancuran akhlaq manusia,
sehingga Allah mensyaratkan kehancuran total (qiamat) dengan bertaburannya anak
zina.
Makanya,
dalam rangka mengawal nilai-nilai kemanusiaan yang agung, Allah Swt menetapkan
syarat-syarat super ketat. Diawali dari khitbah (meminang) sampai kepada talaqh
dan sampai kepada ingin kembali (ruju’) kepada “Mawaddah wa Rahmah” yang pernah
dirasakan dulu, selalu dijejal dengan persyaratan yang begitu ketat. Bukan
untuk membebani hamba, tapi lebih kepada menjaga harkat dan martabat insane
yang begitu suci.
Salah
satunya, ini juga sebuah poin yang masuk dalam penelitian kami, adalah ruju’. Ruju’
adalah pintu kembali kepada bekas istri. Dalam bahasa ‘Arab, raj’ah atau ruju’
berarti kembali. Pada terminology syar’i dirangkai sebagai berikut :
“Aksi
untuk kembali kepada nikah sesudah thalaq yang bukan bain dengan lafadh tertentu”.[5]
Sampai disinilah
pembatasan-pembatasan masalah penelitian kami.
IV. METODE PENELITIAN
a.
Mazhab Syafi’e
Ada beberapa alas
an yang menjadi latar mengapa kami memilih mazhab Syafi’e sebagai asas
penelitian kami :
1. Karena kami merasa sangat keterbatasan untuk mengistimbat hukum-hukum
langsung ke sumbernya. Bila kami memaksakan diri juga, niscaya persis seperti
hadits ini :
“
Apabila pekerjaan diserahkan kepada bukan pakarnya, maka tunggulah kehancuran”.
2. Karena islam yang mendarat pertama kali di Aceh adalah mazhab
Syafi’e (Hamka, Sejarah Islam).
3. Karena mayoritas umat Aceh sekarang masih setia dengan
Asy-Syafi’e dan Asy-Syafi’eyah.
4. Karena dikhawatirkan akan timbul konflik horizontal bila bukan
mazhab Syafi’e yang di berlakukan.
5. Karena tidak timbul qil wal qal terhadap mazhab Syafi’e (satu
indikasi sesat).
6. Karena penyebaran mazhab Syafi’e mengalir secara natural, tidak
dipaksakan oleh kekuasaan (satu lagi ciri sesat)
7. Karena mazhab Syafi’e bukan bentukan orentalis, beda dengan
Wahaby,baha’I dan Ahmadiyah Qadyan (Memoar Hempher)
b.
Muthala’ah al-kutub (kajian
pustaka)
Mengungkap berbagai
rahasia tersurat dan tersirat nash-nash Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab
mu’tabarah dan buku-buku pedoman Departemen Agama yang ada sangkut-pautnya
dengan penelitian kami.
c.
Observasi
Menyimak dan mengamati
terhadap fenomena regilius sosial masyarakat dalam mempraktek nilai-nilai agama
mareka
d.
Interview
Mewawancarakan secara
acak dan secara santai (bukan pertemuan resmi yang bersengaja digelar untuk
itu) terhadap masalah-masalah yang terjadi atau yang mareka alami langsung.
V. KEGUNAAN PENELITIAN
Temuan-temuan dalam
pelacakan kami terhadap literatur dan warna-warni kehidupan keagamaan
masyarakat, kami niatkan sebagai :
a.
Masukan untuk merancang
qanun-qanun Aceh yang lebih baik di masa mendatang.
b.
Membuka kenyataan
sebenarnya terhadap praktek keagamaan oleh masyarakat, khususnya mengangkut
seputar pernikahan.
c.
Menjadi bahan pengetahuan dasar
bagi para wali, calinda dan tokoh-tokoh masyarakat tentang nikah dan hal-hal
yang berkaitan dengannya.
d.
Bahan awal bagi peneliti-peneliti
selanjutnya.
BAB II
MUTHALA’H KUTUB
1. Wali Nikah
A. Wali khas (nasab)
Sebagai satu
kompenen (rukun) untuk sahnya sebuah perkawinan, wali mempunyai landasan yang
cukup kuat dari nash Al-Qur’an “
“ Maka
janganlah kamu mencegah perempuan-perempuan untuk menikah dengan (mantan)
uami-suami mareka”. (QS : Al-Baqarah : 232)
Ayat ini
turun dilatarbelakangi oleh peristiwa yang diperankan oleh ma’qil Bin Yasar
ketika beliau bersumpah tidak akan menikahkan saudara perempuannya kepada bekas
suaminya. Maka Allah menegurnya dengan
firman diatas. Teguran Allah ini, dipahami oleh para ulama, bahwa hanya wali
yang mempunyai hak untuk menikahkan. Kalau bukan demikian (boleh dinikah oleh
selain wali), maka teguran dan larangan Allah diatas tidak bermakna apa-apa,
karena bisa saja dilaksanakan orang lain.[6]
Hal senada tertulis dalam hadits :
“Tidak sah
nikah melainkan dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil, dan bila
nikah diselenggarakan tidak seperti itu, maka batil” (HR. Ibnu Hibban)
Mareka
yang dianggap sebagai wali yang sah adalah mereka yang telah direkomendasikan
Allah Swt dan RasulNYA, seperti berikut ini :
−
Ayah
−
Kakek (bapak ayah)
−
Saudara lelaki kandung
−
Saudara lelaki seayah
−
Anak lelaki saudara kandung
−
Anak lelaki saudara lelaki
seayah
−
Paman (saudara lelaki
seayah)
−
Anak lelaki paman kandung
−
Maula mu’tiq (orang yang
memerdekakan)
Mereka
yang tersebut diatas diikat dengan syarat-syarat berikut ini :
a. Islam.
“ Wahai orang beriman, janganlah kamu ambil orang
Yahudi dan Nashrani sebagai wali, sebahagian kamu menjadi wali untuk
sebahagian.” (QS : Al-Maidah :51)
b. Bulugh (sampai umur)
c. ‘Aql (ber’akal)
d. Hurriyah (merdeka)
Dalil ketiga poin
diatas adalah hadits Ibnu Hibban sebelumnya, karana ‘adalah hanya ada pada
mareka yang sudah sampai pada tahap baligh, ber’aqal dan merdeka.
e. Zukurah (lelaki)
“Tidak sah perempuan menikahkan
perempuan dan tidak sah perempuan menikahkan dirinya sendiri, perempuan yang
menikah dirinya adalah penzina” (HR.
Daraquthny).
f. ‘Adalah (keadilan)
Dalilnya hadits
Ibnu Hibban diatas.
Secara
harfiah ‘adalah dimaknai dengan istiqamah (ketetapan). Ulama-ulama fuqaha’
menterminologikan dengan :
“Orang-orang
yang terhindar dari dosa besar dan selalu berencana taubat dari dosa yang kecil
serta menjauhkan diri dari perbuatan hina dan sia-sia, seperti makan di tepi
jalan dan kencing sambil berdiri[7]
Mencermati
dengan seksama definisi diatas, kita menemukan tiga unsure penting, yang
masing-masing berdiri sendiri untuk kemudian diramu menjadi satu, berwujudlah
‘adalah (adil) :
a)
Terhindar dari dosa besar.
Dosa besar adalah :
“Sesuatu yang diharamkan secara jelas dan diancam dengan hukuman yang
berat di dunia atau diakhirat melalui nash-nash yang qath’i.[8]
Dengan batasan ini maka
masuklah seperti :
−
Melakukan shalat sebelum
waktunya.
−
Mengeluarkan shalat dari
waktunya tanpa halangan.
−
Tidak menuntut ilmu
seukuran fardhu ‘ain dalam urusan yang dia geluti.
−
Membunuh.
−
Berzina (sekalipun dengan
binatang.
−
Liwath (homo
seksual/lesbian).
−
Minum minuman keras.
−
Menuduh (orang lain).
−
Mencuri sampai ukuran nisab
(seukuran potong tangan).
−
Merampok.
−
Kesaksian palsu.
−
Namimah (membawa-bawa
perkataan orang lain untuk tujuan tidak baik).
−
Sumpah palsu.
−
Qatha’ rahim (memutuskan
persaudaraan).
−
Durhaka kepada dua orang
tua.
−
Menganianya muslim dengan
dhalim.
−
Lupa hafalan ayat-ayat
Al-qur’an.
b) Berencana taubat dari dosa kecil.
Kebalikan dari dosa besar, dosa kecil
adalah :
“sesuatu yang
diharamkan yang diancam di dunia dan akhirat dengan hukuman yang tidak sekeras
ancaman dosa besar”
Ta’rif ini
melahirkan kulliyat (perincian) yang banyak sekali. Disini kami menyebut
beberapa contoh saja :
−
Nadhar (melihat dan
memikirkan) kepada yang tidak dibolehkan.
−
Ghibah (mengupat).
−
Diam terhadap upat.
−
Dusta.
−
Membuka aurat.
−
Tidak mau berbicara sesame
muslim lebih tiga hari.
−
Beramah-tamah dengan orang
jahat (perspektif agama)
−
Mencuri dibawah nisab.
−
Zina mata, telinga, mulut
dan tangan.
−
Berkhalwat (berduaan
lelaki-perempuan bukan muhrim.
−
Bermain music
c) Menjauhkan diri dari perkara sia-sia dan hina (menjaga muru-ah).
Muru-ah adalah ;
“Berkelakuan
seperti kelakuan orang-orang semisalnya (teman sejawat) yang semasa dan
setempat dengannya”
Berikut beberapa contoh meruntuhkan
muru-ah :
−
Makan dan minum dipekan.
−
Bepergian tanpa tutup
kepala.
−
Mengecup istri di depan khalayak
ramai.
−
Kencing sambil berdiri.
−
Main syathranji (catur)
−
Membonceng istri dibelakang
kereta dengan duduk berpapasang.
Uraian-uraian
diatas adalah persyaratan bagi ‘adalah untuk mendapat hak kewalian dalam mazhab
Imam Syafi’e. Artinya, secara asal mazhab, orang-orang yang tidak memiliki satu
saja syarat-syarat diatas, maka dia disebut fasiq, dan secara otomatis hilang
dari daftar perwalian serta bergeser hak tersebut kepada wali ab’ad atau bahkan
kepada hakim resmi. Dan apabila sifasiq tetap bersikeras merebut hak perwalian
(menikahkan), itu berarti dia melegalkan perzinaan anaknya.
Tetapi beberapa ulama
Asy-Syafi’eyah berbeda dalam menafsirkan ‘adalah wali nikah khususnya. Ini,
dilandasi oleh kondisi transisi shabi ke baligh dan kafir ke islam, yang
kedua-duanya dianugrahkan agama hak kewalian untuk menikahkan, padahal secara
jelas dan pasti mareka tidak bersifat dengan malkah ‘adalah, ini
mengisyaratkan, bahwa ada wasithah (perantara) antara ‘adalah dan fasiq. Dan
wali berada dalam posisi tersebut.
Said Al-Bakry menulis ; “ ‘Adalah pada
hak wali adalah tidak fasiq, sebaliknya ‘adalah di pihak saksi nikah maka ia
bermakna satu malkah (kemampuan) dalam jiwa yang mencegah pemiliknya melakukan
dosa besar dan kecil serta kesia-siaan yang mubah. Berarti ‘adalah wali
mencakup wastithah, yaitu tidak fasiq dan tidak juga ‘adalah hakikah. Kondisi
wasithah ini tahakkuk wujud pada diri shabi bila baligh dan fasiq bila
bertaubat”.[12]
“ Disyaratkan wali nikah tidak fasiq,
berdasar pendapat yang rajih (kuat)”.[13]
Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary berkata : “Dan kalau orang fasiq bertaubat
secara benar, maka boleh ia menikahkan saat itu juga”.[14]
Taubat model diatas mendapat
kritikan dari banyak ulama, karena diantara syarat-syarat taubat adalah
mengembalikan barang-barang yang didhaliminya dan mengqadha shalat, misalnya.
Hal ini tidak mungkin dilakukan dalam sekejap di majlis ‘aqad nikah, lalu bagaimana dia boleh menikahkan saat itu
juga ?
“Isykal” ini dijawab oleh Syaikh ‘Ali
Syibra malasi : “ Sesungguhnya taubat seorang wali tidak disyaratkan
mengkadha shalat, misalnya. Tetapi, harus didapatkan syarat-syarat taubat,
bahwa dia telah bertekad sangat kuat untuk membayar dan mengembalikan segala bentuk
kedhalimannya selama ini. Masalah ini di perkuat oleh bahwa disini (dibab wali
nikah) bersifat lebik fleksibel. Buktinya, profesi-profesi rendah dan hina yang
tidak punya kelayakan dengan siwali, tidak bisa menahannya untuk boleh
menikahkan ”.[15]
Dari kutipan-kutipan diatas,
kita memahami, bahwa hak kewalian sifasiq yang hilang bisa diraih kembali
dengan taubat. Bahkan ada ulama yang berfatwa, bahwa orang fasiq tidak hilang
hak kewaliannya. Al-Imam Taqyuddin menulis :
“Ketahuilah, Rafi’e berkata : “bahwa
mayoritas ulama mutaqaddimin berfatwa, orang fasiq punya hak kewalian,
lebih-lebih menurut ulama Khurasan. Fatwa ini juga dipilih oleh Rauyani “.[16]
Hampir sama dengan Taqyuddin, Al-Malibary
menukil ‘ibarat kitab Tuhfah :
“ Mayoritas Mutaakkhirin ashhab
memilih, sesengguhnya (wali fasiq) mewilayahkan (hak kewalian)” . [17]
Kewalian muthlaq (apapun kondisinya) orang-orang fasiq
diatas, sedikit berbeda dengan apa yang dituliskan oleh Al-Malibary berikut ini
:
“Nawawi, seperti juga Ibnu Shilah dan
Subki, memilih apa yang telah difatwakan oleh Al-Ghazaly, bahwa hak kewalian
orang fasik tetap kekal kalau seandainya di pindahkan, akan berpindah ke hakim
fasiq”.[18]
Dari penelusuran beberapa linteratur di atas tentang
wali nikah dan kewaliannya, kami dapat merekomendasikan beberapa hal berikut
ini :
−
Bahwa wali nikah
dipersyaratkan dengan ‘adalah yang ketat (tidak ada tawar menawar), yaitu wajib
memiliki malkah (kemantapan jiwa) yang mencegah dia dari berbuat dosa besar dan
kecil serta perkara-perkara sia-sia dan hina yang mubah. Bila tidak, hak
kewaliainnya secata otomatis bergeser ke wali ab’ad atau hakim (asal mazhab).
−
Bahwa kewalian bersifat
ausa’ (fleksibel), bukan ‘adalah dan bukan juga fasik, artinya wasithah antara
keduanya. Berarti wali tidak disyaratkan ‘adalah, tapi tidak boleh orang fasiq.
Orang-orang yang berada pada posisi wasithah misalnya shabi bila baligh, kafir
bila masuk islam dan fasiq bila taubat fil hal (taubat dalam majlis ‘aqad
dengan bertekad sangat kuat ingin mengembalikan seluruh barang yang pernah
didhaliminya dan mengqadha shalat, misalnya). (diamalkan)
−
Bahwa orang-orang fasiq
tidak kehilangan hak kewaliannya bila seandainya dipindahkan akan berpindah ke
hakim fasiq. (diamalkan)
−
Bahwa orang-orang fasiq
tetap memegang hak kewaliannya, apapun kondisinya bagaimanapun situasinya
(dididhaifkan)
B. WALI ‘AM (Hakim)
“Sulthan (orang-orang yang
memegang suatu kekuasaan) adalah wali bagi orang yang tidak punya wali”. (HR. Syafi’e,
Abu Daud dan Ibnu Hibban)
Seperti
terpahami dalam hadits di atas, hakim bertindak menikahkan perempuan dalam
wilayah hukumnya pada saat si perempuan tidak ada lagi memiliki wali khas,
secara hissi (riil) ataupun secara syar’i (tinjauan agama). Riilnya memang siperempuan
tidak mendapatkan sama sekali atau tidak ada lagi kerabat yang masuk dalam
jajaran perwaliannya atau dalam perspektif agama kerabat-kerabatnya bukan orang
yang mendapat hak perwalian. Dengan data hissi dan syar’I, inilah seorang hakim boleh menikahkan seorang
perempuan :
−
Sama sekali tidak mempunyai
wali khas.
−
Tidak diketahui keadaan dan
keberadaan wali khas.
−
Wali khas yang terdekat
jauh dua marhalah (94 atau 96 Km.).
−
Wali khas terhalang sampai
ke majlis ‘aqad, walau pun berjarak dibawah dua marhalah.
−
Wali khas enggan
menikahkan.
−
Wali khas sedang dalam
ihram.
−
Wali khas kawin dengan
muallinya.
Seorang
wali hakim, pendapat mayoritas ulama, tidak disyaratkkan ‘adil dalam kaitannya
dengan menikahkan. Artinya, boleh fasiq sekalipun, karena hakim menikahkan
dengan kewilayahannya atas satu daerah. Sama halnya dengan said (pemilik
budak), menikahkan dengan kepemilikannya atas budak.
2. SAKSI NIKAH
“Tidak sah nikah melainkan dengan
wali dan dua saksi yang adil”. (HR. Ibnu Hibban)
Syarat-syarat
yang diperhitungkan untuk menjadi seorang saksi lebih ketat dan lebih banyak
dibandingkan dengan menjadi wali, seperti nukilan berikut ini :
a. Muslem
“Tidak diterima kesaksian seorang
pemeluk satu agama atas pemeluk agama yang lain, kecuali orang-orang islam,
sesungguhnya mareka adil atas diri mareka sendiri dan atas pemeluk agama lain”.
(HR.
Abdur Razzaq)
b. Baligh
“Bersaksilah dua orang saksi
daripada rijalikum (lelaki kamu)”. (QS :
Al-Baqarah : 282)
Kata-kata rijal dipakai untuk lelaki
dewasa.
c. ‘Aql.
“(bersaksilah)…….orang-orang yang
kamu ridhai sebagai saksi” (Qs : Al-baqarah :
282)
Tidak ada orang
yang rela dipersaksikan orang gila
d. Hurriyah (merdeka)
“Bersaksilah
yang mempunyai keadilan di antara kamu” (QS
: Ath-Talaq: 2)
Asbabul nuzul ayat
ini adalah orang-orang yang merdeka.
e. ‘Adalah (tidak fasiq)
“ Bila datang orang fasiq membawa
berita, maka carilah kebenarannya” (QS : Al-Hujarat : 6)
Berarti berita dari
orang fasiq tidak dapat dipercaya[20].
Pesyaratan
terhadap ‘adalah diatas silahkan rujuk kepada permasalahan yang sama pada
persyaratan wali. Bedanya, fleksibelitas yang berlaku pada wali, tidak boleh
diberlakukan pada saksi nikah, karena tidak pernah ada ulama yang
merekomendasikan hal tersebut,. Paling-paling yang bisa diterapkan dalam
konteks persaksian dengan melihat kepada perkembangan akhlaq yang semakin jauh dari
tuntutan agama adalah konsep :
“Amtsal
fal amtsal” (yang terbaik di setiap ruang dan waktu)
Alhasil,
dalam bidang persaksian tidak boleh dianggap sebagai ajang bermain-main, tidak
boleh hanya melihat kiri-kanan lalu main copot sembarangan dijadikan sebagai
saksi. Tidak seharusnya terjadi tradisi selama ini, bahwa Tgk. Imum Gampong
calinda bersangkutan secara otomatis diplot sebagai saksi. Bahkan ada yang
lebih radikal lagi, Tgk. Imum Gampong minta jatah sebagai saksi setiap kali ada
warganya yang menikah. Kita tidak apriori apalagi antipati terhadap Tgk. Imum.
Masalahnya, layak atau tidak jadi saksi. Bila memang beliau yang terbaik, alhamdilillah
sekali. Tapi, bila memang masih ada yang lebih baik, itu berarti beliau-beliau
memegang peranan penting dalam menciptakan perzinaan dan anak zina, dan
sekaligus mempercepat datangnya kiamat. Nawami berkata “
“ Bila
seorang qadhi memutuskan sebuah keputusan berdasarkan kesaksian dua orang
saksi, yang ternyata dua saksi itu kafir, budak, shabi dan fasiq, maka wajib
keputusan tersebut dibatalkan oleh qadhi bersangkutan atau qadhi lainnya “.[21]
3. TALAQ
“Bilangan talak itu dua”. (QS
: Al-Baqarah : 229)
Talak dibataskan dengan beberapa
rukun untuk memastikan wujudnya :
a. Shighat (ucapan tertentu)
Shighat adalah : “ucapan-ucapan untuk
melepaskan ikatan ‘aqad nikah”
Shighat dikelompokkan kepada dua :
1. Sharih (jelas tujuannya)
“Yaitu
ucapan-ucapan yang jelas tujuannya mengarah kepada melepaskan ikatan nikah,
karena di ulang-ulang pemakaiannya dalam Al-Qur’an dan karena sering
dipergunakan manusia untuk maksud tersebut”
Lafadh-lafadh (ucapan-ucapan)
tersebut adalah :
−
Thalaqa
−
Firaqa
−
Saraha (ha Kerongkongan)
Kami akam menyalin kata-kata diatas
dalam bentuk pemakaian dalam kalimat-kalimat sebagai berikut :
−
Thallaqtuki
−
Faraqtuqi
−
Sarrahtuqi
−
Anti thaliq
−
Anti muthallaqah
−
Ya… thaliq
Kalimat-kalimat diatas merupakan kalimat yang jelas
untuk tujuan perceraian, sehingga tidak membutuhkan kepada niat cerai lagi. Ini
dalam konteks bahasa ‘arab. Diluar bahasa arab dianggap sebagai ucapan sharih
kepada thalaq adalah terjemahan-terjemahan kalimat diatas dalam setiap bahasa.
Mari kita lihat terjemahannya secara berurutan dalam bahasa melayu :
−
Aku thalaq akan dikau
−
Aku ceraikan dikau
−
Aku halaukan dikau
−
Engkau thaliq
−
Engkau yang kena thalaq
Setelah kita tahu dalam bahasa
melayu, tidak begitu sukar bila hendak mengalihkan dalam bahasa Indonesia
sekarang.
2.
Kinayah (sindiran)
Yaitu : “Setiap ucapan yang boleh jadi untuk thalaq atau bukan,
sehingga dibutuhkan kepada niat thalaq”.[23]
Tentu saja kinayah merupakan
ucapan yang bukan sharih seperti diatas tadi, seperti beberapa contoh berikut
ini :
−
Aku lepas akan dikau
−
Engkau terlepas
−
Engkau kena lepas
−
Engkau sunyilah
−
Engkau yang diputuskan
perhubungan
−
Engkau yang ditinggalkan
nikah
−
Halal Allah atasku haram
−
Ber’iddahlah akan istibra’
rahim engkau
−
Hubung olehmu akan
keluargamu
−
Bujanglah engkau
−
Tinggalkanlah aku
Termasuk dalam thalaq kinayah
ucapan-ucapan sharih yang ditulis tanpa diucapkan, sehingga dibutuhkan niat
untuk sah thalaq, bila tidak maka tidak.[25]
b. Mahall (istri)
Thalaq harus
dijatuhkan kepada seorang perempuan yang berstatus istri si suami. Karena
logikanya, thalaq yang merupakan sarana pemutusan hubungan suami-istri, tentu
saja thalaq dialamatkan kepada seorang istri. Istri, dalam kapasitasnya sebagai
manusia, memiliki bagian-bagian tubuh seperti layaknya manusia lainnya. Ada
bagian yang masih melengket, ada bagian yang telah terpisah atau seharusnya
dipisahkan. Semua ulama berpendapat, hanya bagian yang melengket, seperti
tangan, kaki, rambut, dan organ lainnya yang masih berada ditempatnya, yang
apabila dijatuhkan thalaq, thlaq sah, seperti kata suami :
−
Tanganmu kuthalaqkkan
−
Kakimu kuceraikan
Kebalikannya, tidak sah thalaq, bila thalaq diucapkan kepada
bagian yang telah bercerai dari tubuh istri atau bagian-bagian Fudhlah (bagian
yang seharusnya bercerai) seperti kata suami :
−
Aku thalak air liurmu
−
Aku talak tahimu
−
Peluhmu kuceraikan
c.
Wilayah
Wilayah adalah suami
mempunyai kewenagan atas istri, walaupun istri berstatus thalaq raj’i
“Tidak ada thalaq
kecuali sesudah nikah. (HR. Tarmizi)
Kewenangan
yang dimiliki suami atas seorang perempuan, adalah dasar utama dia menjatuhkan
thalaq, sekalipun istri sedang menjalani ‘iddah thalaq raj’I. beda dengan istri
thalaq bain, kewilayahan suami atasnya telah hilang sama sekali. Apalagi
perempuan yang belum pernah punya hubungan dengan si suami, jelas sekali thalaq
tidak sah, sekalipun dengan cara ta’liq (dipersyaratkan thalaq), misalnya,
seorang lelaki berkata kepada seorang perempuan :
−
Bila aku kawin denganmu
nanti, kuthalaq kamu
−
Siapapun yang aku kawini
nanti, aku ceraikan dia
Ini hanyalah kalimat-kalimat kosong yang tidak
terimplikasikan hukum apapun di dalamnya, tidak dari segi thalaq, tidak juga
dari sudut ta’liq[27]
d.
Qashad (menyengaja)
Yaitu “ pengucapan
kalimat-kalimat thalaq disertai dengan makna yang terkandung didalamnya”
“Sesungguhnya
setiap perbuatan tergantung niatnya” (HR. Buchari)
Dengan rukun ini,
thalaq tidak jatuh bila diucapkan orang-orang yang berikut ini :
−
Orang sedang tidur
−
Orang terlanjur lidah
−
Orang yang menceritakan
thalaq orang lain di depan istrinya
−
Orang yang memanggil thaliq
kepada istrinya (kebetulan nama istrinya thaliq)
−
Orang yang mengucap thalaq
dalam bahasa arab yang tidak mengerti maknanya, sekalipun niat thalaq.[28]
Tetapi ada juga orang yang melafadh
kalimat thalaq tanpa niat maknanya, dihukumkan jatuh thalaq nya :
−
Suami yang melafadh kalimat
thalaq untuk bermain-main atau berkelakar dengan istrinya.
−
Suami yang menthalaq
istrinya dalam kegelapan, yang dugaannya ajnabiyah (perempuan lain)
“Tiga perkara, yang kesungguhannya dan kepura-purannya dianggap
sungguh-sungguh, yaitu thalaq, nikah dan ruju’ ” (HR. Tarmizi dan Hakim)
e.
Muthliq (suami)
Untuk mewujudkan
thalaq, peran suami sangat menentukan dan signifikan sebagai actor utama. Namun
tidak semua suami bisa menjatuhkan thalaq dengan leluasa. Mereka harus memenuhi
syarat-syarat berikut ini :
1.
Baligh
2.
‘Aqil
3.
Jaga
“ Diangkatkan pena (tidak
dihukumkan) dari tiga orang, orang tidur sehingga ia bangun, shabi sehingga ia
bermimpi balihq, orang gila sehingga sembuh”. (HR. Tarmizi dan Abu Daud)
4.
Muchtar (pilihan sendiri)
“Tidak ada thalaq dan tidak ada
merdeka pada pemaksaan” (HR. Abu Daud, Ibnu
Majah dan Hakim)
Dikeluarkan dari
persyaratan ‘aqil adalah mabuk muta’addi (sengaja). Artinya, thalaq orang mabuk
muta’addi sah.
“Janganlah kamu mendekati shalat
bila kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu ketahuai apa yang kamu ucapkan” (QS : Annisa’ : 43)
Konteks ayat di
atas turun kepada pemabuk muta’addi, ternyata mareka masih ditaklifkan untuk
shalat. Maka diberlakukan qias (analogi) untuk selain shalat, misalnya thalaq.
Diantara yang diqiaskan adalah gila muta’addi, sehingga thalaqnya dianggap
berlaku.[29]
BILANGAN THALAQ
“Suami-suami
merdeka memiliki thalaq tiga thalaq “ (bilangan) thalaq dua, (sesudah itu) boleh menahan dengan baik-baik
atau menceraikan secara baik-baik pula”. (QS :
Al-Baqarah : 229)
Ayat
ini turun dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa, bahwa pada masa-masa permulaan
islam seorang suami boleh menthalaq istri sesuka hatinya, sehingga ada suami
yang mempermainkan istrinya dengan thalaq lalu ruju’, thalaq kemudian ruju’,
thalak ruju’ kembali dan seterusnya, hingga akhirnya seorang istri mengadukan
halnya kepada ‘Aisyah Ra, beliau meneruskan kepada Nabi Saw. Nabi Saw terdiam
lama tidak punya jawaban dalam masalah ini. Maka turunlah ayat diatas untuk
mencair kebisuan Nabi (HR.
At-Tarmizi)
Jadi
“Marrataini” (dua) dalam ayat menunjukkan bilangan thalaq yang boleh ruju’,
karena ayat ini diposisikan sebagai jawaban atas peristiwa diatas tadi.
Artinya, hanya dua kali thalaq yang dibolehkan ruju’, bukan thalaq-ruju’ yang
tanpa batas sesuka si suami.
Ayat diatas
pula mengundang pertanyaan shahabat, “dimana yang ketiga ?” Rasulullah
menjawab, “ yang ketiga itu ada pada : ‘atau menceraikan secara baik-baik’
kedepannya”. (HR. Al-Baihaqi)
Ayat
diatas diturunkan kepada orang-orang merdeka. Adapun budak dijawab oleh hadits ini
:
“Seorang
budak mukatab Ummu Salamah menthalaq istrinya yang perempuan merdeka dengan
thalaq dua, hendak ruju’ kembali. istri-istri Nabi Saw memerintahkan dia
mencari ‘Ustman. ‘Ustman yang kebetulan sedang bersama dengan Zaid bin Tsabit, menghardik
dia dan kedua-dua berkata “haram dia untuk mu…….haram dia untukmu”! (HR.
Syafi’e)
Cukup
jelas kemana arah ‘dilalah’ hadits diatas. Lalu bagaimana cara menghitung tiga
kali thalaq? Al-Imrani menulis :
“Bila
thalaq tiga dalam kondisi suci atau kondisi haidh atau thalaq tiga dalam satu
ucapan, maka semuanya jatuh thalaq tiga. Pendapat ini tidak ada pertentangan
baik dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, maupun kalangan fuqaha’
(mazhab empat). Hanya ahli dhalir (wahabiyah) dan Syi’ah yang berpendapat
berbeda, bahwa thalaq tiga yang diucapkan dalam satu waktu (kondisi suci dan
haidh atau dalam sekali ucapan ) tidak jatuh thalaq satupun. Sebagian mareka
berkata, jatuh satu. Pendapat ini tidak ada dasarnya, tidak dari nabi Saw,
tidak dari kalangan Shahabat, tidak dari Tabi’in ataupun Tabi’ Tabi’in[30]
Asy-Syaikh
Ahmad Ash-Shawi Al-Maliki berkata :
“ Dan
apabila telah ada ketetapan thalaq tiga dalam sekali atau beberapa kali ucapan,
maka si perempuan tidak halal lagi bagi suaminya, seperti kalau suami berkata :
kamu terthalaq tiga atau ‘Al-battah’ (putus, habis). Ini adalah hukum yang
telah di ijma’kan. Adapun pendapat thalak tiga dalam sekali ucapan hanya jatuh
satu thalaq, maka tidak diketahui selain pikiran Ibnu Taimiyah dari mazhab
Hanabilah. Dan pemuka-pemuka mazhab ini telah menolak sekeras-kesarnya hasil
pikiran tersebut, sehingga para ulama menyatakan, bahwa buah pikiran itu ‘dhall
mudhill’ (sesat menyesatkan). Dan menyandarkan pendapat tersebut kepada Imam
Asyhab dari Malikiyah adalah batil”.[31]
Dari
hasil pelacakan kami dalam kitab-kitab Asy-Syafi’iyah, dapat kita ambil
kesimpulan-kesimpulan yang berkaitan dengan penelitian kami :
−
Bahwa thalaq disebuah intansi
Negara, Mahkamah Syari’ah misalnya, bukan merupakan salah satu syarat sah
thalaq.
−
Bahwa, apabila pun
diperintahkan ulang thalaq yang telah diucapkkan, maka itu dihitung sebagai
thalaq selanjutnya dari bilangan yang telah ada.
−
Bahwa thalaq dalam keadaan
sangat marah sah dan jatuh thalaq.
−
Bahwa bermain-main atau
bersenda-gurau dengan thalaq adalah jatuh thalaq.
−
Bahwa mazhab Syafi’e, Hanafi,
Maliki, Hambali dan seluruh ulama umat berijma’ : thalaq tiga dalam sekali atau
beberapa kali ucapan jatuh tiga thalaq.
−
Bahwa, memberlakukan thalaq
tiga dalam sekali ucapan hanya jatuh satu thalaq adalah tindakan sesat
menyesatkan dan menggiring masyarakat ke arah legalisasi zina, serta mengundang
konflik horizontal masyarakat.
4. DLIHAR
Pada bagian ini,
sebenarnya kami ingin melihat sejauh mana pengetahuan catin seputaran masalah
munakahat, khususnya dlihar. Karena dari gejala yang kami tangkap di masyarakat,
sangat minim catin memperkaya diri dengan persoalan yang satu ini. padahal bias
dari ketidaktahuannya sangat dekat dengan keabadian dalam dosa besar. Hal ini
mudah tercipta tapi tidak semua catin mau mengerti, sehingga mereka sangat
mudah terperangkap dalam dosa besar. Mari kita lihat :
“Dan orang-orang yang menyamakan
istrinya kemudian kembali mereka kepada apa yang telah mereka katakan, maka
hendaknya memerdekakan seorang budak perempuan” (QS : Al-Mujadalah :3)
Dlihar secara bahasa
diartikan ‘punggung’. Dalam termenologi syar’i dimaknai dengan “
“Pernyamaan seorang suami akan
istrinya yang bukan bain dengan perempuan-perempuan yang haram bagi suami”.[32]
Rukun-rukun dlihar :
a. Mudlhir (suami yang melafadhkan dlihar)
(syarat-syarat
mudlhir sama dengan muthliq, silahkan rujuk kepada permasalahan bersangkutan)
b. Mudlhar ‘anha (istri)
Disyaratkan
perempuan masih berstatus istrinya, sekalipun sedang menghabiskan masa ‘iddah
thalaq raj’i, masih hidup saat lafadh berakhir.
c. Musyabbah bih (perempuan yang disamakan istri dengan dia)
Yaitu, “Setiap
perempuan atau organ tubuh perempuan yang haram dinikahkan, baik karena
keturunan, susuan atau pun bermantu yang sebelumnya tidak pernah halal baginya”
Contoh musyabbah bih dari garis keturunan
:
−
Ibunya
−
Neneknya (pihak ayah atau
ibu)
−
Bibinya (pihak ayah atau
ibu)
−
Saudara perempuannya
−
Anak perempuannya
−
Cucu perempuannya
Contoh musyabbah bih dari susuan :
−
Perempuan yang menyusui
ayahnya
−
Perempuan yang menyusui
ibunya
−
Perempuan yang menyusui
istri ayahnya yang dinikahkan sebelum dia lahir.
−
Saudara perempuan sesusuan yang
ada sebelum dia menyusui
−
Anak perempuan ibu susuan
Contoh musyabbah bih dari bermantu (mushaharah)
d. Shighat (lafadh dhihar)
Ialah : “Lafadh-lafadh yang menunjukkan kepada
persamaan antara istri dengan muhrimnya”
1. Sharih
Yaitu : “Jelas penunjukannya ke arah
dlihar”, seperti :
−
Kamu seperti punggung ibuku
−
Kepalamu seperti kaki
kakakku
−
Tanganmu seperti pipi
bibiku
−
Telingamu seperti bibir
adik perempuanku
−
Dan lain-lain persamaan
antar organ-organ yang kelihatan.
2. Kinayah
Ialah : “lafadh-lafadh yang
dimungkinkan untuk dlihar atau bukan”, seperti :
−
Kamu seperti
ibuku/nenekku/kakakku/bibiku
−
Kamu adalah
ibuku/nenekku/kakakku/bibiku
Setelah
mengucapkan dlihar bila tidak dilangsungkan mengucapkan thalaq (artinya ada
masa jeda antara dhihar dan thalaq), maka suami wajib memberi kafarat secara
tertib, memerdekakan seorang budak perempuan, puasa dua bulan berturut-turut
dan memberi makan 60 orang miskin per orang satu mud.
Hasil muthala’ah kami sebagai berikut
:
−
Bahwa dlihar adalah dosa
besar, karena diancam dalam Al-qur’an dengan ancaman yang sama dengan
sebahagian dosa besar lainnya, yaitu memerdekakan budak.
−
Bahwa dlihar sangat mudah
terjadi, apalagi dalam masa bahagia pada awal perkawinan, yang memungkinkan
terucap kata-kata perbandingan atau memuji sang istri untuk meromantiskan
suasana, yang tidak disadari telah terucap kata dlihar, apalagi suami-istri
yang minim pengetahuan agama.
5. RUJUK (Raj’ah)
“Suami-suami mereka (perempuan)
lebih berhak mengembalikan mereka dalam masa itu (‘iddah) jika suami-suami
menginginkan kebaikan” (QS : Al-Baqarah :228)
Dari nabi Saw, “Bahwa beliau
menthalaq hafsah dan meruju’kannya” (HR. Abu
Daud)
Dalam pengertian bahasa, raj’ah
adalah ‘masdar marrah’ (akar kata yang berarti satu kali kembali). Dalam
terminology syar’i diartikan sebagai :
“Mengembalikan perempuan dalam
nikah pada masa ‘iddah thalaq yang bukan bain”.[35]
Rukun-rukun ruju’
a. Murtaji’ (suami)
(untuk
mengetahui syarat-syarat murtaji’, silahkan kembali pada persyaratan muthliq)
b. Mahall (istri, tempat ruju’)
Syarat-syarat
mahall :
−
Telah disetubuhi sebelum
dithalaq
−
Dithalaq tanpa imbalan
−
Tidak menghabiskan bilangan
thalaq
“Suami-suami
mereka (istri) lebih berhak mengembalikan mereka dalam masa itu (‘iddah)”(QS : Al-Baqarah: 228)
“Dalam
masa itu (‘iddah)”, menunjukkan ruju’ dalam masa ‘iddah, dan mengisyaratkan
pula mesti istri yang telah disetubuhi, karena istri yang belum diwatha’ tidak
mempunyai ‘iddah dan otomatis tidak ada tempat untuk ruju’.
“Bila
suami menthalaq tiga, maka istrinya itu tidak halal lagi baginya sehingga kawin
dengan suami lain” (QS : Al-Baqarah : 230)
‘Tidak
halal lagi’ berarti tidak boleh ruju’, karena inti dari ruju’ untuk
menghalalkan apa yang telah diharamkannya dengan thalaq. Dan ternyata ‘tidak
halal lagi’ menunjukkan tidak mungkin dihalalkan dengan ruju’, tapi dengan
dikawini orang lain, karena bilangan thalaq telah habis. Demikian halnya dengan
thalaq upahan, karena istri telah bain.
c. Shighat (ucapan ruju’)
Ialah : ‘Setiap ucapan yang menunjukkan
mengembalikan istri dalam nikahnya, baik sharih maupun kinayah’.
1. Sharih
Yaitu : ‘ucapan yang mengandung makna
hanya satu, jelas kepada ruju’, seperti berikut ini :
−
Raaja’tuki (aku kembalikan
kamu)
−
Raja’tuki (aku kembalikan
kamu)
−
Istarja’tuki (aku
kembalikan kamu)
−
Radadtuki ilaiya (aku
tolakkan kamu kepadaku)
2. Kinayah
Ialah : ‘setiap lafadh yang bermakna
ganda, boleh untuk ruju’ atau bukan’, seperti:
−
Tazawwajtuki (aku berkawin
akan kamu)
−
Nakahtuki (aku bernikah
akan kamu)
−
Radadtuki (aku tolakkan
kamu)
Dari
definisi dan lafadh-lafadh ruju’, kami memahami, bahwa murtaji’ (suami) dalam
posisi subjek (fa’il) dan mahall (istri) diposisikan sebagai objek (maf’ul),
dari kata-kata ‘mengembalikan’, atau dengan kata lain murtaji’ bersikap aktif,
mahall bersikap pasif. Berdasarkan ini, bila sudah disetujui dan diakui,
lahirlah makna : si suami yang bekerja melakukan ‘pengembalian’ dan siistri
yang menunggu ‘dikembalikan’. Artinya, suami mengambil istri membawa kepadanya
kembali, bukan suami yang kembali kepada istri. Ini bertentangan dengan qaidah
ilmu nahu (hukum fa’il dan maf;ul).[39]
Kemudian
Imam Nawawi menulis dalam Minhaj :
“Menurut pendapat jadid, tidak
disyaratkkan mempersaksikan dalam soal rujuk”. Karena ruju’ bermakna
meneruskan hukum nikah yang telah ada. Beda dengan nikah, menciptakan
hukum-hukum efek dari nikah.
Dibagian
lain beliau menulis :
“Ruju’
tidak sah dengan suatu perbuatan, bersetubuh, misalnya”. Karena bersetubuh
telah haram dengan thalaq, sedangkan tujuan dari ruju’ adalah menghalalkan
haram itu. Logikanya, tidak mungkin menghalalkan sesuatu yang haram adalah
dengan melakukan yang haram”.[40]
Dari paparan kami diatas, kami
meringkasnya dalam beberapa poin yang sesuai dengan tujuan penelitian kami :
−
Bahwa ruju’ ada dalam syari’at
islam.
−
Bahwa ruju’ merupakan
tindakan suami mengembalikan istri dalam nikahnya kembali.
−
Bahwa ruju’adalah istri yang dikembali ke suami, bukan suami
yang pulang ke istri.
−
Bahwa lafadh ruju’ : “aku
kembalikan lagi padamu (istri), tidak dikenalkan dalam mazhab Imam Syafi’e dan
mazhab manapun.
BAB III.
MEMBEDAH BUKU
KOMPILASI HUKUM ISLAM
MUQADDIMAH
Setelah
kami membuka lembaran-lembaran kitab As-Syafi’eyah untuk mencari patokan dalam
penelitian kami ini agar lebih terarah dalam melangkah dan tidak membias
konflik di masyarakat atas hasil-hasil yang kami raih nantinya, maka kami
hadapkan perhatian untuk memasuki wilayah praktis, untuk mengetahui apakah-ada-tidaknya
relevansi antara teoritis dengan praktis. Memasuki praktis berarti memasuki
suatu kawasan yang sarat dengan kebijakan-kebijakan. Karena sebuah teori dalam
tahap pelaksanaan selalu saja dipengaruhi oleh waktu dan tempat, sehingga harus
ada kebijakan-kebijakan untuk mensiasati kondisi dan situasi yang ada. Ini
wajar sekali bagi makhluk yang berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ada saja
alasan yang membuat manusia harus melenceng dari norma-norma yang telah
ditetapkan sebelumnya, sehingga lahirlah suatu qaidah ushul fiqh :
“Kesukaran
membawa kemudahan”
Qaidah ini
terangkum dari berbagai dalil yang ada untuk menyikapi keadaan yang selalu
berproses. Tingkat kemudahan yang bisa diraih adalah menurut kesukaran yang di
dapati. Besar kesukaran besar pula kemudahan yang bisa di peroleh. Kecil
kesukaran yang dihadapi kecil pula kemudahan yang boleh dilakukan. Bila
kesulitan hanya masalah teknis suatu teori, tidak mungkin dibolehkan merusak
substansi esensial dalam teori tersebut. Karena ‘teknis’ hanya persoalan
‘kaifiat’ (cara) merealisasikan suatu teori yang telah baku, apalagi teori-teori
yang dihasilkan dari nash-nash yang qath’i. Seribu satu cara tersedia dan bisa
dipakai untuk menghasilkan tujuan dari
sebuah qaidah, karena ‘cara’ merupakan produk ‘aqli’ yang boleh dipikirkan
beribu-beribu cara asal tidak meruntuhkan bangunan qaidah yang susah-payah di
bangun, apalagi yang membangun itu adalah yang maha agung. Sebagai manusia
modern dan kreatif, mengapa harus terpaku hanya kepada satu metode saja,
apalagi yang dipilih metode yang menafikan inti sebuah teori.
Kebijakan-kebijakan haruslah melahirkan kebijaksanaan.
Sebagai
makhluk ‘mukallaf’ secara relegius kita terikat dengan ketentuan-ketentuan
agama. Sebagai khalifah kita harus mengatur dengan penuh manfa’at untuk seluruh
anggota masyarakat. Disini kita punya satu konsep :
“Kebijakan
imam (pemimpin) atas rakyatnya haruslah dalam lingkup kemaslahatan”.
Konsep
diatas ini berangkat dari :
“ Sayyidina
Umar Ra berkata : “sesungguhnya aku posisikan diriku dalam mengelola harta
Allah (baitul mal) seperti posisi wali anak yatim : bila aku memerlukan aku
ambil, bila aku punya kemudahan aku kembalikan, kalau aku kaya aku jaga diriku”.
(HR.
Said bin Manshur, Asybah wan nahl-ir, hal. 83)
Dengan
konsep ini, seorang pemimpin tidak boleh mengangkat orang fasiq sebagai imam
shalat, karena tidak ada kebajikan (kemuslihatan) pada kebencian Allah
(makruh), sekalipun harus diakui bahwa shalat tetap sah. Bahwa zakat, kalau di distribusikan
Negara, wajib disamakan ukurannya bila tingkat kebutuhan juga sama, karena
dalam pandangan Negara semua rakyat haruslah sama statusnya, tidak boleh ada
yang dilebihkan dan di istimewakan.
Nah,
bagaimana kalau dalam kebijakan keagamaan pemimpin justru malah merusak
substansi agama itu sendiri? Atau sangat bertentangan dengan apa yang dianut
dan diamalkan oleh masyarakat, untuk kemudian dipaksakan kepada mereka untuk
menerimanya ?.
Dalam
konteks penelitian kami menyangkut akad nikah, thalaq, rujuk dan dlihar, kalau
kita membuka buku ‘Kompilasi Hukum Islam’ (KHI) di Indonesia “kita akan
menemukan kejanggalan-kejanggalan, sekalipun harus kami akui hampir seluruhnya
memang selaras dan cocok dengan fiqh Syafi’eyah, anutan masyarakat Indonesia
dan Aceh secara khusus. Kejanggalan-kejanggalan dalam buku tersebut masih bisa
ditolerir bila tidak merusak substansi dari sebuah hukum. Tapi bila sudah
menyeleweng jauh, pasal-pasal bermasalah tersebut harus dihapus demi Al-qur’an
dan hadits. Dalam konteks inilah kaidah ushul fiqh berikut ini terasa cocok
sekali :
“Apa
yang telah ditetapkkan dengan syar’i lebih di utamakan dari syarat buatan
manusia”.[41]
Kita
nuqil satu contoh qaidah ini agar permasalahan lebih terang-benderang. Seorang
suami berkata kepada istrinya :
“Aku
thalaq kamu dengan seribu, tapi aku boleh rujuk lagi”
Melihat kata-kata ‘seribu’
menunjukkan kepada khuluk (thalaq upahan), dan tidak boleh rujuk. Diujungnya
ada kata-kata ‘rujuk’ menandakan boleh kembali lagi. Maka terjadilah ‘ta’arudh’
(kontradiksi). Lalu bagaimana kita mensiasati permasalahan rumit seperti ini? ‘Seribu’
hanya kewajiban yang disyaratkan oleh manusia. Sedangkkan ‘rujuk’ ada karena
ketetapan syar’i. Jadi, wajib diutamakan syar’i.
Seandainya
dalam buku KHI terdapat poin-poin yang mendobrak kemapanan fiqh Syafi’iyah yang
dianut masyarakatAceh khususnya, apalagi kalau poin-poin tersebut mengarah
kepada legalitas zina atau merugikan rakyat banyak, maka mesti dibatalkan
dengan argument-argument diatas tadi.
Lalu
mengapa terjadi ‘kejanggalan-kejanggalan’ dalam KHI? Dari tela’ah kami terhadap
KHI kami menemukan pada beberapa pasalnya, seperti pada pasal 5 ayat 1,
alasannya ‘hanya’ demi ‘pencatatan’, ‘ketertiban’ dan ‘kekuatan hukum’. Dan
alasan yang sama juga terungkap dalam acara ‘muzakarah ulama-ulama di Gedung
Hasbi Ash-Shiddiqie Lhoksumawe pada tanggal 15-16 Juli 2009 dalam makalah yang
disampaikan oleh Ka. Kandepag Aceh Utara.
Kami
harus mengakui betapa baiknya tujuan mareka yang sehingga melahirkan buku KHI.
Tidak ada larangan dalam agama untuk melakukan ‘pencatatan’, ‘ketertiban’ dan
‘kekuatan hukum’. Ketiga alasan diatas kalau diteliti lebih cermat ternyata
hanya masalah teknis semata, hanya untuk mengatur administrasi Negara lebih
baik dan terarah dan untuk mengontrol aktivitas keagamaan masyarakat agar
terorganisir dengan rapi yang merupakan tututan alam modern sekarang ini.
Untuk
mencapai alasan-alasan yang baik diatas agar terealisasi dengan sempurna dalam
masyarakat, tidak seharusnya kita melakukan kesalahan-kesalahan fatal yang
mengakibatkan rusaknya hukum-hukum Allah Swt. Bila maksud hati kepada sebuah
kelapa, mengapa harus menebang pohon kelapa? Masih banyak cara untuk mencapai
tujuan. Mengapa yang terpikirkan menumbang pohon? Kita bisa memanjat, bisa
menjolok atau melempar dengan batu dan kayu. Banyak cara tersedia kalau mau memikirkan dengan
cerdas.
Sekarang
akan kami tampilkan beberapa pasal yang janggal itu yang selama ini jadi
pedoman para petugas di Depag dan Mahkamah Syar’iyah, disertai dengan dalil-dalil
untuk menguak dimana letak kejanggalannya :
I
Pasal 58
(I) (tentang syarat-syarat memperoleh izin dari Mahkamah Syari’ah
untuk beristri lebih dari satu)
a. Adanya persetujuan istri.
Poin ‘a’ ini tertolak dengan :
“Maka menikahlah dengan perempuan
yang baik-baik, dua-dua, tiga-tiga, empat-empat. Maka apabila kamu takut tidak
akan mampu berbuat ‘adil, kawinlah seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Begitu lebih dekat kepada tidak berbuat anianya”. (RS : An-Nisa’ : 3)
“Siapa
saja yang mempunyai dua istri, tapi lebih cendrung hanya kepada salah satunya
atau (riwayat yang lain) tidak mampu berbuat ‘adil antara keduanya, datang di hari
kiamat dalam keadaan miring” (HR. Abu Daud)
Dua
hujjah ini sudah lebih dari cukup untuk melihat syarat-syarat kawin lebih dari
satu, bahwa ‘adil yang diperketat di sini, tidak yang lain-lain, apalagi harus
meminta restu dari istri. Mana ada istri yang rela dimadu pada zaman sekarang
ini. Pada saat yang sama suami masih berhajat kepada kawin lagi dengan satu dan
lain hal. Islam masih membuka pintu. Istri menutup rapat-rapat. Negara
memperketat hampir-hampir seperti menggunci rapat. Maka suami menempuh ‘pintu
belakang’: nikah dibawah tangan atau kawin siri, atau yang lebih parah lagi
lari ke qadhi liar atau ke pelacur, na’uzubillai min zalik.
“Adanya
persetujuan istri” diatas mengisyaratkan perlindungan istri oleh Negara, suatu
tujuan yang cukup mulia dari sebuah Negara dan memang Negara berkewajiban
seperti itu. Lalu bagaimana perlindungan Negara terhadap hak-hak suami? Atau
terhadap hak-hak perempuan yang dinikahi suami yang secara agama sah yang oleh
Negara dianggap tidak punya ‘kekuatan hukum’? Mengistimewakan istri pertama
oleh Negara dengan mengabaikan hak-hak istri kedua, itulah ketidakadilan! Ketidak
adilan juga dirasakan oleh perempuan-perempuan lain yang belum bersuami. Dari
data statistic sensus penduduk yang terakhir, di Aceh terdata : satu banding
tiga. Satu laki-laki dalam setiap tiga perempuan. Nah, bagaimana Negara
menyikapi dan mencari solusi terhadap persoalan ini ? bila Negara tetap
bersikap kokoh dengan poin ‘a’ dalam pasal 59 KHI, itu berarti menciptakan
peluang menjamurnya qadhi-qadhi liar dan menyuburkan tempat-tempat pelacuran.
Maka jadilah undang-undang diatas kontradiktif dan kontra produktif.
Melalui
konsep ‘rahmatal lil’alamin’, islam yang lahir jauh sebelum Negara ini ada,
member solusi : ‘boleh kawin lebih dari satu’. Ingat! Islam tidak menganjur,
tapi membolehkan! Dibolehkan untuk menghadapi keadaan sulit seperti diatas,
agar islam tetap eksis dan tetap sesuai dengan fitrah manusia.
II
Pasal
71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan
apabila :
a.
Seorang suami melakukan
poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
d.
Perkawinan yang melanggar
batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 undang-undang No. 1
tahun 1974. (yaitu usia minimal 19 tahun bagi laki-laki, 16 tahun bagi
perempuan)[42]
Poin ‘a’ diatas terelimir dengan :
Sepanjang penulusuran kami
terhadap ayat, hadits dan atsar shahabat, belum pernah kami temukan, salah satu
rukun atau syarat sah nikah adalah izin Negara. Karena tuntutan keadaan para
shahabat banyak melakukan poligami, tapi tidak ada diantara mareka, sejauh pengetahuan
kami, yang minta izin dari Rasulullah yang saat itu sebagai utusan Allah,
sebagai Hakim Agung sekaligus sebagai Kepala Nagara dan Pemerintahan. Apakah
ada yang lebih dari Muhammad bin Abdullah?
Poin ‘d’ dianulir dengan :
“Dari ‘urwah, sesungguhnya Nabi Saw
meminang ‘Aisyah kepada Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata, “sesungguhnya aku
saudaramu”. Nabi menjawab, “ya, engkau juga saudaraku seagama dan sekitabullah.
Dia (‘Aisyah) halal untukku”. (HR. Buchari)
Sama-sama kita maklumi,
‘Aisyah Ra saat itu berusia tujuh tahun, atau pada riwayat yang lain 9 tahun.
Selain hadits fi’ly ini, tidak kami jumpai sabda-sabda yang melarang kawin
dengan perempuan dibawah 16 tahun. Nabi adalah contoh teladan yang baik.
Lewat KHI, mungkin Negara
ingin melindungi warganya dari perkawinan terlalu dini. Bertindak sebagai wali
‘am, Negara hendak menjaga agar sebuah perkawinan tidak cepat bubar. Karena
salah satu factor rawan perceraian adalah usia pasangan yang terlalu muda. Ini
niat baik dari Negara. Tetapi, ini menyalahi dengan kaidah ushul fiqh :
“Kewalian yang khas lebih
kuat dari kewalian yang ‘amm”
Wali khas catin perempuan saat
merelakan anaknya menikah mempunyai suatu pertimbangan yang baik dan tepat
untuk maulinya dan dirinya sendiri. Kami juga yakin, bahwa semua orang tua
menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Nah, pada saat seorang orang tua
melepaskan anaknya yang belum berusia 16 tahun atau 19 tahun untuk menikah, dia
punya kemeslihatan sendiri, yang oleh Negara tidak boleh menggugatnya, apalagi
membatalkan perkawinan bersangkutan. Lebih tahu wali khas tentang kemeslihatan
anak-anaknya, karena mareka yang melahirkan, mendidik dan membesarkan, dari
pada wali ‘amm.
III
Pasal 115
Perceraian hanya
dapat dilakukan didepan sidang agama setelah pengadilan Agama tersebut berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.[43]
Pasal ini harus
dibatalkan, karena :
Dari Ibnu Umar Ra, “Bahwa beliau
menthalaq istrinya dalam haidh pada masa Rasulullah Saw. Umar, ayahnya,
bertanya kepada rasulullah mengenai hal itu. Jawab Nabi Saw, “perintahkan dia
untuk rujuk. Lalu dia menahan istrinya hingga suci, lalu haidh, kemudian suci
lagi. Setelah itu terserah kepada dia apakah mau terus menahannya. Atau
menthalaq sebelum dia menyentuh istrinya. Begitulah ‘iddah yang diperintahkan
Allah Swt bila kamu menceraikan istri-istri kamu”. (HR. Abu Daud)
Dalam hadits ini,
cerita diawali dengan laporan Umar Ra tentang thalaq anak beliau kepada
Rasulullah Saw, Rasulullah Saw menjawab tegas dan jelas : “perintahkan dia
untuk rujuk”, bukan “perintahkan dia menghadapku untuk thalaq di
depanku, kalu tidak thalaqnya tidak sah”. Artinya, Rasulullah Saw dalam
kapasitasnya sebagai Rasulullah, Hakim Agung, Kepala Negara dan Pemerintahan,
mengakui thalaq yang bukan dihadapannya. Ini sangat bermakna dalam menentukan
hukum, bahwa thalaq tidak mesti dipersaksikan atau diucapkan di hadapan
siapapun, termasuk dihadapan pimpinan besar seperti Rasulullah sekalipun,
apalagi di depan sidang Mahkamah Syar’iyah.
Kalau kita membuka
buku KHI pada halaman 60 tentang ‘tata cara perceraian’, kita menemukan cukup
banyak dan panjang birokrasi yang berliku-liku untuk sampai seorang suami
kepada thalaq. Tidak sesederhana yang kita temukan dalam kebanyakan kitab para
fuqaha’. Dugaan kami, penyusun buku KHI hendak mempersempit ruang thalaq bagi
suami. Dimulai dari mengajukan thalaq secara lisan atau tulisan kepada
mahkamah, mahkamah mempelajari, mempertimbangkan : layak-tidaknya menerima
pengajukan tersebut. Kalau diterima, dilanjutkan dengan pengucapan thalaq di sidang
mahkamah. Baru kemudian diputuskan thalaq telah jatuh.
Jalan yang penuh
liku ini adalah satu-satunya jalan yang mampu dipikirkan oleh Negara untuk
membatasi suami agar tidak begitu mudah menjatuhkan thalaq sesuka hatinya.
Maksud penyusun buku KHI ini harus diakui memang baik. Mungkin jalan ini yang
terpikir ketika membaca sabda Nabi Saw “Perbuatan halal yang sangat dibenci
Allah adalah thalaq”. Tetapi Negara telah mengabaikan banyak hal ketika
menempuh cara penghambatan seperti ini. Pertama, emosi suami. Bahwa thalaq
adalah ujung dari permasalahan yang telah memanas dan memucak. Thalaq dipilih
karena tidak ada alternative lain. Berapakah kasus thalaq yang tidak diawali
oleh percekcokan dan kemarahan? Tidak ada! Lalu, dalam keadaan emosi suami yang
telah sampai ke ubun-ubun, masih sempatkah dia mengajukan permohonan thalaq ke
mahkamah? Memang kemarahan bukan suatu sifat terpuji dalam islam, malah Nabi
Saw dalam haditsnya mengecam dan melarang kemarahan. Tetapi segala bentuk hukum
Allah Swt dan konsekwensi-konsekwensinya yang dilakukan oleh mukallaf dalam
kemarahan tetap berlaku dan sah. Dalam keadaan sangat marah membunuh tetap diqishashkan.
Shalat sedang marah sah. Marah-marah lalu bersedekah sah. Demikian juga thalaq,
tidak ada ayat, hadits, atsar dan pendapat ulama yang menyatakan, bahwa
kemarahan dapat membatalkan thalaq, bahwa salah satu syarat sah thalaq adalah
tidak sedang marah. Inilah yang tidak diindahkan oleh Negara dan penyusun buku
KHI. Marah itu sangat manusiawi. Maka, kalau mau membuat peraturan untuk
manusia, jiwailah peraturan tersebut dengan hal-hal yang manusiawi. Jangan
berharap banyak, bahwa laki-laki akan sanggup menahan thalaqnya sampai di depan
sidang mahkamah.
Kedua, yang
diabaikan KHI adalah kepemilikan thalaq muthlak berada di tangan suami, mau
thalaq diamana, berapa, kapan, itu semua hak prerogative suami yang diberikan
Allah Swt. Negara sekalipun tidak bisa ikut campur. Nabi Saw dan
shahabat-shahabatnya tidak pernah mengelola thalaq masyarakat. Begitulah
dalilnya.
Ketiga, penyusun
buku KHI mengabaikan dampak dari pengucapan thalaq. Dengan melafadh thalaq
kapan saja dan dimana saja membuat thalaq sah dan berlaku sejak selesai diucapkan.
Dan tidak ada suatu alasan , syar’i atau ‘aqli, yang mengharuskan thalaq di
depan mahkamah. Bila begini masalahnya,
maka seluruh konsekwensi thalaq pun lahir saat itu juga, bukan di depan sidang.
Dimulai dari haram memandang, haram khalwat, haram watha’ sampai kepada
perhitungan masa ‘iddah juga saat itu permulaannya, ikut serta pula hukum-hukum
yang ada sangkut-pautnya dengan ‘iddah. Begitu banyak dampak yang ditimbulkan
oleh ucapan thalaq, ada hukum haram dan dosa besar di dalamnya. Mengapa para
penyusun KHI sanggup mengabaikan itu semua ?
Sekarang kami
menyebut satu contoh untuk nenunjukkan bahwa pasal 115 dalam KHI melegalkan
zina dan harus segera dibatalkan penggunaanya. Seorang suami yang telah
melafadhkan thalaq dua kepada istrinya, melapor kepada Mahkamah Syari’ah.
Berdasar pasal 115 tadi, mahkamah tidak mentolerir thalaq dua suami, karena
bukan didepan sidang mahkamah. Lalu memerintahkan suami mengulang kembali
thalaq duanya di hadapan mahkamah. Secara syar’i suami telah menthalaq istrinya
empat (artinya, tetap dianggap tiga) berarti istrinya telah bain, tidak boleh
rujuk lagi. Dari sudut pandang mahkamah (pasal 115), dia menthalaq istrinya
baru hanya dua, yang bermakna masih boleh rujuk, berkumpul kembali seperti
sedia kala dan tentu saja, boleh bersetubuh dan beranak. Dalam kacamata ayat,
hadits dan pendapat para ulama, persetubuhan ini adalah zina, dan bila
melahirkan anak, anak itu adalah anak zina! Inilah yang kami sebutkan di
belakang, mengharap buah dengan menumbangkan pohonnya. Mengharap agar suami
tidak begitu mudah menjatuhkan thalaq, itu baik sekali. Tapi, dengan
konsekwensi menghalalkan zina, itu memang luar biasa keberanian yang dimiliki
oleh penyusun KHI. Demi kitabullah dan sunnaturrasul, pasal 115 wajib
dibatalkan.
IV
Pasal 153
(4) Bagi perkawinan yang putus karena
perceraian, tenggang waktu tunggu (‘iddah) dihitung sejak jatuh putusan
pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.[44]
Pasal
ini bertentangan dengan :
“Dan
perempuan-perempuan yang dithalaqkkan menunggu selama tiga kali suci” (QS : Al-Baqarah : 228)
Mencermati
ayat ini, mufassirin melihat tidak ada jeda antara thalaq dan ‘iddah (masa
tunggu), tidak ada sesuatu yang bisa menengahi antara keduanya. Lagi pula,
dengan memandang kepada disyari’atkannya ‘iddah untuk mengetahui
kosong-tidaknya rahim perempuan, rasa-rasanya tidak dibutuhkan kepada adanya
masa kosong antara thalaq dan ‘iddah. Dan secara logika pun tidak ada gunanya
mengundur masa ‘iddah jauh berselang dari thalaq.
Ketentuan
Allah Swt diatas segalanya. Allah yang merancang manusia, jiwa dan raganya,
Allah Swt lebih tahu apa kebutuhan dan kekurangan rancangannya dibandingkan
dengan rancangan itu sendiri. Rancangan hanya tahu yang terlihat saja, tidak
yang tersembunyi. Maka, jangan berlagak serba tahu. Ketika menela’ah ayat-ayat
ternyata ada yang tidak terlogikakan oleh logika, maka jangan menyalahkan
firman, atau mengikuti pola-pola kuffar yang memang sangat membenci islam dan
Al-Qur’annya. Karena banyak ayat yang baru terbukti oleh panjangnya perjalanan
waktu, bahkan bisa sampai seribu tahun setelah turunnya wahyu.
Poin
empat pada pasal 153 dalam KHI selain melabrak ayat-ayat Al-Qur’an, juga ada
hak terampas, terutama hak suami dan istri. Ketika seorang suami menthalaq
istrinya, ta’at atau tidak, dia sudah menjauhi istrinya, agar tidak terjadi
hal-hal yang haram dan memalukan, sekalipun psikologisnya menginginkan hal
tersebut. Kalau dia merenung dan menyesali thalaqnya, bila thalaknya membainkan
istri dia hanya akan pasrah menunggu istrinya kawin lagi dan dithalaq serta
berlalu ‘iddahnya dari suami lain itu. Bila thalaqnya raj’i dia segera merujuk
kembali. Beginilah jalannya cerita kalau berdasarkan Al-Qur’an. Beda kalau menurut KHI diatas.
Suami diperintahkan mengulangi thalaq, menambah thalaq atas thalaq, bisa-bisa
membuat istri jadi bain. Kalau dia seorang yang berkeyakinan kuat dengan
syari’at, hilanglah masa-masa untuk boleh rujuk. Disinilah haknya dirampok oleh
Negara. Atau, kalau dia seorang yang terbius dengan KHI, maka Negara telah
menghalalkan zina kepada dia dan melempangkan jalan ke neraka. Lagi-lagi hak
keselamatan jiwanya dunia-akhirat telah terabaikan begitu saja.
Dipihak
istri dengan poin 4 pasal 153, selain masa tunggunya semakin memanjang, pun
bisa-bisa kehilangan masa rujuk suami kepada dia, dimana dia masih sangat
mencintai suaminya. Saat seorang suami menjatuhkkan thalaq kepada istri, istri
harus menjalani masa tunggu (’iddah) terhitung dari setelah selesai ucapan
thalaq. Katakanlah sebulan kemudian kasusnya sampai ke mahkamah. Mahkamah
memerintahkan ulangi thalaq, disinilah masa iddahnya diawali kembali. Sangat
ironis nasib seorang istri. Sudah kehilangan suami, masa ‘iddahnya juga melebar
jauh. Haknya terdlalimi oleh Negara, yang seharusnya mendapat perlindungan sempurna.
Ada
yang aneh pada pasal diatas, untuk ‘iddah mati suami terhitung sejak suami
mati, ‘iddah thalaq di mulai di meja mahkamah. Mungkin KHI bertujuan menghambat
keleluasaan thalaq oleh suami. Sangat baik sekali, tapi mengapa harus
menciptakan masalah baru yang lebih parah dan fatal sekali untuk meraih sesuatu
yang baik yang tidak bersifat ‘lebih’? Menjaga agar suami tidak sewenang-wenang
dengan thalaq, itu baik bahkan mungkin sunat hukumnya, tapi dengan jalan
membuka peluang zina selebar-lebarnya, itu sangat tidak baik ! kaidah usul fiqh
berkata :
“Bila
kontra haram dan halal, maka dimenangkan (dipelihara) yang haram”.[45]
Setelah
melihat paparan diatas, nyata dan terkuaklah kejanggalan-kejanggalan aturan
produk manusia. Empat pasal kami kutip kesini, sebagai bahan tela’ah siapapun
yang peduli terhadap kepalsuan hukum-hukum Allah Swt. Silahkan rujuk ke buku
KHI untuk melihat secara utuh, ada apa dalam buku tersebut. Baca dan kritisi
setiap poinnya, agar kita tidak terus bergelimang dalam dosa besar, khususnya
bermain-main dalam kubangan hitam zina.
QUISIONER KEPADA KUA-KUA
Setelah sedikit
mengutak-atik buku KHI yang merupakan pegangan KUA-KUA di seluruh Aceh
khususnya, kami akan hamparkan penerapan pasal-pasal KHI di tingkat paling
bawah dalam jajaran Departemen Agama, yaitu KUA-KUa kecamatan, melalui
quisioner yang kami sebarkan di beberapa kantor KUA, pertanyaan kami tetap
dalam koridor pernikahan yang di dalamnya mengenai keadilan wali dan saksi,
status rujuk serta pertanyaan-pertanyaan lain yang kami anggap penting untuk di
ketahui. Berikut hasilnya, insya Allah :
SEKITAR
PERNIKAHAN
Dalam perkara ini,
kami ingin mengetahui tentang pernikahan yang diselenggarakan bukan dihadapan
atau tanpa sepengetahuan KUA, bagaimana nasib pernikahan tersebut ? hampir 50%
menjawab :
“Sah
tapi tidak dicatat”
Opsi lain yang kami
tawarkan yang direspon seimbang 22% adalah :
−
Dianggap sah dan dicatat
−
Dianggap tidak sah
Petugas KUA tidak
dalam kapasitas mensah-tidaknya sebuah pernikahan. Mereka pencatat untuk adanya
kekuatan hukum bila di kemudian hari ada masalah. Mareka, umumnya, telah
bertindak sesuai KHI ketika memberi jawaban : ‘sah tapi tidak dicatat’. Selain
petugas, mereka juga sebagai abdi masyarakat. Kalau masyarakat telah
melangsungkan pernikahan bukan di hadapan petugas karena satu dan lain hal,
lalu melapor kepada mereka, alangkah baiknya kalau mau di catat juga. Agama
telah menyatakan sah, apa ruginya petugas dan Negara hanya sekedar mencatat,
agar data-data pernikahan tercaver seluruhnya. Makanya, kami salut kepada
petugas yang merespon : ‘sah dan dicatat’. Lihat sisi baiknya, bahwa masyarakat
mau melakukan sendiri, lalu melapor, membayar ADM Negara, selesai. Sangat
meringankan beban petugas KUA.
Yang agak janggal
jawaban : ‘dianggap tidak sah’. Dari pasal-pasal KHI ini saja sudah
bertentangan, apalagi dari sudut pandang syar’i. Hanya karena tidak diberitahu, dianggap tidak sah.
Ini kacau sekali. Karena ‘pemberitahuan’ bukan syarat dan juga bukan rukun
nikah dalam fiqh syafi’iyah.
Lalu kami lanjutkan
dengan pertanyaan :
“Kalau catin
ternyata tidak mengerti sekitar pernikahan, bagaimana ?”.
Lebih 50% menjawab : ‘ditunda sampai tahu’
34 5 menjawab : ‘tetap dinikahkan
juga’
11 % menjawab : ‘tidak dinikahkan’
Jawaban lebih 50%,
dugaan kami itu hanya jawaban ‘harapan’. Semoga pernikahan bisa ditunda sampai
catin benar-benar mengerti seluk-beluk pernikahan. Karena jarang sekali
terdengar, hampir-hampir tak pernah ada, pernikahan dibatalkan gara-gara catin
buta akan hukum pernikahan. Yang santer terdengar setiap ada prosesi akad nikah
berjalan sukses dan membahagiakan. Kami akan membuka jawaban pertanyaan ketiga
yang masih tersangkut dengan ini :
“Berapa
persenkah catin tahu hukum-hukum pernikahan ?”
44,5% menjawab : 20% catin yang tahu,
44,5% menjawab : 30% catin yang tahu,
Kita ambil yang
terbanyak, 30% catin memahami seputar hukum pernikahan. Nah, berarti ada 70%
cati buta terhadap hukum perkawinan. Apakah ada 70% kasus prosesi akad nikah
yang ditunda gara-gara catinnya belum tahu hukum sekitar perkawinan?
Melihat fenomena
catin minim ilmu perkawinan ‘dijamakkan’ dengan akad nikah yang terus
dilangsungkan, berarti mareka memasuki salah satu rangkaian syari’at tanpa
mengetahui tempat yang mereka masuki. Memasuki hutan tanpa mengerti tentang
hutan. Berlayar dengan kemiskinan ilmu tentang samudra. Luar biasa! Dalam samudra
perkawinan ada thalaq yang mereka ucapkan, tapi tak tahu itu thalaq. Ada dlihar
ketika romantisan dengan istri, tapi tak ‘ngerti’ itu dlihar. Bias dari thalaq
dan dlihar bisa-bisa memasuki kawasan terlarang “ zina!.
Dipihak lain,
menanam durian akan tumbuh dan berbuah durian. Kualitas generasi islam semakin
memprihatinkan dalam kepedulian mereka terhadap islam dan iman. Karena dia
tidak tumbuh dari akar keislaman dan keimanan. Mempersiapkan generasi yang
bermutu dan tertuju kepada islam, harus dimulai benih yang bermutu. Bermutu
dalam perspektif islam adalah orang-orang yang punya akar kuat dari islam
dengan menguasai ilmu-ilmu islam.
Dalam perjalanan
kami silaturrahmi ke KUA-KUA, kami dititipkan usulan : hendaknya ada satu
lembaga yang menggembleng catin beberapa waktu, setelah siap bekal diberikan
sertifikat boleh kawin. Dan ini mesti diqanunkan, agar setiap masyarakat
terikat dalam undang-undang.
Pertanyaan berikut
:
“Bagaimana cara
KUA mengetahui adil-tidaknya wali dan saksi nikah ?
−
Atas pengakuan tokoh-tokoh
ditempat catin berada, direspon dengan 67%
−
Diselidiki pihak KUA
sendiri, direspon dengan 33%
Pertanyaan berikut
ini masih ada kaitan dengan pertanyaan diatas :
“Bila wali atau
saksi ternyata fasiq, bagaimana tindakan KUA?”
Hampir 90% menjawab
: “ditunda pernikahan sampai siwali atau saksi adil”. Hanya 10% menjawab :
“tetap dinikahkan”.
Wali dan saksi
merupakan rukun nikah. Keduanya dipersyaratkan sangat ketat dan hampir sama.
Bedanya, wali boleh tidak adil, tapi jangan fasiq (lihat ‘muthala’ah kutub’
pada bagian wali dan saksi nikah). Langkah petugas KUA kami nilai sangat tepat,
karena melalui tokoh dan menyelediki sendiri akan terbuka hakikat seseorang,
layak atau tidak jadi wali dan saksi. Karena ini sangat menentukan sah-tidaknya
satu pernikahan. Sampai-sampai mareka menjawab : ‘ditunda pernikahan sampai
wali dan saksi ‘adil’. Bila benar-benar diterapkan pihak KUA, maka tidak ada
pernikahan yang diragukan. Tetapi, apakah selama ini semua wali dan saksi
‘beres’? Karena jarang ada peristiwa yang ditundanya pernikahan sampai setahun.
Karena untuk menggapai keadialn dibutuhkan waktu setahun (lihat bab ‘muthala’ah
kutub)
Tetapi, ada yang
sangat mengejutkan sekalipun persentasenya kecil, yaitu 10% respon, namun
masalahnya bukan besar-kecilnya, tetapi ada. Yaitu tetap dinikahkan walaupun
wali dan saksi fasiq. Artinya, ada prosesi pernikahan yang dipersaksikan oleh
orang fasiq. Ini malapetaka. Untuk wali mungkin ada jalan keluarnya, taubat fil
hal, misalnya. Tapi untuk saksi tidak ada kompromi sama sekali (lihat bab
muthala’ah kutub)
Berikutnya, kami
mengajukan pertanyaan :
“Bagaimana
mengetahui ‘adhal wali ?”
−
Wali mengaku sendiri ‘adhal : 55,5% respon.
−
Dengan cara-cara lain : 22,5% respon
Apa yang dilakukan
petugas KUA terasa tepat untuk mengungkap keengganan wali. Kalau mengacu ke
buku KHI, masalah ini harus naik mahkamah dulu. Diperiksa, disidang lalu
diputuskan. Melelahkan dalam masa yang panjang. Dari tinjauan fiqh, keengganan
wali mesti disisi hakim. Petugas KUA sebagai pihak berwenang dalam pernikahan,
sudah lebih dari cukup untuk mendengar keengganan wali.
Pertanyaan berikut
:
“bagaimana
seorang suami berpoligami tanpa izin mahkamah syar’iyah?”
90% respon menjawab
: ‘ditolak’
Satu-satunya
jawaban ini bisa dirujuk hanya dalam buku KHI pasal 71. Dalam persoalan ini,
petugas KUA sangat setia dengan pasal KHI, meskipun kitab fiqh membolehkan
dengan syarat berlaku ‘adil antara istri-istri. Disinilah praktek qadhi liar
dibuka lebar-lebar, disamping juga menutup pintu rapat-rapat bagi perempuan
untuk bersuamikan laki-laki beristri pada saat perempuan lebih banyak
dibandingkan laki-laki seperti saat sekarang ini.
SEKITAR THALAQ
Dalam bidang ini,
kami megajukan pertanyaan inti yang menjadi target penelitian kami :
“Bagaimana
status thalaq yang terjadi bukan di depan sidang mahkamah Syar’iyah?” Responden kami menjawab :
−
Untuk jatuhnya, diminta
mengulangi di depan sidang, 66,5% respon
−
Diterima dan dinyatakan
sah, 22% respon.
−
Abstain, 11,5% respon
Tidak mengejutkan,
karena sudah kami prediksi sebelumnya, hanya kami membutuhkan data akurat untuk
membuktikan dan sekarang sudah terbukti, bahwa thalaq memang harus diulang
kembali, menambah thalaq diatas thalaq
yang bisa-bisa membuat kesempatan rujuk hilang sama sekali atau
menjadikan istri bain kubra secara ilmu fiqh syafi’eyah, pegangan setiap umat
islam di Aceh dan Aceh utara khususnya. Apa sebenarnya yang kita cari dalam
hidup bernegara? Ketika Negara membuat aturan yang tidak popular di mata masyarakat,
menyalahi apa yang umumnya ada di kalangan mereka, itu sama dengan menciptakan
jarak antara mareka dengan Negara. Sentiment-sentimen seperti ini biasanya akan
terus membesar dan kita berdo’a sama-sama agar tidak meledak. Mungkin ini yang
coba diciptakan oleh responden yang 22% itu. Walaupun jumlahnya kalah
dibandingkan dengan responden yang pertama, tapi setidaknya mareka telah
memulai sesuatu yang sangat baik dalam kehidupan bernegara, yaitu mencoba
menghindari konflik internal. Bukankah mau memahami apa keinginan rakyat adalah
keadilan? Bukankah maksud utama pembentukan sebuah Negara adalah menciptakan
kedamaian untuk rakyat ?
Apakah benar aturan
diatas bukan keinginan rakyat? Pertanyaan berikut menjawab kebenaran itu :
“Berapa banyak persentase thalaq
di luar kemudian diadukan ke mahkamah ?’
55,5% responden menjawab 20% kasus
22% responden
menjawab 10% kasus
11% responen
menjawab 15% kasus
11,5% responden tidak
menjawab
Nah, terbukalah
keinginan manyoritas masyarakat, bahwa mereka tidak menginginkan thalaq diluar
harus diulang di depan sidang mahkamah. Lihatlah, mayoritas responden menjawab,
hanya 20% kasus thalaq sampai ke meja sidang mahkamah. Berarti 80% kasus tidak
masuk ke mahkamah. Ini satu indicator yang kuat, bahwa rakyat kurang mempercayai
hukum buatan penyusun KHI. Mareka lebih menyakini kitab-kitab Syafi’eyah yang
jadi pegangan ulama-ulama Aceh saat ini. Paling-paling yang sampai ke mahkamah
kasus-kasus yang runcing yang tidak mungkin diselesaikan oleh ulama-ulama.
Hanya keterpaksaan yang membawa langkah mereka kesana, ke mahkamah.
Jangan salahkan
masyarakat bila mereka tidak menyukai hukum-hukum KHI, karena mereka punya
keyakinan sendiri yang lebih mereka yakini. Sekarang setelah jelas
permasalahan, tidak ada salahnya berusaha mencari perhatian mereka dengan
mengubah paradigma : ‘ulangi thalaq’. Masih banyak jalan mengetahui thalaq yang
dilafadh bukan didepan mahkamah. Tidak seharusnya hanya terpaku pada cara :
‘ulangi thalaq’. Karena konseksensinya berat, berat sekali. Thalaq tidak bisa
di kondisikan hanya pada suatu tempat dan suatu waktu tertentu. Karena dia
sering muncul dari suatu kemarahan. Kemarahan adalah suatu kondisi yang tidak
bisa dikondisikan. Kondisi inilah yang dipahami oleh islam, sehingga tidak
pernah menentukan dimana seharusnya menjatuhkan thalaq.
Alangkah indahnya
kalau KHI mampu mengerti psikologis manusia, agar aturan-aturan yang lahir
menjiwai nilai-nilai kemanusiaan.
Pertanyaan berikut
:
“Berapa
persenkah usia muda menjadi factor perceraian?”
Lebih dari setengah
(55,5%) responden menjawab : 20%. Berarti 80% didominasi oleh factor lain.
Hasil ini sekaligus meruntuhkan asumsi, bahwa usia muda rentan dengan
perceraian. Hal ini tidak terbukti sama sekali. Kenyataan ini juga memaksa
pasal 71 poin ‘d’ KHI harus ditinjau ulang. Karena factor usia ternyata tidak
banyak menyumbang support untuk leluasanya terjadi thalaq, apalagi sampai di
undangkan pembatalan pernikahan usia muda sebagaimana perintah pasal 71 tadi.
Argumentasi kami ini, juga mendapat dukungan dari hasil jawaban pertanyaan
berikut ini :
“factor apa saja
penyebab terjadinya perceraian?”
Responden menjawab
:
Factor ekonomi
31.8%
Factor pihak ketiga
27%
Factor minimnya
ilmu agama 19%
Factor cemburu
berlebihan 9%
Factor perselisihan
pendapat 1%
Factor usia muda 1%
Realitas ini sekali
lagi membuktikan, usia muda hanya menduduki peringkat terkhir dari enam factor
pemutus perkawinan. Mengkambinghitamkan pasangan muda adalah mengada-ada, hanya
dugaan semata tanpa ditopang oleh data akurat. Maka, demi data ini, demi Al-qur’an,
demi hadits, pasal 71 poin ‘d’ segera dihapuskan.
Pertanyaan
selanjutnya :
“Bila keadaan
yang disyaratkan dalam ta’liq thalaq benar-benar terjadi, apakah
a.
Thalaq dinyatakan
jatuh dengan sendirinya? Atau,
b.
Thalaq dinyatakan
jatuh dengan pengakuan suami-istri? Atau,
c.
Diputuskan di
Mahkamah Syar’iyah ?
Responden memberi jawabannya :
a.
22,2%
b.
55,5%
c.
22,2%
KUA-KUA merespon pertanyaan ini dengan sangat baik,
menjatuhkan pilihan pada opsi : pengakuan suami-istri, pengakuan salah satu
cara mengetahui sesuatu yang telah terjadi. Namun, ada yang kurang jelas,
apakah thalaq jatuh saat pengakuan atau berlaku surut ke saat terjadi syarat
ta’liq? Kalau ‘saat pengakuan’ yang dimaksudkan, itu menyalahi aturan-aturan
fiqh dan mengulangi kesalahan-kesalahan. Tapi kalau ‘saat terjadi syarat
ta’liq’ yang dipilih dan pengakuan hanya sebagai sarana saja, maka KUA-KUA telah
bertindak benar. Karena tidak ada alasan yang mengharuskan penundaan jatuh
thalaq dari saat terjadi syarat ta’liq, tidak secara syar’i dan tidak secara
‘aqli. Apa yang hendak diraih dengan penundaan? Apakah ada suatu kemuslihatan?
Demikian halnya dengan ‘diputuskan di Mahkamah’, baik
sekali. Dimahkamah bisa diselidiki, bagaimana kejadiannya, apa sesuai antara
shighat ta’liq dengan kejadian atau tidak. Lalu diputuskan tidak atau jatuh
yang di undurkan ke saat-saat kejadian. Apakah ini tidak ada kemaslihatan? Bukankah
tugas mahkamah menjernihkan masalah, bukan menciptakan masalah?
SEKITAR RUJUK
Dalam persoalan ini, kami ingin tahu proses rujuk yang
diterapkan oleh KUA-KUA, serta bentuk lafadh rujuk versi mareka. Berdasarkan
ini, kami mengajukan pertanyaan :
“Setelah mahkamah menetapkan jatuh thalaq raj’i, lalu suami merujuk
ke istri tanpa kerelaan dipihak istri, bagaimanakah ini ?”
Para KUA merespon “
−
Rujuknya diterima 33,3%
−
Sah dengan keputusan
mahkamah 22,2%
−
Sah dengan keputusan
tertulis dari istri 22,2%
−
Abstain 22.2%
Melihat hasil ini,
para KUA yang berani menentang KHI dan memegang fiqh yang benar hanya 33.3%
saja. Selainnya, pemilih opsi kedua dan ketiga, meskipun dengan nuansa yang
berbeda tapi masih dalam pengertian yang sama, belum punya keberanian bertindak
sesuai kebenaran Al-Qur’an. Celakanya lagi, kalau dikalkulasi keduanya dengan
total 44,4% , memunculkan angka kesalahan yang besar dibandingkan kebenaran
yang hanya 33.35. padahal fiqh syafi’iyah jelas menyatakan :
“Tidak disyaratkan rela istri pada
rujuk”[46]
“Dan suami-suami mereka lebih
berhak merujuki mereka” (QS. Al-Baqarah : 228)
Kata-kata ‘lebih
berhak’ menafikan peranan siapa pun selain suami dalam persoalan rujuk, tidak
istri dan tidak juga mahkamah. Maka, menggantungkan sah-tidaknya rujuk kepada
kerelaan istri dan keputusan mahkamah adalah kesalahan besar. Tidak berdasar
sama sekali !
Kita lihat
pertanyaan berikut dengan jawaban yang sangat mencengangkan dan mengejutkn
kami, karena kami tidak menperkiraan hal ini menjadi suatu yang sulit dipahami,
sehingga hampir semua responden melenceng sangat jauh sekali :
“Bagaimanakah
lafadh rujuk?”
Dibawah ini kami
kutip secara utuh lafadh rujuk tulisan responden :
−
Lon rujuk nibak ulon kepada
gata.
−
Saya rujuk kembali istri
yang bernama sipulan.
−
Dihadapan saksi-saksi saya
merujuk pulan binti pulan
−
Aku rujuk (kembali) kepada
kamu
−
Saya ucap rujuk kembali
−
Saya kembali kepadamu lagi
(pulan)
−
SAYA KEMBALIKAN ENGKAU
DALAM NIKAHKU
“Suami memasukkan kembali istrinya dalam hukum-hukum nikahnya, setelah sebelumnya mengeluarkannya dari wilayah nikah dengan thalaq satu dan dua, boleh dengan lafadh sarih atau kinayah.” (lihat bab tala’muthala’ah kutub’ bagian rujuk)Membaca tulisan-tulisan asli dari responden kami, kami hampir-hampir tidak percaya, mengusap-usap mata beberapa kali untuk memastikan dan menghilangkan keragu-raguan pandangan kami, benar atau tidak. Persoalannya, ini bukan masalah amat-amat rumit sekali, bukan ‘amrun khafi’. Hampir seluruh kitab fiqh menulis definisi rujuk, yang intinya :
Dari beberapa contoh lafadh rujuk yang ditulis
oleh responden kami, hanya satu yang masuk dalam kategori benar, yaitu yang terakhir
yang tertulis dengan huruf kapital. Alhamdulillah, masih ada yang benar.
Karena yang benar, suami yang mengembalikan istri dalam nikahnya, bukan suami
yang kembali pulang ke istrinya.
Dengan menyaksikan
fenomena petugas KUA dalam menjalankan syari’at, ada kekurangan dan
kesempurnaan. Bukan maksud kami meneliti masalah ini untuk menelanjangi mereka,
tapi lebih kepada menemukan ketidaksempurnaan untuk di sempurnakan
bersama-sama. Kami sangat mengerti, bahwa sebagai petugas Negara dalam bidang
agama, punya birokrasi yang mareka berada didalamnya dan aturan-aturan yang
mengikat mereka secara organisatoris. Di pihak lain, bahwa mereka sebagai
muslim yang ta’at penganut Sunny Asy-Syafi’eyah seperti juga masyarakat
seluruhnya, mempunyai tugas moral untuk menjalankan semua itu dengan sebenar-benarnya,
tidak melenceng sedikit pun.
Disinilah mareka
dihadapkan dengan persimpangan jalan, kiri dan kanan. Menempuh jalan kanan,
bisa-bisa tidak bertugas lagi selamanya pada tempat yang telah mareka
perjuangkan bertahun-tahun lamanya. Mengambil jalan kiri, sangat bertentangan
dengan syar’i dan i’tikad hati-nurani. Disinilah simalakamanya. Menghadapi
problema semacam ini, kita harus pandai-pandai menyiasati situasi, agar tidak
berbenturan kepentingan. Mengukuhkan diri menapaki jalan kanan dengan
menyiasati jalan kiri yang penuh duri sambil berjuang memperbaiki situasi agar
tidak selamanya terus begini. Tidak ada masalah yang tidak dapat dipecahkan.
Dan tidak ada kerumitan situasi yang tidak mempunyai solusi.
QUISEONER KE
JAMA’AH PENGAJIAN
Setelah terbuka
kenyataan dan fenomena para petugas KUA sebagai pihak yang menerapkan dan yang
menjalankan hukum-hukum islam di jajaran paling bawah dari Departemen Agama,
rasanya tidaklah bijaksana kalau tidak mencari tahu dan menyelami hal yang sama
pada masyarakat sebagai pihak yang menjadi lapangan praktek dari petugas KUA.
Kami memilih sebagai responden mereka-mereka yang merupakan orang-orang yang
terbaik dari komunitas masyarakat , yaitu jama’ah pengajian rutin setiap minggunya.
Mereka sengaja lebih kami utamakan, karena dengan memakai logika ‘aulawi’ akan
memunculkan pembuktian terbalik, bahwa selain mereka berarti ‘lebih’ dari
mareka. Lagi pula, menjadikan responden orang-orang yang tidak terkoordinir
dalam strata masyarakat, sangat sulit sekali dan memerlukan waktu yang lama.
Responden juga kami kelompokkan dalam dua kategori, sudah dan belum kawin.
Dengan begini, kami berharap akan mendapat gambaran masa yang lalu dan akan
datang terhadap generasi islam. Karena keberhasilan islam mendatang sangat
tergantung pada kualitas generasi yang akan berkiprah ke depan. Untuk lebih
mudah dan ringkas, kami menggunakan singkatan ‘SK’ untuk yang sudah kawin dan
‘BK’ untuk yang belum kawin.
Kami awali dengan
pertanyaan :
“Apakah ada wali yang menikahkan
anaknya, sedangkan dia tidak shalat atau dosa besar lainnya ?”
SK menjawab : 60%
ada
BK menjawab : 70%
ada
Hasil ini adalah
sesuatu yang sangat mengkhawatirkan kita semua. Karena, mengharap generasi
islam ke depan akan lebih baik, hanya tinggal harapan belaka. Mungkin lebih
baik dalam hal ketidakpeduliannya kepada islam. Sekalipun ada ulama yang
berpendapat boleh taubat fil hal. Tapi, masalahnya, berapa orang yang mengerti
tentang hakikat taubat ? mungkinkah mengerti benar-benar persoalan taubat hanya
beberapa menit dalam majelis akad nikah? Karena taubat ‘fil hal’ disyaratkkan
harus memiliki keinginan sangat kuat untuk menunaikan kealpaan-kealpaan selama
ini. mungkinkah menanamkan ‘keinginan kuat’ hanya dalam beberapa saat ?
Berikut kami
bertanya “
“Apakah ada saksi nikah yang
tidak shalat dan mengerjakan dosa besar lainnya?”.
SK merespon : ada,
60%
BK merespon : ada,
66.5%
Ini berarti kita
sudah memasuki stadium bahaya tingkat tinggi sekali. Karena dalam persoalan
saksi nikah tidak ada tawar-menawar, tidak ada seorang ulama pun yang berfatwa
saksi nikah boleh orang fasiq atau taubat ‘fil hal’. Apakah dapat kita
pastikan, bahwa pernikahan selama ini 60% batal, karena disaksikan oleh
orang-orang yang tidak layak jadi saksi? Selama kami mengunjungi KUA-KUA kami
mendapat informasi, ada tokoh Gampong yang selalu minta jatah jadi saksi. Suatu
keanehan yang membuat petugas KUA sulit memilih yang terbaik sebagai saksi,
karena terbentur dengan charisma sang tokoh. Padahal saksi dalam nikah sangat
sakral dan krusial, penentu sah-tidaknya nikah.
Berikut kami
bertanya :
“Setahu saudara, apakah ada
perceraian yang diadukan ke mahkamah, tapi tidak diakui?”
SK Menjawab : ada,
60%
BK menjawab : ada,
55,5%
Makna yang kami
tangkap dari realitas ini, keengganan pelayan masyarakat melayani masyarakat,
dimana mereka meyakini sebuah hukum yang sesuai dengan syari’at dan tidak
merugikan Negara, tapi berbeda dengan isi KHI. Sebagaimana isi KHI, thalaq
harus diucap di depan mahkamah. Banyak jalan mengetahui thalaq telah diucap,
mengapa harus mengucapkan lagi yang membuat thalaq bertambah bilangan?
Kami bertanya lagi
:
“Yang manakah
dibawah ini lafadh rujuk yang sharih (jelas)?”
SK memberi suara
terbanyak 63% kepada lafadh :
“Aku kembalikan
kamu dalam nikahku”
BK juga menentukan
pilihan yang sama, tapi dengan angka berbeda, 81%
Bandingkan dengan
lafadh rujuk yang ditulis oleh petugas KUA. Apakah ini berarti, yang belum
kawin lebih mengerti tentang lafadh rujuk dari yang sudah kawin dan petugas
KUA? Boleh jadi ini berita gembira bagi kita semua, bagi islam tentunya.
Pertanyaan kami
lagi :
“Yang manakah
dibawah ini lafadh rujuk kinayah (sindiran)?”
SK dengan suara
terbanyak (44,5%) dan BK dengan suara terbanyak (60%) sepakat menjatuhkan
pilihan kepada :
“Saya sudah kembali
lagi padamu”.
Kedua-dua responden
kami telah memilih sesuatu yang seharusnya tidak dipilih mareka, karena lafadh
tersebut tidak mensahkan rujuk dan tidak membuat istri halal kembali, walau
niat seribu kali.
Kami bertanya lagi
:
“Setahu saudara,
berapa banyak catin yang tidak mengerti hukim-hukum sekitar pernikaha?”
SK dan BK memilih
‘diatas 50%’, masing-masing dengan suara 60% dan 77,5%.
Khabar buruk bagi
islam. Bila sudah mencapai lebih dari 50% para catin buta terhadap seputar
pernikahan, berarti mareka memasuki suatu alam yang kelam. Disana ada thalaq,
tetapi mareka tidak tahu. Ada dlihar, tapi mereka tidak mengenalnya. Ada hak
dan tanggungjawabnya, tapi mereka tidak mempelajarinya. Dalam kebodohan mereka
berlayar mengarungi samudra rumah tangga. Bisa selamatkah mereka sampai
tujuan?.
Kami mengajukan
pertanyaan lagi :
“Menurut
saudara, contoh dlihar di bawah ini adalah?”
Sk memilih dengan
suara 44.5% :
“Tanganmu persis
seperti tangan bibiku”
Berarti lebih 50%
persen orang sudah kawin tidak tahu-menahu tentang dlihar. Boleh jadi dalam
kebodohan mereka telah melakukannya.
BK memilih dengan
respon 37% apa yang dipilih oleh SK.
Berarti banyak
generasi belum kawin, belum siap memasuki gerbang perkawinan. Ini warning bagi
mereka untuk membekali diri sebelum kawin, dan warning bagi semua kita untuk
memperhatikan dan membenahi mereka, tidak hanya dipadai dengan hasrat kawin
saja.
Berikut pertanyaan
kami lagi :
“Apakah jatuh
thalaq dalam keadaan sangat marah?”
SK dan BK menjawab
‘jatuh’, masing-masing 93 dan 89 persen.
Walau persentasenya
kecil, tapi masih ada yang tidak tahu, bahwa thalaq sah meskipun suami
menthalaq dalam tensi kemarahan yang tinggi sekali.
Selanjutnya kami
bertanya :
“Apakah ada akad
nikah yang tanpa sepengetahuan KUA?”
Sama-sama SK dan BK
merespon terbanyak kepada : tidak banyak. SK 55,5 persen dan BK 63 persen.
Ini informasi
penting untuk petugas KUA, bahwa masih ada prosesi akad nikah yang ‘ilegal’.
Kita bisa meraba alasan mareka, berkisar antara poligami, birokrasi kadang
berbelit dan terpaksa kawin. Kita harus melihat dengan jernih alasan-alasan mereka,
apakah karena undang-undang yang tersedia jauh dari keinginan mereka atau
keengganan mereka.
Terakhir kami
bertanya :
“Dibawah ini
yang manakah contoh thalaq kinayah ?”
SK dan BK sama-sama
menentukan pilihan yang sama :
“pulanglah kepada
ibumu”. SK 48%, BK 55,5%
Masalahnya bukan
pada sejumlah angka, tapi masih ada yang tidak tahu bentuk thalaq kinayah.
Apalagi pada orang yang sudah kawin, ini sangat mengkhawatirkan.
BAB IV
PENUTUP
Dari penelusuran
panjang kami terhadap berbagai literature, menela’ah kitab-kitab,
membolak-balik buku Kompilasi Hukum Islam, kemudian kami tuangkan dalam
bab-bab, disertai pula silaturrahmi ke KUA-KUA, berdialog secara lisan,
menyebarkan quisioner ke jama’ah-jama’ah pengajian rutin, akhirnya sampailah
kami kepada kesimpulan-kesimpulan, baik masalah-masalah inti yang kami teliti
atau masalah-masalah lain yang hanya sekedar pelengkap saja.
I. KESIMPULAN
A.
Persoalan wali nikah yang
dipersyaratkan sangat ketat dalam berbagai kitab Asy-Syafi’eyah, ternyata
semakin menjadi-jadi kelalaian orang-orang untuk memenuhi ketentuan-ketentuan
tersebut di berbagai wilayah kecamatan, pernikahan yang diwalikan oleh
orang-orang yang sangat jauh dari standar agama. Realitas ini kian diperparah
oleh sikap apatis masyarakat, khususnya para wali, terhadap keinginan
mempersiap diri menjelang jadi wali.
B.
Saksi nikah sesuatu yang
sangat sacral dan krusial dalam pernikahan. Tapi, kenyataan yang kami temukan
saksi nikah bukan lagi sebagai sesuatu yang penting dan harus lebih mendapat
perhatian dari siapapun. Menemukan criteria saksi seperti termuat dalam banyak
kitab, hampir-hampir mustahil, tetapi konsep ‘amtsal fal amtsal’ itupun tidak
diterapkan. Seorang petugas KUA menuturkan, ada oknum tokoh agama yang minta
jadi saksi setiap ada warganya yang menikah. Dengan kharisma sang tokoh, pihak
KUA hilang kebebasannya mencari saksi terbaik untuk setiap pernikahan. Tradisi
yang terjadi selama ini, Tgk. Imum catin otomatis jadi saksi. Kalau memang
beliau yang ‘amtsal’ saat itu di tempat itu, tidak jadi masalah. Tapi, bila
masih terdapat yang lebih baik, inilah malapetaka.
C.
Thalaq sebagai pemutus
pernikahan, dipermainkan oleh Mahkamah Syari’ah. Mendapat laporan thalaq, tidak
cukup dengan pengakuan suami, tapi thalaq harus diucap ulang untuk dapat
pengakuan mahkamah. Kalau tidak, mahkamah mengabaikan laporan itu. Ironisnya,
mahkamah mengabaikan banyak hal, mulai dari Al-Qur’an sampai hak warga dalam
berkeyakinan yang benar. Parahnya lagi, selama ini KUA-KUA setali tiga uang
dengan mahkamah dalam bermain-main di tepi jurang perzinaan.
D.
Qa’idah (konsep) taubat ‘fil
hal’ dijalankan serampangan, mengabaikan inti taubat yang sangat menekankan
pada : ‘keinginan kuat menunaikan kedhaliman-kedhaliman sebelumnya! Karena
qa’idah ini, wali fasiq punya solusi keluar dari ketidakberdayaannya, sehingga
mereka tidak waswas kalaupun mau menikahkan ‘maulinya’.
E.
Kualitas keilmuan seputar
pernikahan para catin sangat memprihatinkan. Gelap-gulita mata mereka memasuki
gerbang perkawinan. Mayoritas mareka tidak tahu apa dan bagaimana sekitar
thalaq, rujuk dan dlihar. Hanya satu yang mareka punyai bekal perkawinan,
hasrat kawin.
F.
Sepanjang KUA yang kami
kunjungi, kami menemukan lafadh rujuk yang benar, hanya satu KUA. Selainnya,
lafadh rujuk tulisan mareka tidak masuk kemana-mana, tidak sharih dan juga
kinayah.
G.
Umumnya para catin dan
suami tidak tahu lafadh dlihar. Kami sodorkan beberapa contoh lafadh dlihar, mayoritas
mereka memilih yang bukan lafadh dlihar. Mereka semua adalah jama’ah rutin
pengajian.
H.
Rujuk versi mahkamah dan
KUA menyalahi versi agama. Mareka mensyaratkan kerelaan istri untuk sah rujuk.
(lihat KHI)
I.
Dalam KHI disyaratkan
thalaq di depan sidang mahkamah. Kalau tidak, maka tidak jatuh.
J.
Dalam KHI, catin dibawah
umur (16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki) boleh dibatalkan
perkawinan mereka oleh mahkamah.
II. SARAN-SARAN
1.
Menela’ah buku Kompilasi
Hukum Islam, banyak kami temukan kejanggalan-kejanggalan yang menjurus ke
perzinaan dan mengabaikan hak-hak keyakinan masyarakat. Mencoba mengubah KHI
sepertinya sangat sulit dan memerlukan waktu bertahun-tahun. Aceh memiliki UU
keistimewaan, UU syari’at Islam dan UU otonomi khusus, dimana Aceh boleh
berbeda dan diizinkan untuk merangkai sendiri UU yang cocok dengan mazhab
anutan masyarakat Aceh, Syafi’e. Saran kami, kita ( baca : DPR Aceh di seluruh
tingkat) segera mengqanunkan hukum-hukum sekitar perkawinan versi Aceh, untuk
menggantikan KHI versi Jakarta, mengqanunkan UU Mahkamah Syari’ah dan KUA model
Aceh, agar mareka terputus birokrasi ke Jakarta dan berakar ke Aceh.
2.
Sebagaimana saran sebagian
KUA, kami juga menyarankan, sangat mendesak diwujudkan satu lembaga :
mempersiapkan catin menjelang pernikahan, serta disertifikasi. Dengan modal
sertifikat mareka dinikahkan oleh KUA-KUA. Tentu saja ini semua dalam bentuk
qanun.
3.
Menyarankan kepada Mahkamah Syari’at dan KUA untuk
menyesuaikan penerapan KHI dengan syari’at yang dianut oleh masyarakat Aceh,
khususnya Aceh Utara.
4.
Menyarankan kepada mahkamah
dan KUA untuk menghindari konflik agama dalam masyarakat dan mengutamakan apa
yang dianut oleh masyarakat daripada isi KHI yang penuh controversial.
DAFTAR MAKTABAH
Al-Imrani, Abul Husain Yahya bin Abil Khairi Salim,
Al-bayan, juz 10 (darul minhaj)
Asy-Syarwany, Muhammad
‘Ali Asy-Syafi’e, Muchtashar Ibnu Abi Jamarah (Indonesia)
Al-Bajury, ‘Ali
Ibnu Qasem, Hasyiyah Al-Bajury, juz 2 (Semarang : Maktabah Usaha Keluarga)
Al-Jarjani, ‘Ali
bin Muhammad, At-Ta’rifat (Al-Aqsha)
Al-Bakry, Said
Abi Bakar, I’anatuth Thalibin juz 3-4 (Indonesia, Bandung :Syirkah Al-Ma’arif)
Asy-Syarqawy,
Asy-Syaik, Asy-Syarqawi ‘Alat Tahrir, juz 2. (Daru Ihyal Kutubil ‘Arabiyah)
Ash-Shawi, Syaikh
Ahmad, Tafsir Shawi, juz 1 (Indonesia : darul Ihyal Kutub Al-‘Arabiyah)
Al-‘Asqalany,
Al-Hafidl, Ibnu Hajar, Bulughul Maram (Indonesia : Al-Haramaini)
Al-‘Asqalany,
Al-Hafidl Ibnu Hajar, fathul Bari, Juz 9 (Daru Mishri, cet I, 1421 H/2001 M)
As-Sayuti, Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman, Al-Asybah
wan Badla-ir (Indonesia, Al-Haramaini, cet II tahun 1380 H/1970 M)
Al-Ahdal, Syaikh Muhammad
bin Ahmad Al-Kawakib Durriyah, juz 1-2 (Maktabah Zikri)
Bughyah
Mustarsyidin (Bairut Libanon, daru Fikri 1415 H./1995 M.)
Faththany,
Muhammad bin Ismail Daud, Matla’il Badren (Semarang : Usaha Keluarga)
Ismail, Syikh
Ibrahim Bin, Syarah Ta’limul Muta’allimin, (Semarang, Usaha Keluarga)
Kompilasi Hukum
Islam, (Departemen Agama R.I. tahun 2000)
Taqyuddin,
Al-Imam, Kifayatul Akhyar juz 2 (Indonesia Surabaya : Darul ‘ilmy)
‘Umairah, Syaikh
Syihabuddin Qalyuby Syaikh, Qalyubi wa ‘Umairah, juz 3 dan 4 (asy-Syirkah Annur
Asia)
[1]
Jarjani At-Ta’rifat, Hal.294
[2]
Syaikh Syarqawy, As-Syarqawi ‘ala Tahrir, juz 2, hal. 505
[3] K.Akhyar,
H. 68 juzuk 2
[4] Syaikh
Zarnuji, At-Ta’limul Muta’allim, hal. 4
[5] Al-Imam
Taqyuddin, Kifayatul Akhyar, Hal. 86 juzuk 2
[6] Al-Imam
Taqyuddin , Kifayatul Akhyar hal. 40 juz 2
[7] Jarjani,
At-ta’rifat, hal. 145
[8] Ali bin Muhammad Jarjani, Atta’rifat, hal. 181
[9] Qalyubi wa ‘Umairah, Hal 319, juz 4
[10] Qalyubi wa ‘Umairah, Hal 320, juz 4
[11] Qalyubi wa ‘Umairah, Hal 321, juz 4
[12] I’anatuthalibin, juz 3, hal. 308
[13] Bughyah
Al-Mutarsyidin, hal. 127
[14] I’anatuthalibin,
juz 3, hal. 306
[15] Bughyah
Murtasyidin, hal. 128
[16] Kifayatul
Akhyar, Juz 2, hal. 42
[17] I’anatuthalibin,
juz 3, hal. 305
[18] I’anatuthalibin,
juz 3, hal. 305-306
[19] Al-Malibari, I’anatutthalibin, juz 3,
hal 314-316
[20] Taqyuddin, Kifayatul Akhyar, hal. 223
[21] Qalyubi
wan ‘Umairah, juz 4, hal. 323
[22] Mathla’il badren, hal. 163
[23] Taqyuddin,
Kifayatul Akhyar, juz 2, hal. 70
[24] Mathla’il Badren, hal. 163
[25] Qalyubi wa ‘Umairah, juz, 4 hal 328
[26] Matlhla’il Badren, hal. 164
[27] Al-bajuri, juz 2, hal. 148
[29] Al-Bajuri,
juz 2, hal. 139
[30] Al-Bayan,
juz 10, hal. 80-81
[31] Tafsir
Ash-Shawi, juz 1, hal. 107
[32] Al-Bajury,
juz 2, hal. 158
[33] Al-Bajuri,
juz 2, hal. 158
[34] Al-Imrani, Al-Bayan, juz 10, hal 335
[35] Al-Bajury,
Juz 2, hal. 151
[36] Qalyuby wa ‘Umairah, juz 4, hal. 3-4
[37] Qalyuby wa ‘Umairah, juz 4, hal. 2
[38] Qulyuby wa ‘Umairah, juz 4, hal. 2-3
[39] lihat kitab Al-Kawakib, juz 1, hal.
66 dan juz 2, hal. 3
[40] Qalyuby
wa ‘Umairah, juz 2, hal. 3
[41] Asybah
wan Nadla-ir, hal. 102
[42] KHI,
hal. 40
[43] KHI,
hal. 56
[44] KHI,
hal. 70-71
[45] Asybah
wan Nadla-ir, hal. 74
[46] Imam Taqyuddin, Kifayatul Akhyar, juz
2, hal. 107
NIKAH, THALAQ & RUJUK
Reviewed by BLACKFL4G
on
23:44
Rating:
No comments: